webnovel

Siapa Sebenarnya?

Riana duduk di tepi ranjang, menatap kosong meja rias miliknya. Semenjak pulang dari kediaman Rita, sikap Riana berubah. Ia jadi lebih banyak diam dan melamun.

Gean yang baru saja keluar dari kamar mandi sembari mengusak rambutnya yang basah, menghela napas panjang begitu melihat istrinya seperti orang yang kehilangan jiwa.

Pria yang baru saja menginjak kepala lima itu menghampiri sang istri. Duduk di sampingnya, menyelipkan anak rambut Riana ke belakang telinga, lalu mengecup lembut pelipisnya.

"Ada yang ganggu pikiran kamu?" bisik Gean.

Riana tersenyum sumur, menoleh pada Gean. Tentu ada banyak hal yang mengganggu pikirannya, tapi Riana bingung harus mulai bicara dari mana.

"Kenapa?" tanya Gean sekali lagi.

"Aku kepikiran Randu." terang Riana lirih, jelas sekali gundah.

"Ada apa sama Randu? Dia gak buat masalah, kan?"

Riana menggeleng, "Nggak, tapi..." Riana menarik napas berat, ada jeda panjang sebelum ia melanjutkan, "Randu udah tahu semuanya. Dia tahu, kalau dia bukan anak kandung kita."

Gean terpaku atas pengakuan Riana. Handuk yang sedari tadi ia genggam terlepas begitu saja, jatuh meluruh di atas lantai.

"Gimana bisa?" tanya Gean tidak percaya

Tapi, Riana diam. Hingga beberapa detik berlalu, Riana tak kunjung membuka mulut. Gean yang sudah geregetan mengguncang bahu istrinya, memaksanya untuk menjawab.

"Jawab aku, Ri!"

Tapi, Riana tetap bergeming. Ia sendiri bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin ia menjelaskan duduk perkaranya pada Gean.

Bagaimana pun, Gean tidak boleh tahu, tapi Riana tidak bisa menyembunyikan ini. Suatu saat, Randu pasti akan menuntut penjelasan, baik pada Riana mau pun Gean.

"Terus respon Randu gimana?" Gean mengubah pertanyaannya, ketika Riana memilih untuk bungkam.

"Jelas dia marah. Dia ngehindar waktu aku ajak ngobrol. Dia nolak waktu mau aku jelasin, katanya kasih dia waktu."

"Jadi, itu alasan kenapa sikap kalian berdua berbeda sepanjang hari ini?"

Riana mengangguk.

Gean berdiri, "Ini sebabnya aku gak mau adopsi anak. Harusnya dari dulu kita cari orang tua kandungnya. Sekarang kalau udah gini, kita harus gimana?"

"Sebenernya kamu ikhlas gak, sih, asuh Randu, Mas? Kenapa yang kamu ungkit selalu itu?" sergah Riana kesal.

"Aku kayak gini juga demi kebaikan Randu, Riana!"

"Tapi, konteksnya beda, Mas. Kamu selalu bahas itu seolah-olah kamu gak ikhlas rawat Randu."

"Ri, Randu sudah seperti putraku sendiri. Aku sayang sama dia. Tapi, kalau kamu jadi Randu, ketika kamu tahu bahwa kamu bukan anak kandung dari kedua orangtuamu, apa hal pertama yang kamu lakuin? Pasti cari tahu tentang mereka, benar kan?"

Riana mendengus, membenarkan perkataan Gean dalam hatinya.

"Kita bisa cari mereka sekarang kalau Randu juga mau."

"Gimana caranya?"

"Mas, buat sekarang kita fokus cari cara buat jelasin semua ke Randu. Aku bersyukur karena dia gak nekat pergi dari rumah."

Gean mengacak rambutnya frustasi. Bukankah sejak awal, Gean mengatakan jika ia tidak begitu yakin soal mengadopsi anak.

Tapi, Gean sudah terlanjur menyayangi pemuda itu. Ia sudah menganggapnya seperti putra kandungnya sendiri.

Bahkan Gean lupa, dulu ia pernah keberatan dan mempermasalahkan asal-usul Randu.

Namun, kini Gean bersyukur. Senang bisa diberi kesempatan membesarkan seorang putra. Yang akan menjadi pewarisnya kelak.

Di satu sisi, kadang Gean ingin mencari siapa orang tua kandung Randu. Tapi, di sisi lain, ia takut jika mereka benar-benar akan mengambil Randu darinya.

Dan sekarang, Randu sudah tahu semuanya. Belum lagi Riana yang memilih bungkam, tidak menjelaskan bagaimana kronologis bagaimana Randu bisa mengetahui itu.

Gean menghela napas kasar, "Untuk saat ini, lebih baik kita ikuti dulu apa mau Randu. Kasih dia waktu buat tenangin diri, baru setelah itu, kita jelasin pelan-pelan sama dia," putus Gean, "lagi pula, kamu belum jelasin kenapa Randu bisa tahu."

Gean menoleh pada Riana, begitu juga Riana. Untuk sesaat pandangan mereka bertemu. Sebelum Riana melengos, menghindari kontak mata dengan suaminya.

~~~~

Drrrttt

Ponsel Riana bergetar, tanda ada sebuah panggilan masuk. Riana bangun, menyambar ponselnya di atas nakas. Menekan tombol hijau dan menempelkan ponselnya di telinga.

"Kapan Anda akan datang?" tanya seseorang di sebrang sana dengan suara berat.

Riana melirik jam, waktu menunjukkan pukul 00.13.

"Aku berangkat sekarang." jawabnya memutus sambung telpon sepihak.

Bergegas mengganti baju, menggunakan jaket kulit, mengambil sarung tangan, dan juga kunci motor. Tak lupa helm.

Riana melakukan itu sepelan dan sehati-hati mungkin. Takut membangunkan suaminya. Lalu, berjalan ke luar dengan mengendap-endap.

Ia harus kembali sebelum pukul enam agar Gean tak curiga.

Randu yang baru saja akan kembali ke kamar setelah mengambil minum di dapur, memicingkan mata.

Suasana rumah yang remang, hanya menyisakan cahaya dari dapur, memudahkan Randu untuk memperhatikan diam-diam.

Siluet seseorang yang menuruni tangga dengan mengendap-endap bak maling itu adalah Riana, ibunya.

"Mau ke mana ibu malem-malem begini?" gumam Randu.

Setelah berhasil menuruni tangga, Riana bergegas ke luar, dengan membawa helm, membuat Randu curiga.

Tanpa pikir panjang, Randu segera berlari menuju kamarnya. Menyambar asal jaket dan juga kunci motor.

Untung saja kamar Randu berada di lantai satu. Ia memutuskan untuk mengikuti sang ibu. Kehadiran dua pria waktu lalu sudah cukup mencurigakan, ditambah kini ibunya pergi diam-diam?

Mengikuti motor besar yang gerakannya begitu luwes menyalip kendaraan yang tersisa.

Randu tercengang, karena baru mengetahui fakta bahwa ibunya bisa mengendarai motor, terlebih lagi motor besar.

Selama ini ibunya dikenal sebagai wanita berhati lembut, wanita ramah murah senyum, wanita paling baik yang pernah Randu tahu.

Namun, sekarang ibunya menunjukkan sisi dirinya yang lain. Sisi yang garang juga liar.

Pemuda itu bahkan tidak menduga, bahwa sang ibu bisa marah hingga memukul seseorang.

Motor yang Riana kendarai semakin melesat membelah jalanan. Berbelok menuju jalan yang akan membawanya menuju hutan.

Randu menjaga jarak, agar Riana tidak menyadari keberadaannya.

Semakin dalam, semakin jauh. Randu sempat mengira mereka tersesat. Karena jalanan yang cukup rumit, penuh kelokan, memungkinkan mereka tersesat.

Sebelum pandangannya menangkap sebuah bangunan di ujung jalan. Bangunan tua yang tidak terawat. Dan ibunya, berhenti tepat di depan sana.

Riana menekan sesuatu di samping tembok, hingga pintu tak terlihat itu terbuka. Melenggang masuk begitu santai seolah bangunan itu miliknya.

Setelah Riana masuk, Randu bergegas menyusul. Mencoba menggeser, mendorong, mendobrak agar pintu itu terbuka. Nihil, tidak bisa.

Randu juga sudah mencoba mencari tombolnya, namun tak ia temukan. Lalu, Randu mencoba meraba tembok, tempat di mana Riana menekan tombol itu. Dan, akhirnya berbunyi klik, terbukalah pintu itu.

Randu tersenyum lebar, bergegas masuk. Hal pertama yang Randu lihat adalah lapangan luas.

Terdapat beberapa mobil di sana. Mobil yang pernah Randu lihat di film. Mobil militer.

Mobil-mobil itu berjejer rapi, di dalamnya terdapat beberapa senjata. Seperti belati dan senapan, juga tas gendong ukuran besar, lengkap dengan peluru.

Randu mencoba masuk semakin dalam, membuka salah satu ruangan. Yang ternyata ruang kendali, orang-orang yang berada di dalamnya tengah sibuk mengoperasikan komputer dengan layar cukup besar.

Padahal bangunan yang Randu masuki ini jika dilihat dari luar tidak besar. Tapi, dalamnya begitu luas.

Randi kembali menelusuri bangunan, beruntung saat ini tidak ada siapa pun di sana. Lalu, pandangannya menangkap sebuah pintu.

Pintu cukup besar yang terbuat dari kayu jati.

Penasaran, Randu mencoba mencari tahu apa yang ada di dalam sana.

Pintu itu cukup berat saat Randu mencoba mendorongnya. Randu mengangkatnya sedikit dengan tenaga penuh agar tak menimbulkan suara. Mencoba mengintip.

Di sana, ibunya tengah berbicara dengan seorang pria, entah membicarakan apa. Suara mereka terlalu kecil untuk dapat di dengar. Lalu, keduanya beranjak entah ke mana.

Dengan rasa penasaran yang semakin menggerogoti, Randu mendorong pintu itu agar terbuka lebih lebar.

Tebak apa yang Randu lihat.

Sebuah ruangan yang dipenuhi dengan senjata. Berbagai jenis senapan, belati, peluru, bahkan perlengkapan tempur individual.

Setiap senjata terpajang rapi, entah itu di dinding mau pun di dalam kotak kaca. Bahkan peluru berjejer sesuai jenis dan fungsinya.

Tempat apa ini? Kenapa ibunya ada di sini? Siapa sebenarnya wanita yang Randu panggil 'ibu' itu? Seberapa banyak hal yang ibunya sembunyikan?

Semua pertanyaan itu hanya membuat Randu pening. Ia hanya menatap arah kepergian ibunya dengan pandangan nanar.

"Siapa ibu sebenarnya?"