Liana terpekik saat membaca pesan di aplikasi wa, Aku di basement apartemen nih. Want you.
Oh My God, Liana saat ini baru bangun dari tidurnya yang nyenyak. Rambut panjangnya masih kusut.
Lantai 60, balas Liana.
Liana bergegas membersihkan diri di kamar mandi dan dengan asal menggunakan kaos lengan panjang dan celana kolor selutut. Wanita itu bergegas menuju pintu dan nampaklah Abimanyu dari intercom di dinding.
Huft. Liana menetralkan degup jantungnya. Entah perasaan apa ini, tapi dia menyukai segala yang ada di Abimanyu, mungkin kagum.
Liana menampilkan senyum terbaiknya saat membukakan pintu, senyum pepsodent.
"Hai" sapa Liana gugup.
Abimanyu tersenyum lebar, mengangkat kantong plastik ke arah Liana, "Branch?"
Liana menganggukkan kepalanya, mempersilahkan Abimanyu masuk ke dalam apartemen nya. Mata Abimanyu menjelajah ke dinding belakang sofa panjang yang memperlihatkan beberapa foto Liana dengan keluarganya.
Foto Liana dengan anak-anaknya, foto Liana dan saudaranya sewaktu kecil dan terakhir foto Liana cemberut saat seorang lelaki mencium pipinya. Liana dan Leon. Abimanyu hanya tersenyum tipis melihat foto itu. Cemburu.
"Mas" panggil Liana.
Wanita itu menyiapkan bubur ayam yang di bawakan Abimanyu, toping yang lengkap dengan sate telur puyuh dan sate usus membuat mulut Liana berair tak sabar.
"Anak-anak mana?" tanya Abi sambil mengaduk buburnya.
"Masih tidur, semalam aku datang tuh ya mereka ternyata nungguin. Hahaaa, kangen katanya"
Liana menyendok sambal berkali-kali membuat Abimanyu menahan perih, "Li, itu sambal di kira-kira kenapa?"
Liana hanya menyengir, "Aku suka pedes, asem, manis mas. Jadi semua harus pas"
"Gak usah pake kecap, Li. Kan kamu sudah manis" Abimanyu menaik turunkan alisnya.
"Gombalannya" Liana tertawa.
Bagi Abimanyu, tawa Liana adalah melodi terindah yang dia pernah dengar.
Mereka berdua makan dalam keadaan saling tersenyum, melirik, melihat, dan berbicara.
~~~
Adelia mengoceh tidak jelas saat Abimanyu menganggunya dengan mengambil es krim yang di pegangnya, sementara Amelia menyuapi Arjuna dengan es krim hingga belepotan. Liana sibuk memandangi mereka semua, keluarga seperti inilah yang dia impikan.
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, buru-buru dia menghapus tapi Abi segera menoleh saat dia merasakan Liana tak mengoceh seperti tadi.
Ya, Abi melihat Liana menahan tangisnya. Liana memegang dadanya yang terasa sesak, Abimanyu segera mengelus punggungnya. Nafas Liana mulai tersengal-sengal, wanita itu menyenderkan punggungnya di kursi kafe itu.
Amel segera mengambil inhaler di tas Mamahnya saat dia melihat Mamahnya mengalami wheezing.
Abimanyu berkeringat dingin, dia baru tau jika Liana memiliki asma. Abimanyu teringat Ibunya. Ya, Ibunya meninggal karena penyakit asma yang di deritanya. Terlambat mendapat pertolongan membuat Ibunya meregang nyawa dan meninggalkannya saat dia masih berusia 10 tahun. Sedangkan Ayahnya tak pernah menikah lagi, selalu disibukkan dengan pekerjaan yang membuat Abimanyu harus tinggal bersama Omanya.
"It's Ok. I'm here. Inhale and exhale slowly. Okey" ucap Abi.
Liana mengikuti perintah Abi dan nafasnya mulai teratur secara perlahan. Liana meneteskan air matanya, bukan air mata karena sesak nafasnya. Tetapi air mata karena ia ingin akhir yang bahagia.
~~~
"Habis dari mana?" tanya Leon tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
"Cari angin di luar" jawab Liana dingin.
Arjuna meronta-ronta di pelukannya saat melihat Leon bersandar di loveseat sofa. Leon mengambil Juna dari carrier Liana, "Uyuhh, anak Abah dari mana tadi hm? Mamah habis ketemuan sama om Abi ya?" tanya Leon pada Juna yang tentu hanya di balas dengan bubbling.
Liana hanya memutar bola matanya malas, jelas-jelas Leon sudah tau kemana dia pergi malah sekarang pura-pura bertanya.
"Aku mau ke Solo." ucap Liana.
Leon mengernyitkan dahinya hingga membentuk lipatan halus di dahi, "Ngapain?," Leon melihat wajah Liana kusut, "mau buka cabang di sana?"
Liana menggeleng sembari mendudukkan bokongnya ke lantai, tubuhnya ia senderkan ke sofa di tengah-tengah kaki Leon, "Mas Abi ngajak kenalan sama keluarganya."
Mata Leon terpejam, dia tidak ingin Liana jatuh ke pelukan lelaki selain dirinya, "Datang aja. Aku ijinkan."
Liana menarik bulu kaki Leon, membuat empunya menjerit kaget, "Apasihh!! Sakit tauk"
Liana mendelik, "Sejak kapan aku mau jalan harus ijin kamu? Hah?"
"Loh, kan emang biasanya gitu?"
Liana berpikir sejenak, "Ohh iya ya"
"Nah gini nih," Leon menyisir rambut Liana lembut, "antara oon sama beleng beda tipis"
Aaakkk. Leon berteriak saat Liana menggigit pahanya meninggalkan bekas gigi.
~~~
Hari senin adalah hari yang super sibuk bagi semua manusia seperti Leon yang merupakan seorang guru. Dan juga seperti Liana yang memiliki anak kelas 2 SD. Subuh tadi, mereka flight ke kota asal. Dan tentu saja, semuanya ikut tanpa terkecuali.
"Sepertinya kita harus pindah rumah," kata Pak Hardjo. Semua mata yang berada di dalam pesawat pribadi menatap Pak Hardjo, "Kita kan tak bisa bolak-balik seperti ini. Kalian mau pilih Jakarta atau Semarang?"
Leon menatap Liana yang di balas dengan anggukan kepala, "Leon setuju di Jakarta, tapi kerjaan Mas Indra gimana?"
Semua mata menatap Indra yang tengah mengelus punggung Lena yang terlelap, "Saya bisa minta mutasi ke Jakarta kok, tenang aja."
"Bagus kalau begitu semuanya setuju," mata Pak Hardjo menatap anak keduanya itu, "Luna gimana?"
"Luna ok pap." Luna menyeringai hingga memperlihatkan gigi putihnya.
~~~
Setelah mengantar Amel ke sekolahnya, Liana berjalan kaki menuju SMA yang berada di deretan ujung. Ya, SD Dharma Husada, SMP Dharma Husada dan SMA Dharma Husada berada di dalam satu lingkup yang mungkin luas tanahnya ini berhektar-hektar.
Liana menuju kantin di SMA Swasta favorit itu, SMA tempat Leon mengajar. Langkah Liana tak lagi anggun mengingat perutnya sangat kelaparan. Dia ingin bubur ayam saat ini juga. Tetapi, langkahnya terhenti saat melihat Leon berjalan berdampingan dengan seorang siswinya yang Liana nilai cukup cantik itu.
Liana cemburu? O, tentu saja tidak. Liana selalu menyangkalnya. Liana hanya tidak suka.
Wanita itu kembali berjalan, pandangannya lurus menatap kantin yang telah terlihat. Tetapi langkah Leon terhenti saat salah satu penjual di kantin membawa nampan yang berisikan beberapa mangkok bakso.
'Mau di antar kemana bu?' tanya Leon.
'Ke Den Alfian, Pak'
'Oh, Alfian masih di ruang ganti habis olahraga', ucap siswi itu.
Senyuman Leon terhenti ketika dia mengikuti arah pandang Ibu penjual itu, dia melihat Liana melangkah pelan menuju dirinya, "Sweetheart? Miss me?"
Liana tak menggubris, tatapannya hanya fokus ke arah siswi itu--tatapan intimidasi dari atas sampai ke bawah. Liana membuang muka dan melenggang pergi menuju kantin tanpa peduli Leon yang memanggil namanya.
"Cemburu? Huh?," Leon tanpa di undang meletakkan bokongnya bersebelahan dengan Liana, "Aku hari ini mau resign, jadi tunggu aku di kantin sebentar." Leon beranjak meninggalkan Liana yang masih diam. Dia tau, Liana akan menunggunya, bisa di pastikan itu.
~~~
Hampir satu jam lamanya Leon meninggalkan Liana. Dan sekarang, wanita itu telah di kerubungi oleh lalat-lalat di kantin.
"...yah kalo Pak Leon resign kita bakalan gak kedatangan bidadari lagi dong" seorang siswa bertubuh tambun bernama Edi Santoso menutup wajahnya, pura-pura menangis.
"Aku cinta mati loh sama kamu Mbak" siswa itu menyisir rambutnya dengan tangannya. Dia Alfian. Alfian Satya Maharaja.
Alfian adalah pentolan di SMA itu. Tampan, wajahnya ke arab-araban. Orangtuanya pemilik sekolah ini, tapi itu tak membuatnya sombong. Otaknya memang luar biasa.
"Beda 8 tahun itu gak kentara kok Mbak, apalagi kalo pasangannya itu Mbak Liana. Setelah lulus, aku mau nikahin Mbak kan aku denger-denger Mbak udah cerai sama Om Fajar. Buy one get three i think no problem" cerocos Alfian.
"No problem menurutmu but menurutku it's a big problem Al," suara Leon menggema di kantin membuat mata para siswa dan siswi menoleh, "You know, Liana is mine. Then, now or later."
Leon menarik jemari Liana yang membuat Liana harus berdiri dan seketika Leon mencium singkat bibir Liana yang di sambut dengan sorak-sorai tepuk tangan siswa-siswi. Alfian menggeretakkan giginya. Cintanya sudah tertanam untuk wanita yang juga di cintai guru Matematikanya itu.
Liana menahan tawa menatap Leon. Apa barusan secara tidak langsung Leon mengatakan bahwa dia cemburu dengan anak remaja? Liana menghampiri Alfian yang duduk di hadapannya sehingga Alfian sontak berdiri. Tinggi Alfian di atas rata-rata anak seusianya, tingginya mencapai 175. 10 centi lebih tinggi dari Liana.
"Lulus dulu, kerja dulu baru boleh ajak aku nikah," Liana memberikan senyum terbaiknya menampilkan dimplesnya di kedua pipinya, "Ok?"
Alfian mengangguk, senyumnya tak pernah pudar menghiasi bibir ikalnya, "Boleh peluk?" pintanya.
Liana hanya menggeleng sembari tertawa pelan, Liana memajukan kakinya dua langkah membuat nafas Alfian tercekat. Liana memegang bahu Alfian, dia berjinjit sedikit dan mencium pipi Alfian membuat pipi Alfian merona bak udang rebus. Leon mendengus kesal. Liana memutar tubuhnya--menghampiri Leon dan menggamit lengannya.
"Kamu gilak?!!," protes Leon saat sampai di halaman sekolah Amel, "Kamu kasih harapan ke dia."
"Dia itu masih labil, Le. Dia hanya belum ketemu sama belahan jiwanya."
Leon mengembuskan nafas kasar. Kakinya ia langkahkan menuju mobil Audi milik Liana yang terparkir rapi. Mendinginkan otaknya dengan AC mobil.
Liana tidak tau saja, bahwa Alfian itu terobsesi dengannya. Bagaimana tidak? Jika semua buku tulisnya menggunakan sampul berlukiskan Liana. Di semua seragam sekolahnya tertera nama Liana di ujung seragam. Benar-benar membuat Leon terbakar api cemburu.