webnovel

I Love You, Ars!

PRANG! Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat. Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'. "Ars, dengerin aku dulu ...." "Cukup!" Napasku terengah. Entah berapa banyak tenaga yang sudah kuhabiskan untuk memporak-porandakan isi apartemen. Aku tak peduli. Evan merangkul bahuku. Aku mencoba berontak, dan berhasil. Lalu terhempas duduk ke atas tempat tidur. "Jangan sentuh aku!" Evan menekuk lutut, memohon di hadapanku. Aku menutup kedua telinga. Sungguh, tak ingin mendengar satu kata pun kedustaan yang ke luar dari mulutnya. "Ars ...." "Jangan bilang kamu nggak kenal sama perempuan itu! Aku tau siapa dia! Aku tau!"

Lovayudia · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
21 Chs

Arsyana 21

Mataku mengerjap beberapa kali. Mencoba memahami apa yang sedang terjadi di depan mata. Sebenarnya tak ingin mempercayai dua orang yang sudah seperti saling mengenal sebelumnya, tapi kenyataan memang seperti itu.

Hilda dan Renata.

Mereka berbincang seolah tanpa jarak. Sikapnya pun terlalu biasa jika bukan karena sudah berteman sejak lama. Hilda yang berbicara dengan nada santai. Dan Renata, yang ... menghisap rokok dalam-dalam. Juga, high heels yang melekat di kakinya. Pun perutnya yang terlihat rata.

"Gue nggak sabar buat menyaksikan kehancuran Evan," ucap Hilda disusul dengan seringai tajam.

Kehancuran Evan? Apa maksudnya?

"Lebih baik lu akhiri semua ini, Hil. Gue kok kasian ya sama Arsyana?" timpal Renata setelah mengembuskan asap rokok.

Hilda mendelik pada Renata. "Gue nggak minta pendapat lu. Lu cukup lakukan tugas dengan baik aja."

"Tapi lu harus tau. Arsyana nggak ada hubungannya sama masalah ini."

"Ren, jelas ada hubungannya. Kenapa dia bisa hidup nyaman sama Evan, sedangkan gue nggak?"

"Karena Evan memilih menikah dengan Arsyana, dan lu iri!"

"Lu nggak tau apa yang dirasakan gue saat ini."

"Gue emang nggak tau perasaan lu. Tapi seenggaknya dendam lu jangan berlebihan kayak gini."

"Bukan urusan lu!" ucap Hilda tegas sesaat sebelum berbalik.

Tepat saat Hilda akan memulai langkahnya, mata kami bertemu. Dia tertegun, mengurungkan niatnya untuk segera pergi. Di belakangnya, Renata melemparkan rokok dan menginjaknya ketika menyadari kehadiranku. Pupil mereka membulat sempurna.

Aku menghampiri Hilda dan Renata yang hanya mematung. Gerak-geriknya terlihat salah tingkah.

"Maksud kamu apa?" tanyaku menatap Hilda dan Renata bergantian.

"Ars? Kamu sejak kapan di sini?" Hilda malah balik bertanya. Suaranya terdengar gugup.

"Jawab, Hil! Maksud kamu apa mau ngehancurin Evan?"

Hilda meraih jemariku. "Ars, kayaknya kamu salah denger."

"Pendengaranku masih normal, dan aku tahu maksud yang kamu bicarakan sama Renata," ucapku sambil menepis jemari Hilda.

"Ars, dengerin gue dulu," pinta Renata.

Aku melirik perut Renata yang terlihat rata. "Ke mana bayi yang ada dalam kandungan kamu?"

Renata cepat-cepat menunduk. Kembali, aku menatap Hilda. Rasanya mata dan hati ini memanas begitu saja saat melihat wajahnya. Tak seperti dulu, tak lagi kutemukan rasa nyaman saat berhadapan dengannya.

"Lu harus tau, Hil. Gue selamanya akan hidup nyaman sama Evan. Keinginan lu buat menghancurkan hidupnya, tak akan pernah terwujud, karena gue akan tetap di sampingnya!" jeritku dengan napas terengah.

Raut wajah Hilda berubah. Dia tersenyum sinis padaku.

"Gue nggak akan pernah biarin itu terjadi!" sahut Hilda dengan nada santai.

"Kenapa lu lakuin ini semua?" tanyaku penasaran.

"Karena gue cinta sama Evan."

"Cinta kamu bilang? Setelah apa yang kamu lakukan dan membuat kami menderita, kamu bilang cinta?"

"Evan lebih dulu mengenal gue. Harusnya gue yang nikah sama dia, bukan lu, Ars!"

Kini, giliran aku yang tersenyum sinis. "Karena dia tau, lu nggak layak!"

Rahang Hilda mengatup keras, wajahnya memerah. Kemudian dia melangkah mengitariku. Tangannya memainkan anak rambutku yang tergerai.

"Menurut lu, lu layak?" tanyanya berbisik di telingaku dari balik tengkuk.

Detik berikutnya, aku merasakan Hilda mendorong tubuhku hingga aku tersungkur. Perutku membentur kursi taman yang terbuat dari besi. Seketika, rasa nyeri luar biasa menjalar. Seluruh tubuhku bergetar.

Tak lama, aku merasakan sesuatu yang basah mengalir di bawah sana. Tenagaku tak cukup kuat untuk berteriak meminta bantuan. Aku hanya mampu memegangi perut yang terasa semakin menyakitkan.

"Hil, cepet bawa Arsyana ke rumah sakit," ucap Renata panik.

"Biarin dia mati bersama bayinya, Ren," sahut Hilda.

Aku masih bisa melihat dua manusia itu di keremangan malam. Wajah Hilda yang tersenyum puas melihatku merintih kesakitan, dan Renata yang terlihat panik.

Tak lama, aku melihat di kejauhan Evan dan Bang Ash berlari ke arahku. Satu buket bunga mawar merah terhempas begitu saja dari tangan Evan.

Bang Ash langsung menopang kepalaku. Dia mengusap wajahku yang sudah penuh dengan keringat dingin.

"Sakit, Bang ...," lirihku.

"Ars, kamu tahan ya?" Bang Ash meminta.

Sedangkan Evan, dia menekan kedua pipi Renata kuat-kuat. Wajahnya terlihat penuh amarah.

"Apa yang udah lu lakuin sama Arsyana?" teriak Evan pada Renata.

"Bu-bukan gue!" jawab Renata disusul lirikan mata pada Hilda.

Evan mengikuti arah pandangannya. Dia segera menekan kedua tangannya pada leher Hilda dengan kuat.

"Lu mau apa, hah?" teriak Evan.

"Van! Kondisi Arsyana lebih penting sekarang!" Ucapan Bang Ash berhasil melepaskan cengraman Evan di leher Hilda.

"Ars, kita ke rumah sakit sekarang ya?"

Aku mengangguk pasrah. Penglihatan semakin kabur, hingga aku hanya merasakan bahwa Bang Ash tengah membopongku dan masuk ke dalam mobil.

Di perjalanan, Bang Ash terus memeluk dan menciumi pucuk kepalaku. Terlihat lelehan air mata di pipi. Untuk pertama kalinya, aku melihat dia menangis. Saat orang tua kami meninggal, tak ada isak tangis darinya. Mungkin, ingin terlihat kuat di depanku. Namun saat ini, bulir bening itu meluncur bebas di wajahnya. Walaupun begitu, dia masih terlihat tampan.

"Van, cepet!" Bang Ash memerintah. Evan tak menjawab, dia terus menyetir.

Sakit yang terasa begitu sangat, hingga aku tak mampu lagi untuk membuka mata. Namun, suara isak tangis Bang Ash masih jelas terdengar.

Teringat saat pertama kali aku merasakan gerakan dia dari dalam. Ketika itu Evan sedang mengelus perutku dengan lembut. Kini, apa yang sedang terjadi padanya di dalam sana? Aku berharap, dia akan bertahan dan lahir dengan selamat hingga waktunya tiba.

Saat tiba di rumah sakit, tubuhku langsung dibaringkan di atas brankar. Aku kembali membuka mata perlahan, walaupun pandangan sudah tak jelas. Di kanan-kiriku Evan dan Bang Ash menggenggam erat jemari yang sudah terkulai pasrah.

Terdengar pintu IGD terbuka, dan aku merasakan tangan Evan dan Bang Ash terlepas. Aku melihat bercak merah di kemeja yang Bang Ash kenakan. Brankar mulai masuk sepenuhnya, dan aku melihat mereka menjauh bersamaan dengan pintu yang tertutup rapat. Aku tersenyum, hanya untuk memberi isyarat bahwa aku baik-baik saja. Hingga sampai pandanganku menjadi gelap sempurna.