webnovel

Ikatan Yang Kuat

"Ragaku hidup, tetapi jiwaku mati. Ada hal yang telah hilang dan terlupakan tanpa aku sadari."

*** 

"Tunggu aku. Jika kita ditakdirkan bersama, tidak peduli setinggi apa tembok penghalang itu, aku pasti bisa menemukanmu ...."

Senyuman indah itu terus menguar dari sosok tampan yang berdiri gagah di depannya. Menatap dengan tulus.

"Tunggu aku ... Alexa."

Kemilau cahaya putih seketika memendar dari sosok tersebut, dan perlahan berubah menjadi setitik kirana, lalu berakhir menghilang dalam sekejap.

Netra coklat terang itu seketika terbuka. Napasnya terengah. Masih dengan dadanya yang berdebar, jemari lentiknya pun bergerak menyeka buliran peluh yang memencar di keningnya. Ia bergetar hebat. Ini bukan pertama kalinya ia mengalami hal tersebut. Seakan semuanya ini bukanlah mimpi, saat ia merasakan apa yang ia alami benar-benar nyata. 

"Lyora? Kamu baik-baik saja? Apa kamu bermimpi buruk?!" Seorang lelaki muda masuk ke dalam kamar bernuansa putih tersebut, lanjut duduk di tepi tempat tidur di mana perempuan bersurai coklat terang itu berbaring.

"Davandra?? Bagaimana kamu bisa ada di sini?" Seketika perempuan itu bangkit dari pembaringannya. Ia segera turun dari tempat tidur berbalut seprai putih itu. Matanya memicing saat menatap lelaki berjas hitam di depannya, tengah terkekeh.

"Aku mau menjemputmu. Kamu malah belum bersiap-siap. Kita sudah terlambat, Lyora. Aku harap kamu tidak lupa dengan meeting kita bersama EMJE Properties pagi ini." Lelaki yang dipanggil Davandra itu tersenyum asimetris.

"Ya, aku tidak lupa. Tapi setidaknya, kamu tidak sembarangan masuk ke kamarku, Dav. Kamu bisa menungguku di ruang depan." Perempuan cantik pemilik nama Lyora itu berucap datar. 

"Tadinya aku ditemani kakakmu di depan, tapi dia sudah berangkat ke kantornya. Aku hanya mau mengecekmu, tapi malah melihatmu begini. Apa kamu bermimpi buruk, Lyora?!" Lelaki itu segera bangkit lanjut menegakkan torsonya dan berjalan perlahan menghampiri perempuan yang masih mengenakan piyama tidur satin berwarna coklat nude yang berdiri tidak jauh di depannya. 

"Lupakan saja, itu hanya bunga tidur. Aku akan segera mandi dan bersiap. Kamu bisa menunggu di ruang TV kan, Dav?!" Perempuan itu sudah berbalik menuju bathroom di sudut kamarnya. Namun langkahnya terhenti. Tepatnya, sebuah tangan menghentikannya.

"Kenapa kamu terus menghindariku, Lyora? Aku merasa kamu semakin jauh. Apa artinya aku untukmu? Apa hubungan kita selama dua tahun ini tidak bermakna sedikit pun bagimu?" Davandra semakin mendekat, kini Lyora terkukung pada dinding bercat putih di belakangnya.

"D-Dav?" Perempuan itu kesusahan menelan saliva. Tatapan dalam dari netra hitam legam itu mengunci pandangannya. Ia tercekat.

"Jangan menghindariku lagi. Aku rindu, sampai mau mati rasanya." Davandra semakin memangkas jarak.

"Dav, aku harus berkemas. Kita akan terlambat ke kantor jika kamu te—" Ucapan Lyora terputus saat telunjuk kanan Davandra berhasil menghentikan gerak birainya.

"Aku mencintaimu, Lyora." 

"A-aku tahu itu, Dav. Hentikan ini. Aku harus segera mandi. Kamu tidak mau kita terlambat, kan?" Perempuan itu berlalu cepat masuk ke dalam bathroom-nya, meninggalkan lelaki tampan yang mematung memandangi kepergiannya, sendu.

"Aku juga tahu, Lyora. Kamu tidak pernah mencintaiku." Davandra dengan lunglai menggerakkan tungkainya menuju pintu. 

Sebuah keputusan terbaik untuk sekarang adalah menunggu tunangannya itu di ruang tamu. Ia sedang tidak mood sekarang, bahkan untuk sekedar ke ruang televisi menonton siaran pagi kegemarannya. Davandra untuk kesekian kalinya kecewa. Bukan, tentunya bukan pada Lyora. 

Ia kecewa pada dirinya sendiri. Sekeras apa pun ia berusaha, tetap belum bisa membuat tunangannya itu membalas cintanya. Meskipun pertunangan mereka hanya didasari perjanjian bisnis, tetapi hatinya sudah terikat terlalu dalam pada gadis bernama Lyora tersebut.

*** 

"Lyora ...."

"Hmm ...?"

"Lyora?!"

"Hmm ...?"

"LYORA TADEAS!!"

"Kamu kenapa, Adeline??" Lyora yang sebelumnya masih bersandar di headboard kursi eksekutifnya itu, segera menunduk mengambil ballpoint yang baru saja terjatuh dari tangannya. 

"Kamu yang kenapa, Lyora? Berapa lama lagi kamu akan terus memainkan ballpoint-mu itu? Kamu mau pulang sekarang atau masih mau menunggu security mengunci gedung ini, hmm?" Perempuan cantik berambut blonde itu bersungut.

Meletakkan ballpoint di atas mejanya, Lyora menatap sahabatnya yang tengah berdiri memangku tangan di depannya. Ia menghela napas, terlihat lelah.

"Apa kak Sebastian sudah datang menjemputmu?" tanya Lyora dengan tatapan datarnya. 

"Tentu saja. Kakakku sudah dari sepuluh menit yang lalu sampai di parkiran Athena Estates Holding. Apa yang kamu pikirkan dari tadi sampai mengacuhkanku?" Adeline memanyunkan bibirnya. 

"Maaf, aku hanya ..." Lyora kembali menghela napas.

"Tentang tuan Davandra lagi??"

"Mungkin. Hei, berhenti memanggilnya 'tuan'. Ini sudah jam pulang kantor, Adeline."

"Tetap saja, dia atasanku. Tunanganmu itu galak sekali, Lyora." Adeline menyengir kemudian. Lyora sampai tersenyum dibuatnya.

"Lyora, Kenapa kamu tidak mencintai tuan Davandra? Kalian sebentar lagi akan menikah. Tanpa cinta??" Raut wajah Adeline yang kelewat serius itu membuat Lyora mendelik menatapnya.

"Entahlah. Aku tidak mengerti dengan perasaanku sendiri. Bukan tidak, Adeline. Tapi belum. But, wait ... bagaimana kamu bisa tahu? Seingatku, kita jarang membahas tentang Davandra dan perasaanku sebelumnya." Lyora memicing curiga.

"Aku bisa meramal tentang percintaanmu, Lyora."

"Huh??" 

"Astaga. Jangan bilang kamu percaya. Aku bercanda, Lyora. Sebenarnya ... aku hanya menebak saja." Adeline kembali menyengir sambil menggosok tengkuknya. 

Lyora semakin memicing ke arah sahabatnya. Adeline terlihat sangat mencurigakan.

"Kamu curiga padaku??" Adeline kembali bersungut. 

"Tidak. Aku percaya padamu. Kita pulang sekarang?" Lyora mengubur rasa penasarannya. Entah kenapa ia tiba-tiba ingin segera sampai di rumah. Sepertinya rasa lelah benar-benar mengikis mood-nya hari itu. 

"Iya. Kakakku pasti sedang rewel di mobilnya sekarang. Kita harus cepat," tutur Adeline sembari membantu Lyora membereskan meja kerjanya.

"Kamu pikir kakakmu bayi?! Berdosa sekali." Perempuan cantik dengan obsidian coklat terang itu terkekeh pelan seraya menggelengkan kepalanya.

"Kita buktikan saja nanti. Dia pasti menceramahiku di mobil. Eh, tumben sekali hari ini kamu mau pulang denganku, Lyora? Biasanya tuan Davandra tidak pernah melepaskanmu sejak berangkat pagi sampai pulang kantor sore harinya."

"Davandra ada urusan penting katanya. Tadi dia menyuruhku pulang dengan Kak Lucian. Tapi kakakku itu sama sibuknya." Meydilra tiba-tiba menerawang, mengingat kembali percakapan terakhir dengan sang kakak via telepon selulernya. 

Kakaknya yang bernama Lucian itu memang super sibuk. Wajar saja, sejak menjabat sebagai CEO dari Sparta Property Holding, perusahaan warisan orang tua mereka yang sekarang sudah diakuisisi oleh Athena Estates Holding—perusahaan milik Davandra, Lyora dan kakaknya jadi jarang punya waktu bersama. 

Lucian sering pulang malam saat dirinya sudah terlelap, dan berangkat pagi sekali sebelum ia terbangun. Lyora sendiri juga terlalu sibuk dua tahun terakhir ini membantu di perusahaan induk tunangannya. Hanya ketika hari libur kantor mereka bisa menghabiskan quality time-nya bersama. Sesibuk itu.

"Okay. Sudah beres semua, kan? Kita harus cepat turun sebelum kakakku mengamuk." Adeline tertawa lebar lalu segera menarik tangan Lyora. Membawanya keluar dari ruangan eksekutif tersebut.

Hanya butuh waktu tiga menit elevator membawa keduanya turun dari lantai lima belas gedung megah itu. Kini dua pasang tungkai itu melangkah tergesa-gesa menghampiri mobil black mercy yang memarkir nyaman di depan gedung. Adeline membuka cepat pintu depan mobil dan segera duduk di jok sebelah kemudi, sedangkan Lyora sudah mengambil tempat di jok belakang.

"Aku hampir lumutan menunggu kalian di sini. Kenapa lama sekali? Kalian membicarakanku lagi tadi, kan?" Lelaki bertubuh bongsor pemilik nama Sebastian itu memicing curiga pada adiknya. 

"Astaga, Kak. Apa hidup Kakak tidak akan tenang jika tidak mencurigai adik sendiri seperti itu setiap harinya? Jalankan saja mobilnya. Aku sudah sangat lapar," cicit Adeline. Ia tidak bohong saat mengatakan dirinya lapar. 

Lyora hanya tersenyum melihat interaksi kakak beradik di depannya itu. Selalu saja seperti itu. Terlihat sangat lucu. Tiba-tiba ia merindukan kakaknya Lucian sekarang.

Mobil Sebastian kini bergerak meninggalkan pelataran gedung megah dua puluh lantai itu. Suasana begitu sunyi kemudian. Lyora merasa awkward untuk sekedar bersuara, sedangkan Adeline sudah terlelap di joknya sekarang.

"Lyora ..." Sebastian akhirnya buka suara, ia menatap gadis di belakangnya melalui pantulan kaca spion tengah mobilnya.

"Iya, Kak?!" sahut Lyora seraya mendongak. 

"Maaf, aku mau bertanya. Apa kamu merasa sesuatu yang aneh akhir-akhir ini? Semacam kecemasan atau ... umm ... mungkin sesuatu yang tidak biasa?!"

"Maksud Kakak?" Lyora mengernyit kebingungan.

"Apa ada reaksi lain dari tubuhmu akhir-akhir ini? Seperti kamu memiliki kekuatan super? Mungkin?" Sebastian kembali bertanya, begitu hati-hati.

"Kekuatan super? Kakak jangan bercanda. Mana ada hal semacam itu. Apalagi di zaman modern seperti sekarang." Lyora mengulas senyuman manisnya. 

"Kamu hanya belum merasakannya, Lyora. Tidak akan lama lagi. Kamu harus menyiapkan diri. Jika ada hal yang kamu rasa aneh, kamu bisa menceritakannya padaku. Jangan pernah sungkan. Ingat, rumah kita bersebelahan." Dari kaca spion tengah itu Lyora bisa melihat kakak sahabatnya itu tersenyum ke arahnya. Ia balas tersenyum. 

Setelah itu suasana kembali mencekam. Sebastian menutup birainya rapat. Demikian juga dengan Lyora yang sepanjang perjalanan pulang hanya melamun saja. Ia tengah memikirkan seseorang yang entah sejak kapan terus menghantui hati. Seseorang yang selalu hadir menyapanya, hanya sebatas di dalam dunia mimpi.

"Apakah lelaki itu bisa menjadi nyata?" batin Lyora seraya menghela napas beratnya. 

*** 

To be continued ....