"Ma, aku berangkat sekolah dulu ya, kalau telat nanti aku bisa dihukum sama kakak-kakak osis yang menjaga gerbang. Apalagi ini pertama kali aku masuk ke sekolah itu. Kalau nunggu kak Ardi takutnya aku telat."
"Terserah kamu aja mau berangkat kapan. Tapi mama pengen kamu berangkat bareng kak Ardi. Lagian sekarang kalian kan satu sekolah. Nggak usah berangkat sendiri. Tapi kembali ke kamu aja, mau berangkat sekarang atau bareng sama kak Ardi berangkatnya."
Seperti inilah kehidupanku setiap hari. Tidak oernah bisa melakukan apa yang aku mau. Semua harus serba di atur dan tertata. Tidak ada yang bisa mengalahkan kedudukan ibu di rumah ini. Karena ayah juga sudah tidak mau mengurus urusan rumah lagi. Kebutuhan rumah adalah tanggung jawab ibu.
Mungkin ayah hanya memberikan uang untuk kebutuhan kami makan dan kebutuhan sehari-hari. Bahkan ayah juga tidak pernah lagi datang ke rumah setelah kejadian itu terjadi. Kejadian di mana aku menjadi seperti ini dan kehilangan kebebasan untuk berpendapat dan melakukan apa yang aku inginkan. Semua ini karena dia.
Dia yang sudah melakukan kesalahan besar terhadap keluarga ini. Tapi hanya aku yang menanggung semua beban. Seakan-akan Aku adalah samsak yang siap untuk dipukul kapanpun dan menjadi sebuah alat pelampiasan. Terkadang aku sudah muak hidup seperti ini.
Di mana keberadaan ku di rumah ini selalu terabaikan, dan aku tidak pernah mendapatkan hak seorang anak yang seharusnya aku dapatkan dari dulu. Semua ini ini terjadi karena Aurel. Aurel adalah anak ketiga dari keluarga Brawijaya. Dia adalah kembaranku yang sudah meninggal dunia 4 tahun yang lalu.
Penyebab meninggalnya Aurel karena dia melakukan bunuh diri. Semua itu terjadi karena cinta monyet antara Aurel dan kekasihnya ketika dia masih duduk dibangku SMP. Aurel sendiri adalah gadis yang sangat cantik dan dikagumi oleh laki-laki di seluruh sekolahan. Meskipun kamu berdua kembar tetapi dia berkata Aurel jauh lebih tinggi daripada aku.
Oleh karena itu keluargaku juga lebih menyayangi Aurel daripada aku. Waktu itu aku ingat jelas bagaimana kejadian itu terjadi. Dimana kau rel melompat dari gedung sekolah dikarenakan kekasihnya waktu itu telah memutuskannya karena wanita lain. Bahkan Aurel sempat menuliskan surat untuk ayah dan ibu sebagai ucapan selamat tinggal sebelum dia meninggal.
Jujur aku sebagai adiknya sangat terpukul karena dia meninggal di usia muda. Bahkan aku merasakan rasa sakit yang dialami oleh Aurel sebelum dia melompat dari gedung. Sebenarnya kami juga sangat dekat, hubungan kami juga baik-baik saja.
Tetapi aku mulai membencinya dikarenakan ayah dan ibu selalu membuat aku menjadi anak yang terbuang. Setelah kepergian Aurel, aku tidak lagi mempunyai kebebasan. Aku juga tidak pernah mendapatkan apa yang aku inginkan.
Bahkan kedua kakakku tidak pernah menganggap keberadaanku itu nyata. Ayahku juga sempat depresi, karena dia merasa tidak bisa menjaga anaknya. Dan hingga sekarang ayah tidak pernah lagi datang ke rumah, karena ia berpikir kalau Aurel meninggal karena ayah tidak bisa menjaganya. Ayah selalu merasa bersalah ketika menginjakkan kakinya di rumah ini.
Setelah kepergian Aurel rumah ini tampak begitu suram. Tidak ada lagi tawa yang terdengar di rumah ini. Hanya ada ketenangan dan juga keheningan yang tampak. Ganti situlah mentalku mulai diuji. Sudah beberapa kali aku mencoba untuk bunuh diri sama seperti yang dilakukan oleh Aurel dulu. Tapi setiap aku ingin mengiris kan pisau ke tanganku, bayang-bayang Aurel yang mengejekku muncul di kepalaku.
Di mana dia sudah merasa menang, dan dia merasa berpengaruh di dalam keluarga ini. Dan hingga saat ini aku sungguh benci kepada Aurel. Vika mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi, mungkin aku akan menghajarnya habis-habisan.
"Arin ayo kita berangkat ke sekolah, jika kita tidak berangkat sekarang mungkin gerbang sudah ditutup sebelum kamu masuk. Kakak tidak ingin kakak menjadi jelek karena kamu telat masuk ke sekolah."
Mendengar Kardi yang berkata kepadaku ku membuat hatiku teriris. Aku rindu kak Ardi yang selalu mengajakku main di taman bermain seperti dahulu. Tetapi garis yang sekarang sungguh berbeda, dia memiliki temperamen yang sulit untuk ditebak. Dan sikapnya kepadaku juga dingin seperti es.
"Kalau begitu aku akan memakan sarapanku di mobil."
"Terserah lo."
Setelah berkata seperti itu, kak Ardi pergi begitu saja tanpa memperdulikan aku yang berjalan terburu-buru untuk menyamakan langkah kaki kami. Setelah sampai di depan mobilnya aku langsung duduk di kursi depan. Sedangkan kak Ardi duduk di belakang kemudi. Memang di sini semua murid yang sudah memiliki SIM, sudah di perbolehkan membawa kendaraan pribadi. Termasuk juga mobil.
Aku duduk diam di dalam mobil sambil memakan roti yang tadi aku bawa dari meja makan. Karena aku tahu tidak akan ada percakapan di dalam mobil ini sampai kita tiba di sekolah.
Oleh karena itu aku menyibukkan diri dengan memakan sarapanku dan juga bermain ponsel. Karena memang jarak dari rumah ke sekolah cukup jauh. Ditambah lagi dengan Jakarta yang selalu sibuk dengan kegiatan mereka di pagi hari.
Banyak siswa dan siswi yang berangkat untuk menunaikan kewajiban mereka sebagai seorang pelajar. Dan ada juga beberapa orang yang sudah berangkat ke tempat kerja mereka pada pagi hari.
Dan kejadian itu terjadi kepadaku saat ini. Kami terjebak macet di jalan menuju ke sekolah. Mungkin banyaknya kendaraan yang ada di jalan sehingga jalanan menjadi macet. Padahal sekarang sudah pukul tujuh lebih lima menit. Dan sepuluh menit lagi gerbang sekolah akan ditutup.
Tapi mau bagaimana lagi, jika aku keluar dari mobil, yang ada aku akan mendapatkan hukuman dari ibu karena melanggar perintahnya untuk berangkat bersama dengan kak Arga.
Tapi jika aku tidak keluar dari mobil ini sekarang, aku akan dihukum karena telat masuk sekolah. Dan aku lebih memilih opsi pertama untuk diam di mobil dan menunggu kemacetan ini berlangsung. Karena aku juga sudah terbiasa dihukum di sekolah karena terlambat.
Lebih baik aku dihukum di sekolah daripada aku dihukum oleh ibu di rumah. Karena semua hukuman yang diberikan kepada ku selalu ekstrem. Seperti saat kemarin aku aku kabur dari rumah untuk bersenang-senang dan teman-temanku, saat itu juga jendela di kamarku ditutup. Dan sebagai hukumannya aku aku harus tidur bersama dengan ibuku di kamarnya.
Dengan begitu aku tidak bisa kemana-mana, karena tidak mungkin aku kabur dari pengawasan ibuku. Meski begitu aku akan sangat senang jika bisa tidur satu ranjang dengan ibuku, dan menikmati pelukan hangat dari seorang ibu.
Akan tetapi kenyataannya sungguh berbeda. Dimana aku hanya boleh tidur dilantai yang dingin dan beralaskan selimut yang tipis. Dan aku tidak bisa mengeluh kepada siapapun, karena akan percuma. Di rumah ini tidak ada yang peduli dengan keberadaanku, jika aku mati pun aku yakin kalau tidak akan ada orang yang menyadarinya.
Hidup disini sungguh penuh aturan, ketika kamu masuk ke dalam rumah ini, maka semua hak yang seharusnya kamu dapatkan akan dirampas. Dan kamu benar benar tidak akan bebas lagi.
"Kayaknya kita bakalan telat, lo kalau mau keluar dari mobil silahkan. Gue nggak akan laporin lo ke nyokap."
"Nggak usah kak, aku bareng sama kakak aja, meskipun kakak nggak ngomong sama ibu, ibu tetep akan tahu kalau aku nggak bareng kakak berangkat ke sekolahnya. Emang masih jauh ya kak jarak ke sekolahnya?"
Dan kalimat itu hilang ditelan oleh ngin. Kak Ardi tidak lagi membalas pertanyaanku. Dia kembali fokus kepada jalan di depannya. Aku yang merasa diacuhkan juga tidak mengajukan pertanyaan lagi. Dan hanya diam sampai menunggu untuk tiba di sekolahan.
Kak Ardi kembali mengemudikan mobilnya dengan kecepatan yang lumayan tinggi, karena jalanan juga sudah mulai lenggang. Dan aku juga kembali bermain dengan ponselku. Padahal aku hanya menggulir ke atas, bawah, samping kanan, dan juga ke sampaing kiri.
Karen terlalu akward hanya berdua saja di dalam mobil tanpa percakapan apapun. Mungkin jika aku membawa botol minum, air yang di dalamnya akn membeku. Karena suhu dingin yang ada di dalam mobil ini.
Setelah bebrapa menit berkendara akhirnya kita sampai di sekolah. Tapi gerbang yang ada di depan sudah ditutup. Yang menandakan kalau kegiatan belajar mengajar sedang berlangsung.
Tidak ada pilihan lain selain membujuk satpam untuk membukakan gerbangnya. Tapi sebelum aku bicara bapak satpam itu sudah membukakan gerbangnya untuk kami. Aku heran, bagaimana mungkin bisa semudah itu untuk membujuk satpam yang ada di sekolah ini.
Aku kira akan ada bebrapa perdebatan yang akan terjadi. Tapi tebakanku salah besar. Karena dengan sukarela satpam itu membukakan gerbangnya.
Kak Ardi meemarkirkan mobilnya di parkiran sekolah. Ada banyak mobil juga yang sudah terparkir di sini. Yang menandakan kalau siswa di sini, mereka semua berasal dari kelas menengah ke atas.
Dan yang aku dapatkan dari pengalaman, kalau kebanyakan sekolah seperti ini, pasti memiliki kasus pembulian kepada siswa atau siswi dari kelas menengah ke bawah. Karena mayoritas dari mereka tidak mau tempat mereka dikotori oleh orang asing yang tidak dikenal.