webnovel

Sebuah Mimpi

"Suara apa lagi itu? Kau yakin itu tidak apa-apa Tirta?"

Serasa tempat ini seperti digempur oleh sesuatu, suaranya terkadang kecil namun juga besar seperti sekarang. Tirta diam sejenak sembari menengok ke arah suara itu berasal.

"Kurasa tidak apa-apa, mari lanjutkan setengah jam lagi untuk latihanmu."

"Baiklah."

Tidak ada waktu juga untuk mengkhawatirkan hal yang belum bisa kuatasi, langkah pertama yang perlu kulakukan sekarang adalah berlatih dan berlatih agar tak membebaninya.

**

Seusai latihan, aku kembali merebahkan diri ke kasur kamarku, aku masih penasaran dengan hal baru seperti ini, latihan setengah jam belum terlalu membuatku lelah, jadi aku mencoba bereksperimen, kalau katanya energi astral mampu untuk membuat apapun, maka aku bisa mencobanya untuk membuat suatu elemen lain, aku mulai menengadahkan telapak tangan mencoba elemen angin namun tiba-tiba tanganku sakit dan menjalar ke area tubuh lainnya.

"Agghh!"

Tubuhku serasa membeku, aku mencoba berdiri untuk keluar dari kamar dan mencari Tirta, namun untuk berdiri saja, aku tidak bisa. Entah apa yang salah.

"Kau tidak apa-apa?" ucap Tirta yang tiba-tiba duduk berada disampingku yang entah kapan, "Kau kurang hati-hati ya?"

Entah kenapa penghilatanku kabur sejenak menghitam lalu melihat cahaya. Aku melihat kampung halaman, bersama orangtua, saudara, serta tetangga yang sedang berlomba sesuatu. Aku melihat diriku yang masih kecil, bersusah payah untuk menang namun hanya mencapai urutan terakhir dari garis finish. Tapi, aku tetap mendapatkan semangat dari mereka, melihat hal itu cukup membahagiakan, meski lemah masih banyak orang yang mengulurkan tangan untuk diriku. Sesaat kemudian pemandangan berubah kembali, aku melihat lautan yang begitu luas dan berjalan di permukaannya, ada tanaman bunga dan rerumputan yang mengambang namun berdiri tegak seperti halnya di tanah, sejenak kulihat seseorang yang mengulurkan tangannya ke arahku. Cukup silau sehingga aku tak dapat melihat wajahnya, kucoba menggapainya, namun kemudian aku terbangun dari kamarku. Ternyata itu hanya mimpi.

Aku segera bangun dan membersihkan diri, kejadian tadi malam apa memang hanya mimpi, timbul pertanyaan yang berputar sampai aku bertemu mengobrol dengan Tirta di teras kamarku. Tak kusangka ia sudah duduk menungguku di depan, jadi kutanyakan soal masalah tadi malam.

"Itu hanya mimpi," jawabnya.

"Yang benar?"

"Hahaha ... Tentu saja tidak."

Ia tertawa lepas begitu aku merasa yakin itu adalah mimpi, ternyata bukan, selepas itu ia menjelaskan bahwa aku salah memakai energi astral sehingga berefek samping ke tubuhku.

"Sudah kubilang kan, kalau penggunaannya salah maka akan berefek buruk ke tubuhmu, seperti ketika kau sedang menekuk lututmu tapi di arah sebaliknya. Kau cukup beruntung ada aku sehingga tak mengalami kematian."

Baiklah-baiklah, aku tahu aku mengerti sekarang energi astral ibarat tubuh maka aku harus mengenali dulu bagaimana cara menggerakkan tubuhku ini.

"Tapi jangan khawatir dalam seminggu ini, aku akan mengajarimu dasar-dasar agar kau tak tersesat seperti sebelumnya."

Pemilihan katanya nampak aneh, tapi sudahlah. Aku berada disini untuk hidupku yang baru. Jadi aku perlu bersungguh-sungguh jika tidak ingin mati atau kembali ke dunia lamaku lagi.

***

Dua hari berlalu, empat, lima, sampai hari ke enam. Aku sudah mengalami banyak kemajuan dimana sebelumnya aku tak dapat melakukan apapun, kini aku bisa melemparkan peluru es dan api. Lalu aku dapat mempercepat gerakan kakiku dengan membayangkan angin yang melaju cepat maka kakiku menjadi sangat ringan.

"Baik sekarang kita latihan apa?" tanyaku pada Tirta.

"Hari ini aku akan mendemonstrasikan beberapa teknik tingkat tinggi, lihat."

Tirta berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya, itu adalah teknik teleportasi. Ia nampak mudah sekali melakukannya.

"itu teleportasi kan?"

"Sekarang ini."

Ia menjentikkan jarinya, lalu menyuruhku mendekat ke arahnya terdapat sesuatu seperti dinding tak terlihat sehingga aku tak dapat berjalan ke tempatnya.

"Seperti dinding tak terlihat."

"Kemudian ini."

Dinding itu kemudian menghilang, lalu tempat sekitar labirin ini tumbuh sebuah rerumputan dan bunga dengan sedikit cahaya temaram menerangi tempat ini, ada titik=titik seperti sebuah kunang-kunang lalu pemandangan sekitar berubah menjadi langit malam dengan banyak bintang yang cukup memukau.

"Keren sekali."

"Yang ini adalah ilusi."

Beberapa saat kemudian pemandangan itu menghilang seketika, dan tempat ini kembali ke awal lagi. Hanya bebatuan saja yang terlihat seperti sebelumnya.

"Kau menyuruhku mempelajari ketiganya?"

"Itu bagus jika kau bisa, karena memang medan tempur cukup sulit aku ingin kau setidaknya menguasai salah satunya untuk kabur jika keadaan tak memungkinkan. Ada pertanyaan?"

"Berapa hari aku dapat menguasainya?"

"Itu semua tergantung dari dirimu, kalau aku tak sampai satu jam."

"Jangan bandingkan aku denganmu."

Kalau dibandingkan dirinya yang sudah menceburkan diri di lautan, aku seperti baru bermain dengan setetes air di lautan. Jadi sudah seperti langit dan bumi.

"Ayolah, aku sedang memotivasimu. 2 hari lagi kita akan melakukan ekspedisi."

"Ekspedisi?"

"Ya, menyelamatkan para tawanan."

Kupikir sekarang hanya tersisa dirinya yang ada di dunia ini, rupanya masih ada penduduk lain selain dirinya. Itu memang memungkinkan, mengingat aku juga belum pernah keluar lagi dari tempat ini.

"Ngomong-ngomong-"

Darr!!

Sebuah guncangan keras kembali terjadi, namun agak berbeda dari sebelumnya, raut Tirta kelihatan serius. Lalu ia menengadahkan tangannya, diatas muncul portal lalu beberapa benda berjatuhan termasuk yang kulihat adalah beberapa alat dan senjata yang sering kumainkan di laboratorium.

"Hei, Tirta apa yang kau lakukan?!"

"Bersiaplah! Salah satu komandan Iblis berhasil menyusup di tempat ini."

*****