webnovel

I Love You, Ars!

PRANG! Aku melemparkan piring dan gelas di hadapanku yang masih berisi sandwich dan teh hangat. Biarlah. Aku suka ini. Aku suka ketika hatiku yang sedang bergemuruh mendapatkan 'teman'. "Ars, dengerin aku dulu ...." "Cukup!" Napasku terengah. Entah berapa banyak tenaga yang sudah kuhabiskan untuk memporak-porandakan isi apartemen. Aku tak peduli. Evan merangkul bahuku. Aku mencoba berontak, dan berhasil. Lalu terhempas duduk ke atas tempat tidur. "Jangan sentuh aku!" Evan menekuk lutut, memohon di hadapanku. Aku menutup kedua telinga. Sungguh, tak ingin mendengar satu kata pun kedustaan yang ke luar dari mulutnya. "Ars ...." "Jangan bilang kamu nggak kenal sama perempuan itu! Aku tau siapa dia! Aku tau!"

Lovayudia · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
21 Chs

Arsyana 13

Bang Ash menungguiku semalaman. Dia tertidur sambil duduk di kursi. Kedua tangannya menopang kepala di atas ranjang rumah sakit. Aku mengusap rambutnya perlahan, dia terbangun.

"Pagi, Ars ...," sapanya parau.

"Bang, lu pulang gih. Pasti pegel-pegel, 'kan?"

"Gue mau nemenin lu di sini sampe lu boleh pulang, Ars."

"Tadi, kata perawat, gue baru boleh pulang besok, Bang."

Bang Ash menguap, menyisakan mata yang berkaca-kaca. Lingkar hitam timbul di area mata. Dia terlihat begitu lelah.

"Bang, lu pulang ya? Gue baik-baik aja."

Bang Ash menatapku.

"Gini deh. Lu pulang, tidur. Bangun tidur, lu ke sini lagi. Oke?"

Pagi ini, aku terasa lebih segar. Rasa sakit di perutku sudah hilang. Bahkan, suhu tubuh sudah kembali normal. Tapi, dokter tak mengizinkan saat aku meminta untuk pulang secepatnya.

"Ya udah, oke. Tapi kalo lu ada apa-apa, langsung kabarin gue."

"Oke, Bang."

Bang Ash bergegas, melangkah menuju pintu meninggalkan ruangan.

Aku meraba-raba nakas di samping ranjang. Mencari ponsel. Nihil. Tentu saja tertinggal di apartemen.

"Pagi ... Bu Arsyana sarapan dulu ya." Seorang petugas masuk ke ruangan dan membawakan breakfast set.

"Makasih," ucapku.

Saat petugas ke luar ruangan, aku memulai sarapan. Menyuap nasi lembek beserta sayur bening. Tak begitu buruk. Hanya saja ... terasa sedikit mual. Hingga sampai lima suapan, dan ... hoeeek.

Aku memuntahkan seluruh isi perut. Makanan yang kulahap tadi, berceceran tak beraturan di atas baju dan selimut. Bersamaan dengan datangnya Evan.

Evan termangu melihat keadaanku. Mungkin, menurutnya menjijikkan. Terserah, aku tak peduli.

Menit berikutnya, dia tersenyum. Menghampiriku yang saat ini mungkin sedang terlihat bodoh. Dia mengusap kepalaku, aku menepis.

Setelah itu, tahu apa yang dilakukannya? Dia membersihkan sisa muntahanku yang berceceran tanpa mengeluh sedikit pun. Mengganti selimut yang dibawanya. Begitupun dengan bajuku.

Saat aku hanya mengenakan bra, dia mengusap perutku. Penuh sayang. Bahkan, sampai sekarang aku masih tak percaya pria selembut Evan tega berkhianat. Atau mungkin, karena dia terlalu lembut, sehingga dengan mudahnya menyama-ratakan kelembutan pada setiap perempuan?

Aku menepis tangan Evan. Segera memakai baju yang dibawanya. Bersandar pada bantal yang posisinya sudah diatur.

"Kamu mau makan apa biar nggak mual? Aku beliin."

Aku menggeleng.

"Kamu harus makan. Biar dia sehat."

Evan menatapku penuh makna. Sorot matanya mengisyaratkan kerinduan. Ah, tidak. Itu hanya omong kosong.

"Kenapa kamu nggak kerja?"

"Aku mau jagain kamu di sini."

"Nggak usah. Bang Ash bentar lagi balik."

Evan menghela napas, mengembuskannya perlahan.

"Kamu nggak bisa kayak gini terus, Ars."

"Gimana? Kamu yang buat aku kayak gini."

"Kalau begitu kita selesaikan."

"Oke. Kita selesai sekarang."

Evan menatapku nanar. Bekas lukanya masih terlihat jelas di beberapa bagian.

"Aku mau pisah sama kamu," ucapku sambil memalingkan wajah.

"Aku nggak mau. Itu nggak akan pernah terjadi."

"Kamu pikir, aku masih mau hidup sama kamu setelah apa yang kamu lakuin?"

"Kamu salah paham, Ars. Aku ... dijebak."

Aku mendecih. Perkataannya hanyalah dusta.

"Dia hamil anak kamu, Evan!"

"Nggak, Ars. Aku ... nggak yakin. Aku nggak tau itu anak siapa."

"Tapi, setidaknya ... fakta bahwa kamu tidur sama dia. Iya kan?"

Evan menunduk. Bola matanya bergerak-gerak. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin, dia sedang mencari kata apa yang tepat agar aku bisa percaya.

"Malam itu ... aku nggak sengaja ketemu dia di parkiran kantor. Dia menawariku minuman, dan aku minum, Ars. Setelah itu, aku nggak inget apa-apa."

"...."

"Waktu aku bangun, tiba-tiba dia ada di sampingku disebuah hotel."

"...."

"Kamu percaya sama aku, Ars. Aku nggak ngelakuin itu."

Aku bingung. Harus percaya atau tidak. Yang kutahu, dia adalah perempuan dari masa lalunya, yang kini menjelma menjadi benalu di antara aku dengan Evan.

***

Di luar dugaan, dokter mengizinkanku pulang lebih cepat. Itu karena aku terus memaksa. Aku, Evan, dan Bang Ash berdiam diri. Kami bergeming, larut dalam pikiran masing-masing.

"Kamu mau pulang sekarang?" tanya Evan membuka suara.

"Iya,"

Evan tersenyum. "Ayo!"

"Aku pulang sama Bang Ash."

"Kenapa?"

"Van, bisa ngomong sebentar?" ajak Bang Ash mengedikan kepala.

Mereka ke luar ruangan bersamaan. Yang dibicarakannya sama sekali tak terdengar olehku. Cukup lama mereka bicara.

Setelah beberapa menit kemudian, Bang Ash kembali masuk ke ruangan.

"Yuk, kita pulang!" Bang Ash membantuku turun dari ranjang, dan menaiki kursi roda.

Dia membuka pintu. Evan berdiri mematung di baliknya. Tatapannya kosong. Sama seperti Bang Ash tadi pagi, tampak lingkar hitam di area mata.

Tak sepatah kata pun yang terucap saat kami berpapasan. Baik aku, maupun Evan, kami hanya bergeming. Bang Ash mendorong kursi roda yang kunaiki di sepanjang koridor rumah sakit. Menaiki lift, yang ternyata, Evan tak mengikuti.

***

Saat di perjalanan pulang, ponsel Bang Ash berdering. Dia menerima telepon sambil terus menyetir.

"Apa?"

"Oh. Oke."

"Evan, Ars." Bang Ash menjulurkan sebelah tangannya yang menggengam ponsel.

Aku mengambil ponsel Bang Ash dengan ragu. Kemudian menempatkannya di telinga.

"Kenapa?"

"Kamu baik-baik ya di sana."

Aku menghela napas pelan. "Aku sama Bang Ash. Semuanya akan baik-baik aja."

"Jaga dia."

Setetes air mata luruh di pipi. "Ya."

Sambungan telepon terputus. Aku menyeka air mata. Mendongakan wajah, menatap lurus ke jalanan yang ramai. Seketika, aku teringat. Ponselku masih tertinggal di apartemen.

"Bang, bisa puter balik? HP gue ketinggalan di apartemen."

"Oke. Tapi sebentar aja ya?"

"Iya, Bang." Aku mengangguk.

Bang Ash mengemudikan mobilnya dalam diam. Begitu juga aku. Aku hanya menyandarkan kepala, yang kursinya sedikit di rentangkan. Sesekali menengok ke kiri, saat kulihat berjejer rapi tukang dagang dipinggir jalan.

Cilok, batagor, siomay ... kenapa terlihat menggiurkan? Apalagi saat kulihat rujak buah segar. Seakan-akan air liur hendak menetes.

"Bang, stop!" jeritku.

Ban mobil berdecit beradu dengan aspal saat Bang Ash mengerem mendadak. Dia menoleh ke belakang, dan menarik napas kasar.

"Kenapa? Untung di belakang kita nggak ada kendaraan yang ngebut, Ars!"

"Maaf, Bang," ucapku sambil nyengir.

"Kenapa?"

"Gue mau itu." Aku menunjuk dengan dagu segerombolan penjual jajanan di pinggir jalan.

Bang Ash menaikan alis. "Lu ngidam?"

Aku merengut, malu.

"Tunggu di sini."

Bang Ash segera turun dari mobil. Aku memperhatikannya dari dalam. Tampak dia sedang menyusuri satu persatu penjual cemilan. Seperhatian itu dia sebagai seorang kakak terhadap adiknya yang cukup menyebalkan ini.

Bang Ash kembali ke mobil dengan membawa beberapa bungkusan plastik. Aroma makanan langsung menguar di dalamnya.

"Nih,"

Aku menggeleng.

"Loh, kenapa?"

"Nanti aja. Di rumah."

"Lu ngerjain gue!" Bang Ash mengacak rambutku.

Lalu, kami melanjutkan perjalanan menuju apartemen. Setelah sepuluh menit, kami sampai. Bang Ash memarkir mobil di halaman depan.

"Bang, lu tunggu di sini aja."

"Gue ikut."

"Nggak usahlah, Bang. Bentaran doang."

Bang Ash tampak berpikir sesaat. "Oke. Tapi lu harua cepet."

"Iya, Bang."

Aku turun dari mobil. Memasuki lobi apartemen, dan menaiki lift. Di dalam lift, aku berpapasan dengan sepasang suami istri. Tampak buncit di perut sang istri. Ah, betapa indahnya jika kehamilanku didampingi Evan.

"Mbak?" Perempuan itu mengejutkanku.

"Eh, ya?"

"Mbaknya tadi mau ke lantai 5 kan? Ini udah sampai lantai 5, Mbak."

"Oh, ya. Makasih," ucapku tersenyum seraya ke luar dari lift.

Aku menyusuri koridor yang sepi. Setelah sampai di depan pintu, aku baru sadar tak membawa ID card. Kupencet bel, berharap semoga Evan sudah pulang terlebih dahulu.

Pintu terbuka. Aku tak percaya apa yang kulihat dihadapanku. Bukan Evan yang membuka pintu, tapi ... Renata.