Jam weker terus berbunyi, memekakkan telinga, mengganggu waktu tidur, memaksa untuk segera bangun dari alam mimpi dan kembali menghadapi kenyataan yang tak seindah harapan. Pagi ini aku harus bangun cepat dan segera berolahraga lalu menemui klien untuk membahas pekerjaan.
Dengan malas aku memaksa diri untuk segera bangun, menyibak selimut yang menutupi sebagian badan, memaksa tangan kananku melayang untuk bergerak mematikan jam weker sialan yang masih saja berdering itu. "Yatuhan gua masih ngantuk!" keluhku sambil mengusap frustasi wajah juga rambut yang sudah bagaikan surai singa.
"Hahh…"
Kusibak tirai cokelat yang menjadi gorden jendela besar kamar ini, yang langsung menampilkan awan-awan putih, biru dan kelam bercampur menjadi satu sebagai transisi dari malam menuju pagi. Matahari masih belum terlihat, berarti aku bangun terlalu cepat dan tidur sangat sebentar. Wajar saja, karena memang subuh tadi aku baru pulang, aku ingat beberapa jam lalu saat aku sampai parkiran untuk memarkirkan mobil, langsung terdengar suara adzan subuh berkumandang dan sekarang sudah jam enam pagi saja, itu artinya aku baru tidur satu setengah jam saja.
Gila! Kalau terus hidup begini, seperti kata Kris, aku pasti akan tumbang atau mati muda karena pola hidup yang tidak ada aturan, belum lagi pekerjaan yang tidak ada habisnya.
Aku terus berdiri di depan jendela besar yang menampilkan awan, melamun memikirkan masa depan yang entah bagaimana akan aku rangkai, memikirkannya saja nyaliku langsung ciut. Aku takut, bahkan bisa di bilang sedikit trauma melakukan hal tersebut, aku takut pada angan-anganku sendiri dan kembali kecewa karena semuanya tidak sesuai dengan ekspektasi.
"Harusnya kamu disini, kita berdua, memandang langit yang sama" gumamman hati yang selalu aku ucapkan setiap pagi, berdiri menatap langit dengan pikiran yang melayang jauh dari pandangan menuju satu orang yang sampai sekarang tidak berhasil aku temukan.
Deringan ponsel tiba-tiba terdengar, memaksa diri untuk memutar balik dan melihat si pengganggu yang berani-beraninya meneleponku di pagi buta begini. "Jika ini Javas, aku pasti akan memakinya!"
PAPAH
Satu nama ini membuatku terdiam untuk sesaat, tidak biasanya dia menghubungiku pagi-pagi sekali, apalagi ini adalah hari minggu yang harusnya menjadi waktu istirahat.
"Halo ?" ucapku dengan enggan begitu aku mengangkat panggilan telepon ini.
"Malam ini bisa kamu berkunjung ke rumah ? Papah mau bicara sama kamu, lagi pula sudah lama kamu tidak datang berkunjung"
"Ada Apa ?" aku langsung menembak dengan pertanyaan, ucapan pria tua itu sangat tidak masuk akal bagiku. Setelah hampir setahun dia bahkan tidak peduli aku datang atau tidak ke rumahnya, kenapa baru sekarang dia menyuruh aku datang ke rumah neraka itu, aku yakin pasti ada maksud lain.
"Rafan, Papah hanya mau kamu berkunjung, lagi pula nenek akan datang juga, jadi lebih baik datang dan temui nenek kamu"
Rafan mengusap tengkuknya, lelaki itu seperti sedang menahan emosi dalam diri yang siap meledak. "Huft... Jika ini masih menyangkut tentang perjodohan itu, Aku tegaskan aku tidak akan datang. Jangan memberikan alibi yang gak masuk akal Pah, aku tahu Wanita tua itu tidak pernah ingin bertemu denganku atau bahkan mencari keberadaanku, walaupun aku mati sekalipun, dia tidak akan peduli. Jadi, jangan coba-coba mengarang cerita. Lagipula aku juga gak ingin bertemu lagi dengan wanita tua itu" jawab Rafan yang begitu tenang namun penuh peringatan.
"Rafan, bersikaplah dewasa. Kamu tidak akan selamanya hidup sendirian di dunia ini, sadar Rafan!"
Rafan yang sedaritadi berdiri sekarang terduduk di pinggir ranjang, mengikuti sunnah dalam Islam tentang bagaimana cara mengatur emosi, sambil terus mengatur nafas. "Ini masih pagi, Papah sudah mau mengajak aku berdebat ? Aku tegaskan, aku tidak akan datang jika hanya ingin bicara tentang perjodohan itu" jawab Rafan.
"Rafan, apa kamu tidak mau bertemu dengan papah ?"
Jika bisa aku menjawab jujur, aku tidak mau bertemu dengan pria ini, walaupun dia adalah ayah kandungku.
"Aku datang kalau Papah janji tidak akan membicarakan soal perjodohan itu lagi"
"Apa kamu tidak mau mempertimbangkan lagi keputusan kamu ? Kamu tidak mungkin selamanya sendirian Rafan"
"Itu urusanku Pah, Lagipula siapa yang buat aku begini ? Aku sudah menikah, Papah pun tahu itu, Papah mau aku menikah lagi ?"
"Dia sudah meninggalkan kamu!"
"Iya, karena Papah yang menyuruhnya pergi"
"Kamu masih menuduh Papah ?! sampai kapan kamu mau menuduh Papah terus ? Sudah Papah bilang kalau Dia pergi karena keinginannya, bukan karena Papah yang menyuruh Dia pergi!"
Rafan menelan ludah pahit sambil memejamkan mata, menahan rasa nyeri di hati yang kembali meradang. "Tidak ada satupun informasi yang aku tau, bahkan biodata karyawan kantor semua masih tersimpan rapih di dalam file, tapi kenapa hanya biodata perempuan itu yang hilang ? Oh bukan hanya itu, di hari aku selesai operasi, semua orang ada disana, tapi kenapa hanya dia yang tidak ada ? Bohong sekali kalau kalian semua tidak tau apapun. Aku bertanya berkali-kali, tapi tidak ada satupun orang yang mau memberitahuku, mana mungkin semua tidak tau dia pergi. Bahkan pembantu dan satpam yang dua puluh empat jam berada di rumah tidak mengetahui kemana dia pergi. Apa papah pikir gadis selugu itu lompat dari jendela dan pagar yang tinggi hanya untuk kabur ? apa papah pikir dia bisa melakukannya !?"
Aku mendengar desahan lelah dari yang keluar dari mulut pria tua itu. "Apa Papah pikir aku bodoh dan percaya semudah itu dengan semua keganjilan yang coba papah tutupi ?!"
"Papah tidak mau berdebat sama kamu, pokoknya Papah tunggu kedatangan kamu malam ini di rumah"
"Sudah aku bilang ak… Sialan!" Rafan membanting ponsel itu tepat setelah sang ayah memutuskan panggilan secara sepihak tanpa mau mendengar jawabannya. Nareswara tetaplah pria egois, lelaki yang sialnya menjadi ayahku.
Rafan tertunduk sambil meremat rambut-rambut kepalanya, berkali-kali dia mengatur nafas yang memburu tak karuan, di dalam yang sepi, dia sendirian mengatur emosi.
Tidak ada yang tersisa dalam hati dan diri setelah melihat kehancuran di depan mata, aku seperti orang gila yang merasakan sakit sendirian.
Apa belum cukup aku hancur di depan matanya setelah apa yang dia lakukan ?
Mengapa harus orang seperti itu yang menjadi ayah, Bahkan dia tidak bisa di sebut orang tua setelah semua yang dia lakukan padaku.
Kenapa ?
***
"Rin!"
Aku tersenyum, melambaikan tangan saat seorang wanita yang berdiri tak jauh dari tempatku duduk memanggil, wanita itu berjalan kearahku.
Rasanya sudah lama kami tidak berjumpa, meski harus berhati-hati agar tidak di ketahui dan menimbulkan masalah yang terjadi, tapi aku tidak bisa berbohong kalau saat ini aku benar-benar senang akhirnya kita bisa bertemu lagi.
"Ririn apa kabar ?"
Kami saling memberikan pelukan hangat, melerai dan saling menatap satu sama lain. "Baik kok, lo sendiri apa kabar ?"
"Aku juga baik" jawabnya sambil tersenyum manis, senyuman yang bahkan aku sebagai wanita merasa kalau itu sangat manis dan iri karena dia punya senyuman semanis dan secantik itu.