webnovel

I'm Sorry, Love..

Cerita ini berlatar tahun 2007 an. Please, jangan hakimi Erica yaah (gadis 19 th itu). Karena dia bukan Bad Girl, Play Girl, F*ck Girl atau apalah itu. Dia hanya gadis polos yang hanya mengikuti proses pendewasaan hatinya untuk menemukan cinta dalam hidupnya. Dia ga jahat gaess, aseli, sumpah, dia ga jahat. Dia hanya gadis remaja yang kesepian dan ingin mencari kebahagiaan. Dia berlari, untuk sebuah pelarian dari semua problem keluarganya yang broken. # Erica mencoba belajar cinta dengan seorang Ari. # Erica falling in love dengan seorang Rasya. # Erica menggila dengan seorang Vino. What happened to the Love ..??? Baca sampai habiss gaess!! Dijamin lu ga bakal boring sama petualangannya Erica. Happy, Fun, Disappointed, Lies, Regret, Friend Zone, semua Erica rasakan di masa mudanya yang masih bergejolak dan tak tentu arah.

erijunior88 · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
21 Chs

Please, Be Honest

Dengan motor sport kesayanganya, kini Ari tengah membonceng Erica untuk menempuh perjalanan panjang dari Jakarta menuju Puncak, Cisarua Bogor.

Sungguh pengalaman pertama bagi Erica, merasakan duduk di atas motor dengan waktu yang cukup lama membelah jalanan, menerobos kebisingan lalu lintas dan hembusan sang bayu.

"Kalau capek bilang ya. Nanti kita bisa berhenti dulu buat istirahat. Anggep aja kita lagi touring, Yang." ujar Ari setelah memberhentikan laju motornya ketika mendapati lampu merah, tepat di sebuah perempatan jalan.

"Iya Ri. Aku masih kuat kok." jawab Erica seraya memiringkan wajahnya berusaha menatap wajah Ari yang kini duduk memunggunginya.

Di tengah deretan kendaraan lain yang kompak berhenti menunggu lampu merah berlalu, satu tangan Ari terlihat meraih jemari tangan Erica yang berada di pinggangnya. Kemudian seperti telah menjadi kebiasaannya, ia melingkarkan ke perutnya dan mengusap lembut punggung tangan Erica.

Sementara Erica hanya bisa pasrah merasakan kelembutan sentuhan jemari Ari yang sayangnya belum bisa menembus ke jantung hatinya. Ia hanya mampu menatap wajah Ari yang bersembunyi dibalik helm full face, dengan nanar dari kaca spion.

Terlintas kembali pikiran yang membuatnya hampir gila setiap kali menghabiskan waktu bersama Ari. Kenapa sesusah itu menumbuhkan perasaan cintanya untuk orang yang jelas-jelas tulus mencintainya?

Erica terjebak lamunan, sebelum akhirnya lampu merah telah berganti warna, dan Ari pun kembali melajukan motornya. Membuat Erica sesaat menghapus hal yang baru saya bergelayut dan mengusik otaknya.

*****

Setelah menghabiskan waktu hampir lima jam, akhirnya couple itu sampai di tempat tujuan mereka. Seharusnya mereka bisa menempuh waktu yang lebih singkat, jika saja mereka tak banyak berhenti untuk sekedar beristirahat melepas lelah, merelaksasi otot-otot dan saraf-saraf yang sudah terpakai cukup lama dalam perjalanan.

Dan kini keduanya telah memijakkan kaki di halaman sebuah rumah atau lebih tepatnya villa dengan gaya modern semi pedesaan dengan bahan utama kayu berwarna cokelat, yang sangat menyatu dengan keindahan pemandangan pegunungan dan kebun teh di sekelilingnya. Atmosfer villa terasa begitu hangat, di tengah udara pegunungan yang sejuk meskipun di tengah siang hari bolong.

Ari melepaskan helm full face-nya setelah selesai memarkir motor. Diikuti Erica yang yang juga menarik strap helm dan menanggalkan helm dari kepalanya, seraya menyebar pandangan ke segala penjuru.

Ada rasa kekaguman ketika  Erica mendapati villa dihadapannya dengan segala ke-estetikaan-nya ditambah pemandangan sekeliling yang mampu mengobati segala kelelahannya setelah menempuh perjalanan panjang.

Namun tak hanya itu, terselip juga sedikit rasa kebingungan dalam hati Erica. Karena pasalnya dari awal Ari tak melakukan pembahasan mengenai tempat yang ia kunjungi detik ini. Erica melirik Ari yang saat ini tengah merapikan rambutnya dengan tatapan penuh selidik sebelum akhirnya ia melontarkan pertanyaan.

"Kamu kok ajak aku ke villa? Tadi katanya cuma mau lihat kebun teh aja?" tanya Erica gusar, yang dibalas dengan kekehan Ari melihat ekspresi parno dari pacarnya.

Belum sempat menjawab pertanyaan Erica, tiba-tiba seorang lelaki setengah baya keluar dari dalam villa dan menyambut kehadiran mereka.

"Eh, Si kasep teh udah sampai." ujar lelaki paruh baya yang biasa dipanggil Mang Asep dengan senyum ramahnya.

"Iya Mang. Mang Asep kumaha damang?" tanya Ari tak kalah ramah.

"Alhamdulillah sehat Mamang mah. Sok masuk, pasti capek abis perjalanan jauh naik motor. Kasian itu Si neng geulis-nya." ujar Mang  Asep yang sempat mengodekan pandangannya ke arah Erica, dan Erica hanya membalasnya dengan senyum dan menganggukan kepala tanda kesopanan. Kemudian Mang Asep bergegas memimpin keduanya untuk memasuki villa.

Sementara Ari masih dengan senyum andalannya, menggenggam tangan Erica dan mengunci tatapan pacarnya yang masih tampak dipenuhi guratan tanda tanya pada raut wajahnya. Kemudian Ari menuntun langkah Erica, mengekori Mang Asep masuk ke dalam villa.

"Mamang bikinin minum dulu ya." Mang Asep langsung ngibrit ke dapur setibanya di dalam rumah. Sementara Ari dan Erica memilih duduk santai di ruang tamu.

"Capek ya?" tanya Ari seraya mengacak pelan pucuk kepala Erica. Erica menggeleng sambil menerbitkan seutas senyum simpul, kemudian menyandarkan badannya pada kursi.

"Ini villa langganan kamu ya? Udah akrab banget sama Si Mamang." Erica balik melontarkan pertanyaan.

"Jadi ini tuh sebenearnya villa keluarga aku. Papah, Om dan Tante aku sengaja bikin villa ini bareng-bareng. Niatnya sih biar kita bisa sering ngeluangin waktu buat kumpul-kumpul bareng keluarga. Tapi kenyataannya malah kita jarang kesini karena kesibukan masing-masing. Terus Mang Asep itu yang ngurusin villa ini sekaligus yang nyewa-nyewain ke orang yang lagi pada berlibur." Ari mulai menerangkan. Diikuti mulut Erica yang membentuk huruf O tanpa suara, tanda mengerti.

"Dan biasanya aku sama keluarga aku suka bikin acara tahun baru disini. Semoga tahun baru besok aku bisa ngajak kamu kesini ya, kumpul bareng keluarga besar aku." ujar Ari, kembali membelai lembut rambut dan wajah Erica. Sedangkan Erica hanya tersenyum simpul, menatap datar wajah tulus Ari.

"Amin dong sayang. Kok diem aja sih?" sahut Ari dan tangannya beralih menggenggam tangan Erica, sontak  membuyarkan kekakuan Erica. Atau malah semakin membuat Erica semakin kikuk sejadi-jadinya.

"Emm, i-iya.. Amin..." ujar Erica salah tingkah, dan perlahan menarik mundur tangannya dari genggaman Ari.

"Emm.. by the way, kamar mandi dimana ya Ri? Aku pengen pipis." kilah Erica sembari beranjak dari duduknya.

"Tuh Yang, samping kamar sebelah kiri." ujar Ari seraya menunjuk kamar yang berada lurus dari hadapannya.

Erica pun mempercepat langkahnya untuk memasuki kamar mandi. Sedangkan Ari masih mengamati pacarnya yang kini telah berjalan menjauhinya. Senyum yang sedari tadi ia sunggingkan perlahan meredup seolah mengiringi perasaan ragu yang sepanjang jalan sempat ia lupakan, namun kini kembali menghantuinnya.

Sesampainya di kamar mandi, Erica berdiri mematung di depan wastafel dan melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Mengamati wajahnya sendiri yang penuh guratan kegelisahan.

"Duh Erica, kenapa sih nyali lu ciut banget. Kenapa selalu kabur saat Ari menunjukkan perhatiannya ke lo. Inget Erica, lo udah janji sama diri lo sendiri untuk belajar mencintai Ari. Jadi mulai sekarang lo harus membuka hati lo buat dia. Lo harus bersikap manis dan membalas semua perhatian Ari. Santai Erica, santaii...lo pasti bisa. Pasti..."

Di hadapan cermin, gadis itu merutuki tingkahnya sendiri sekaligus meyakinkan hati. Ia kembali menatap wajahnya kali ini dengan tatapan optimis dan diakhiri helaan nafas panjang, sebelum akhirnya ia membungkuk dan membasuh wajahnya dengan air dari wastafel di depannya.

Sementara itu di luar kamar mandi, Mang Asep terlihat menghampiri Ari di ruang tamu, dengan membawa nampan berisi teh hangat yang telah ia buat.

"Nih, Mamang bikinin teh spesial hasil metik sendiri dari kebun." ujarnya sembari menurunkan dua gelas teh dari atas nampan dengan hati-hati.

"Makasih banyak ya Mang." balas Ari ramah.

"Ngomong-ngomong, Mang Asep gak bilang sama Papah kan kalau Ari kesini? Soalnya Ari bolos kerja hari ini Mang. Nanti pasti ngomel kalau Papah tau." tanya Ari sembari terkekeh.

"Ya enggak atuh, kan sesuai sms kamu tadi. Pokoknya beres deh." ujar Mang Asep mantap dan meyakinkan logat Sundanya.

"Makasih ya Mang." ucap Ari dengan tersenyum.

Tak lama kemudian Erica muncul dengan wajah yang sudah fresh setelah cuci muka, diiringi dengan senyum yang lebih lepas.

"Eh, ada Neng geulis. Di minum dulu atuh teh bikinan Mang Asep. Mang Asep sengaja bikinnya gak terlalu manis, soalnya Neng geulis mah udah manis pisan." ujar Mang Asep mencairkan suasana.

"Bisa aja deh Mang Asep." balas Erica sembari terkekeh kemudian memposisikan duduknya disamping Ari.

"Serasi pisan emang. Gak salah atuh Si ujang pilih pacarnya. Geulis pisan. Serasi banget pokoknya. Ujang Ari sama siapa tadi nama Neng geulis?"

"Erica, Mang." sahut Ari singkat, memberi tahu.

"Oh iya, Neng Erica. Cocok pisan atuh Ujang Ari sama Neng Erica. Yang satu kasep yang satu geulis. Pokoknya Mamang doain, semoga kalian teh langgeng terus sampai nanti ke pelaminan." oceh Mang Asep. Membuat Ari dan Erica saling melirik kemudian saling mengunci tatapan mereka dengan rona di pipi keduanya.

Kemudian di detik berikutnya, mereka kompak menjawab doa dari Mang Asep, dengan satu kata.

"Amin..." ujar Ari dan Erica lirih bersamaan.

Satu kata yang tulus terucap dari mulut Ari. Dan Erica, entahlah kenapa dia juga mengucapkan kata itu? Mungkin dia hanya sekedar ingin membalas kebaikan dan ketulusan Ari. Atau mungkin hati kecilnya juga berharap agar semesta mendukungnya dan kelak bisa bersama dengan Ari tanpa ada lagi suatu hal yang mengganjal dan menyiksa hatinya? Entahlah.

*****

Setelah rehat sejenak dan merilekskan otot-otot, kini Ari dan Erica mulai berjalan-jalan di sekitaran villa. Menikmati hamparan warna hijau dari pegunungan dan kebun teh yang berhias kabut tipis yang menenangkan mata dan hati mereka. Ditambah udara sejuk layaknya AC alami yang menyegarkan tubuh mereka.

Mungkin hal itu adalah salah satu alasan penduduk Jakarta selalu menjadikan kota ini sebagai tempat destinasi mereka untuk melepas lelah dan penat setelah berjibaku berebut napas di tengah hiruk pikuk kota metropolitan.

Ari duduk merumput, meluruskan kedua kakinya. Sementara tangan kanan dan kirinya ia biarkan lurus kesamping untuk menopang tubuhnya. Indera penglihatannya menatap lurus ke depan. Mengangumi dan mensyukuri lukisan nyata dari Sang Pencipta.

Sementara Erica masih berdiri di sebelah Ari, dan terlihat merentangkan kedua tangannya dengan mata terpejam, ditambah senyum yang mengembang seperti adonan kue.

Indera penciumannya termanjakan udara segar dari alam yang jarang ia hirup sebelumnya. Rasanya tidak sia-sia pilihannya bolos kerja kali ini, karena sesaat ia bisa merefresh otak dari rasa jenuh yang menggelayuti fisik dan juga pikirannya.

Setalah merasa puas memanjakan fisiknya dengan aroma alam, Erica lantas menghampiri Ari kemudian memposisikan duduk sejajar dengan Ari.

"Seger banget ya Ri udaranya. Kalau udah kayak gini nih, rasanya pengen rebahan aja sampai sore disini." ujar Erica membuka obrolan dengan senyum lebarnya.

"Bisa pules kamu yang ada. Di bioskop yang berisik aja kamu bisa pules, apalagi disini. Udah udaranya sejuk, suasananya tenang lagi, gak bising." ledek Ari dengan kekehan kecil seraya menoleh ke arah pacarnya.

"Hmmm, terus aja ngeledek aku." balas Erica seraya memukul pelan lengan Ari yang masih melemparkan tawa kecil.

"Tapi jujur, aku tuh emang sebenernya pelor sih. Gak tau kenapa. Kepala aku tuh gak bisa ketemu sesuatu yang nyaman sedikit, kayak langsung ngasih instruksi ke mata buat merem aja gitu." Erica melanjutkan celotehannya. (Pelor= tempel molor. Yang berarti orang yang sangat mudah tidur.)

Ari terkekeh, dan terus memandangi wajah Erica yang kali ini terlihat lebih ceria, dengan senyum manis yang selalu terukir di bibir indahnya. Sungguh satu hal simple yang bisa membuat Ari tersenyum bahagia hari ini.

"Sini kalau mau rebahan." Ari menepuk-nepuk pelan pahanya. Seolah mengodekan pahanya siap untuk dijadikan bantal bagi pacar kesayangannya itu.

"Hah?" Erica menaikkan satu alisnya.

"Ayolah Erica, sama pacar sendiri jangan kaku-kaku amat. Sini. Cepet." Ari kembali mengulang kegiatan menepuk pahanya lagi, mencoba meyakinkan Erica, sekaligus meyakinkan hatinya sendiri atas perasaan Erica.

Erica masih terdiam beberapa detik, sampai akhirnya ia sempat melirik ke kiri dan kanan, melihat situasi sekitar. Dirasa situasi sepi dan aman terkendali akhirnya ia mengikuti saran Ari. Lagipula rasanya tak ada salahnya sesekali bersikap layaknya pasangan normal. Apalagi saat ini ia memang ingin fokus mencoba membuka hatinya untuk Ari, pikirnya.

Erica pun perlahan merebahkan kepalanya pada paha Ari. Mencoba bersikap santai dan mencoba mencari posisi ternyaman. Namun nyatanya bukan kenyamanan yang ia dapat, malah kegugupan luar biasa saat matanya bertemu dengan mata Ari yang kini merunduk menatapnya dengan senyum khasnya.

Untuk menghilangkan kegugupannya, Erica terlebih dahulu memutus pandangan mereka dengan memiringkan kepalanya ke arah pemandangan alam di sisi kanannya. Sementara Ari masih terus memperhatikan tingkah Erica dengan lamat-lamat.

"Kenapa sih tiap sama aku, kayaknya kamu canggung banget?" tiba-tiba suara Ari memecah keheningan. Membuat Erica terbelalak kemudian meluruskan kembali pandangannya lurus ke atas, tepatnya pada wajah manis Ari yang masih menunduk menatapnya.

"Hah? Canggung? Apaan sih Ri? Aku biasa aja kali. Nih buktinya a-aku santai aja kok sekarang." kilah Erica berusaha menutupi perasaannya.

"Yakin?" balas Ari dengan nada meledek.

"Yakin lah. Aku tuh cuma gak enak aja. Ini kan villa keluarga kamu, aku takut nanti Mang Asep cerita yang aneh-aneh lagi sama Papah kamu." celoteh Erica lagi, membuat Ari tertawa kecil dibuatnya.

"Kenapa takut? Kalau Papah aku tau, palingan aku disuruh cepet-cepet ngelamar kamu." sahut Ari masih diselingi tawa dari bibirnya.

"Ngelamar? Ya ampun Ri, jayus deh bercandanya." cibir Erica sambil memukul pelan dada Ari pelan.

"Kok jayus sih? Serius Yang, emang kamu gak mau aku lamar?" Ari semakin aktif memberikan pertanyaan yang sulit di jawab Erica.

Erica menghela nafas pelan, bola matanya berputar mencoba mencari jawaban yang tepat dan sebisa mungkin tak melukai perasaan Ari tentunya.

"Aku belum mikir sejauh itu Ri. Hidup aku aja masih blangsak kayak gini. Banyak masalah yang belum aku kelarin. Ada banyak hal yang masih belum bisa aku capai Ri." Erica mulai memberikan jawaban atau malah curhat colongan kepada Ari.

"Masalah keluarga kamu?" tanya Ari lembut.

"Hemm, itu salah satunya." Erica berdehem, mengangguk kecil, kemudian membenarkan posisi kepalanya yang masih beralas paha Ari, kembali mencari kenyamanan. Atau malah tanpa tersadari ia sudah merasa nyaman dengan posisinya sekarang, karena merasa mendapatkan teman untuk berkeluh kesah.

"Aku siap kok bantu kamu cari jalan keluar dari semua masalah kamu. Kita kelarin satu persatu. Seperti misalnya hubungan kamu dengan kedua orang tua kamu. Beban kamu akan sedikit berkurang kalau kamu mau coba mengikhlaskan perpisahan orang tua kamu yang sama sekali gak kamu inginkan, Yang." Ari dengan ketulusannya mencoba memberi saran kepada Erica diiringi belaian lembut jemarinya pada puncak kepala Erica.

"Berat memang. Tapi aku rasa gak ada pilihan lain selain ikhlas. Sama seperti saat aku mengikhlaskan kepergian almarhum Mamah aku. Kamu tau gak? Penderitaan terberat orang tua adalah ketika melihat anak yang mereka sayangi sedih, terluka dan gak bahagia. Orang tua kamu pasti juga sangat terluka dengan perpisahan mereka. Tapi seenggaknya kamu kasih mereka kesempatan untuk merasakan bahagia dengan cara kamu juga harus bahagia." suara Ari kali ini benar-benar terdengar merdu bahkan menggetarkan hati Erica.

Tak menyangka Ari bisa membuatnya tenang, membeku tak bergeming. Berbeda saat ia membahas masalah keluarga dengan kakak kandungnya, yang selalu berakhir dengan perdebatan karena perbedaan pendapat. Atau mungkin cara penyampaian dari kedua belah pihak yang cenderung bercampur emosi.

"Kamu kasih kabar orang tua kamu ya. Kamu masih beruntung Erica, karena masih punya orang tua yang lengkap. Gak kayak aku. Kamu patut bersyukur sayang." ujar Ari kembali, dengan lembut dengan tatapan mendalam, senyum sahaja, yang mampu mengunci mata Erica dan membuatnya tak berpaling sedetikpun dari pandangan Ari.

"Dan untuk masalah kakak kamu, aku mau kok jadi jembatan supaya hubungan kamu membaik sama Mba Sandra. Aku bisa antar kamu kapanpun kamu mau, untuk bisa bersilahturami sama kakak kamu."

Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Ari benar-benar membuat Erica tersentuh. Tak salah rasanya jika ia memberikan kesempatan untuk orang sebaik dia. Ketulusannya membuat hatinya terenyuh, dan semakin membangkitkan keinginannya untuk terus membuka hati untuknya.

"Makasih ya Ri. Kamu udah mau berbagi duka sama aku." balas Erica lirih, dengan tatapan intens, sedikit berkabut air mata yang masih mengambang di pelupuk mata cokelatnya.

"Pasti sayang. Aku akan terus selalu ada buat kamu." ucap Ari dengan merayapkan tangan pada pipi halus Erica dengan senyum tipis yang selalu terukir manis.

Erica menghela nafas panjang, kemudian memerjapkan matanya, lalu mengelap ujung matanya yang tergenangi air mata. Tak ingin berlarut-larut berenang dalam kesedihan kini ia pun memilih menetralkan perasaannya.

Sementara Ari, sejenak ia merasa bahagia, karena untuk pertama kalinya ia bisa sedekat ini dengan pacarnya. Bisa menjadi tempat berbagi duka untuk Erica sungguh membuatnya memiliki kepuasan tersendiri. Namun sayangnya hal itu belum bisa menghilangkan sesuatu yang masih mengganjal di hatinya. Dan mungkin sebentar lagi akan ia pertanyakan kepada Erica.

"Emm..Yang, aku punya tebak-tebakkan." cletuk Ari dengan wajah polos. Erica membalas dengan mengangkat alisnya, tanda ingin tahu.

"Apa?"

"Kamu pilih dicintai atau mencintai?" tanya Ari pelan dan sedikit ragu. Sayangnya malah dibalas dengan kekehan kecil dari Erica. Bahkan mungkin kali ini Erica ingin terbahak namun ia memilih menyembunyikan tawanya dengan menutup mulut dengan satu tangannya.

"Itu namaya pertanyaan Ri. Bukan tebak-tebakkan. Jadi inget Vino aku. Kalau kayak gini kamu jadi kayak Vino deh temen aku yang tadi pagi nganterin kamu ke kosan aku. Maksud sama ucapannya selalu beda." Erica masih tertawa geli.

"Kamu gak tau aja Erica, kalau aku sama Vino sepupuan. Pasti ada satu sisi yang sama lah." batin Ari seraya menatap datar ekspresi Erica yang masih tertawa cekikikan.

"Apapun itu, intinya kan sama-sama butuh jawaban. Kamu jawab dong, Yang." kilah Ari kali ini dengan ekspresi datar. Erica mengulum senyumnya, kemudian menetralkan rasa ingin tertawanya sebelum menjawab pertanyaan Ari.

"Apa tadi pertanyaannya? Aku lupa."

"Kamu pilih dicintai atau mencintai?" ulang Ari dengan tatapan serius. Seserius keingintahuannya mendapati jawaban Erica yang menurutnya ada sangkut pahutnya dengan hubungan mereka.

"Dalam konteks apa nih?" Erica mencoba mengerucutkan maksud pertanyaan Ari.

"Relationship dong." balas Ari singkat.

"Emm..apa yaa?!!" Erica memutar bolanya, kembali mencari jawaban yang kali ini makin membuatnya pusing. Ekspresinya beraneka rupa, dari mengernyitkan mata, hingga menggigit bibirnya yang membuatnya semakin menggemaskan di mata Ari.

"Aku pilih mencintai Ri." jawabnya kemudian.

"Alasannya?" Kini gantian Ari yang mengangkat satu alis, penasaran.

"Karena dengan mencintai kita bisa bebas mengeksresikan perasaan kita terhadap orang yang kita sayang." jawab Erica setelah berfikir penuh pertimbangan.

"Kalau dicintai?" tanya Ari lagi pelan.

"Emm, aku..aku takut gak bisa membalas orang yang cinta sama aku. Karena basicly aku tuh orangnya gak enakkan. Gak mau melukai hati orang Ri, apalagi sama orang yang sudah meluangkan waktunya untuk cinta sama aku." tanpa Erica sadari ia memberikan jawaban yang sepertinya berasal dari dalam lubuk hatinya yang paling dalam. Sepersekian detik kemudian, ia seperti tersadar dengan perkataannya yang  sedikit melampaui batas. Rasanya seperti kecolongan. Semoga saja Ari tak punya prasangka buruk terhadapnya.

"Kalau bener Erica gak cinta sama gue, apa ini alasan dia nerima gue jadi pacarnya? Karena gak ingin ngecewain gue?"

Sejenak Ari bergelut dengan pikiran dan batinnya sendiri. Agak sedikit tersentil hatinya ketika mendengar jawaban Erica. Namun ia berusaha menahan diri sampai semua menjadi jelas.

"Okey, kamu tadi pilih mencintai, tapi kalau  kamu mencintai seseorang yang ternyata orang itu gak cinta sama kamu, apa yang kamu lakukan?" Ari kembali memberikan pertanyaan yang kemungkinan besarnya adalah hal yang ia alami saat ini. Meskipun ia sendiri belum tahu kebenarannya.

"Kamu kenapa sih? Nanya kayak ginian? Bikin aku pusing jawabnya." Erica balik melontarkan pertanyaan kepada Ari.

"Santai aja Yang, aku cuma pengen nanya aja. Gak usah dianggep serius. Anggep aja kita lagi sharing. Cepetan jawab dong Yang." ujar Ari berlagak santai padahal dalam hati ingin tau setengah mampus.

"Kalau aku cinta sama orang tapi ternyata orang itu gak cinta sama aku..mungkin, aku akan tetap menunjukan dan memperjuangkan rasa cinta aku, sampai akhirnya orang itu sadar dan bisa nerima kehadiran aku.

"Kalau orang itu ternyata gak sadar dan gak bisa nerima cinta kamu?

"Mungkin aku akan milih ngelupain dia. Dan merelakan orang itu mencari kebahagiaannya sendiri. Seenggaknya aku kan udah berusaha. Tapi balik lagi, hati kan gak bisa dipaksa Ri." ujar Erica memberikan pendapatnya.

"Kalau kamu pilih apa?" Kali ini Erica sengaja ingin membuat Ari balik berfikir keras.

"Emm..aku pilih dua-duanya. Mencintai dan  dicintai. Karena itu artinya kita saling mencintai. Gak akan saling menyakiti dan gak akan ada yang tersakiti. Seperti hubungan kita saat ini. Iya kan? Saat ini kita saling mencintai kan Erica?" Ari memberikan pertanyaan pamungkas. Memasang wajah tenang dibalik perasaannya yang cemas. Mempertemukan matanya dengan gadis yang dicintainnya, yang terlihat membeku dihadapannya.

Perlahan Erica menegakkan badannya yang sedari tadi ia biarkan menyatu dengan rumput, berbantal paha Ari yang memberikan kenyamanan sesaat. Ia menatap wajah Ari dengan intens dan mendalam. Yang membuatnya sedikit bergetar karena menemukan sebuah ketulusan pada mata teduh sang pacar.

"Iya Ri. Kita saling mencintai." ucapnya lirih seraya memberikan sentuhan lembut pada pipi Ari dengan jemari tangannya yang halus, dengan terus beradu pandang.

"Kamu gak bohong?" Ari mencoba meminta keyakinan.

"Kamu gak percaya sama aku?" Erica tak membalas dengan pasti. Namun juga tak mampu berujar banyak untuk meyakinkan.

"Iya. Aku percaya sama kamu." ucap Ari lembut, sembari meraih tangan Erica yang masih mengusap pipinya. Kemudian ia memilih merengkuh Erica, memberikan pelukan erat. Yang mengisyaratkan kesungguhan akan cintanya. Seolah tak mau kehilangan orang yang ia cintai itu.

Sementara Erica menerima pelukan Ari dan memberikan ketenangan dengan mengusap punggung belakang Ari. Ia memejamkan matanya sesaat, dengan hatinya yang  berbicara.

"Mungkin saat ini aku belum bisa sepenuhnya meyakinkan kamu Ri. Tapi aku terus mencoba berlari ke arahmu untuk mengejar semua ketertinggalan. Dan berusaha mengimbangi ketulusan cinta kamu. Bersabar ya Ri."

♡♡♡♡♡

Bersambung....