webnovel

I'm Sorry, Love..

Cerita ini berlatar tahun 2007 an. Please, jangan hakimi Erica yaah (gadis 19 th itu). Karena dia bukan Bad Girl, Play Girl, F*ck Girl atau apalah itu. Dia hanya gadis polos yang hanya mengikuti proses pendewasaan hatinya untuk menemukan cinta dalam hidupnya. Dia ga jahat gaess, aseli, sumpah, dia ga jahat. Dia hanya gadis remaja yang kesepian dan ingin mencari kebahagiaan. Dia berlari, untuk sebuah pelarian dari semua problem keluarganya yang broken. # Erica mencoba belajar cinta dengan seorang Ari. # Erica falling in love dengan seorang Rasya. # Erica menggila dengan seorang Vino. What happened to the Love ..??? Baca sampai habiss gaess!! Dijamin lu ga bakal boring sama petualangannya Erica. Happy, Fun, Disappointed, Lies, Regret, Friend Zone, semua Erica rasakan di masa mudanya yang masih bergejolak dan tak tentu arah.

erijunior88 · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
21 Chs

Aroma Posesif

Vino terlihat melebarkan matanya, berfikir keras untuk mencoba memahami goresan pena pada buku diary Erica.

"Apaan sih ini? Lirik lagu? Apa cerpen? Eh, bukan ding." gumamnya seraya megerutkan dahi, bingung.

Ia kembali membuka lembar per lembar diary Erica hingga akhirnya sampai pada lembar terakhir, yang berisi puisi Erica yang baru saja di buat oleh sang empu diary. Manik matanya mulai fokus membaca dan mencoba mencerna arti dari puisi tersebut.

"Apa lagi nih? Superhero? Memberi nafas? Maksudnya apa coba? Spiderman lagi kasih nafas buatan buat Mary Jane gitu?" celotehnya, menerka-nerka.

"Ada lagi, senyum sahaja. Oo..mungkin maksudnya Peter Parker lagi senyum cupu gitu kali ya?! Gak jelas banget emang Erica." gerutunya lagi dengan kenaifan lokalnya, seraya menggaruk kepalanya yang tak terasa gatal. Tampang rupawannya kini berubah menjadi tablo. Alias tampang bloon.

"Huhhh, payah nih Erica. Gak ada curhatan sedikitpun di diarynya. Zonk banget gue malam ini." Ia kembali ngedumel dalam hati diiringi helaan nafas kecewa yang ia hembuskan kasar. Ia pun memilih menutup kembali buku diary Erica.

Dan tanpa ia duga, sebuah jitakkan kasar kini mendarat tepat di bagian kepala belakangnya. Sesosok penampakan wanita dengan wajah sinis dan geram terlihat tepat dihadapannya, setelah ia membalikkan badan.

"Sopan banget lo yah. Baca-baca buku diary orang tanpa izin." ketus Erica, sang pemilik jitakkan kasar, dengan muka geram berkolaborasi dengan rahangnya yang mengeras.

"Gak sengaja gue. Sewot amat." kilah Vino, sambil mengusap-usap kepalanya yang masih terasa sakit.

"Apapun alasan tetep aja gak sopan." sahut Erica yang masih meradang, sembari mengambil kasar buku diarynya yang masih berada di genggaman tangan kanan Vino.

"Iyaa, gue minta maaf. Lagian isi diary lo gak mutu gitu. Apaan sih itu? Kumpulan lirik lagu? Atau cerpen?" tanya Vino antara polos atau bego.

"Dasar otak udang. Dangkal banget otak lo Vin. Ada gitu, lirik lagu kayak gitu? Tapi wajar sih, Vino kan isi otaknya cuma tentang cewek, komik detective connan, sama game PS doang. Nyebutin pepatah aja suka salah-salah gitu." gumam Erica dalam hati, sedikit tercengang mendengar pertanyaan bodoh Vino.

"Bengong lagi kan ditanya. Pantesan aja ayam Ncang gue sering mati. Ternyata lo nih biang keroknya. Suka bengang-bengong gak jelas." cerocos Vino mencoba mencairkan suasana dengan guyonan jayusnya.

"Garing lo!" sahut Erica sembari menaruh diarynya ke dalam laci meja dihadapan mereka berdua.

"Ih, serius? Itu apaan sih?" cecar Vino memastikan.

"Lo di sekolahan gak pernah diajarin tentang puisi atau sajak yah?" cibir Erica dengan senyum sarkasnya.

"Ohh, puisi? Itu tadi lo yang buat?" tanya Vino lagi semakin penasaran. Rasa keingintahuan Vino membuat Erica berfikir sejenak.

"Bukan lah. Itu tuh tadi cuma..?! Cuma.. cuma kumpulan puisi favorit gue. Karya Kahlil Gibran. Tau gak lo? Percuma juga gue kasih tau. Pasti lo gak ngerti." kilah Erica, mulai mengarang bebas seraya mengusap-usap tengkuknya.

"Kahlil Gibran? Gue pernah denger sih kayaknya. Tapi gak pernah baca." balas Vino polos menutupi ketidaktahuannya.

"Makanya jangan komik mulu yang lo baca, biar IQ lo gak jongkok Vin. Biar ada wawasannya dikit kek. Bego baget jadi orang." ledek Erica. Wajahnya kini terlihat lebih santai, karena sepertinya Vino memang tidak mengerti isi dari buku diarynya.

"Sialan lo. Suka sekate-kate lo kalau ngomong." balas Vino sembari mencubit gemas pipi Erica.

"Ihh, gak usah cubit-cubit pipi. Sakit tau." sahut Erica seraya menghempas tangan Vino.

"Nih tolak angin lo. Pulang sono. Gue mau tidur." ujar Erica kembali, sembari menyodorkan tolak angin dan uang kembalian pada Vino.

"Enak aja nyuruh gue pulang. Curhatan gue tadi belum kelar. Masih ngegantung." balas Vino setelah mengambil tolak angin dan uang kembalian dari tangan Erica.

"Duhh, Vin. Besok aja deh dilanjut. Gue gak mau besok kesiangan. Lo tuh udah sering banget yah, bikin gue telat kerja dengan acara curhat lo yang gak bermanfaat. Mending lo pulang aja deh sekarang." ujar Erica malas. Kini tangannya mulai mendorong punggung Vino dan berusaha membawa paksa Vino keluar dari kamarnya.

"Bentar dulu kek. Lima menit aja." sahut Vino yang kini sudah berada di depan pintu kamar Erica.

"Waktu curhat lo udah abis Vin. Ga ada waktu injury time. Okay!!" pungkas Erica sembari menutup pintu kamarnya dengan kasar dan tak lupa menguncinya.

"Erica, tar dulu dong! Yaelah.." ujar Vino dari luar kamar Erica dengan tangan yang masih mengetuk pintu.

"Bye Vin! Selamat tidur!" balas Erica setengah teriak lalu memilih mematikan lampu kamarnya. Sengaja agar Vino segera pulang dan tak lagi mengganggunya.

"Jiahh..Gagal sudah misi gue malam ini." gerutu Vino, berdecak pelan. Dengan langkah gontai ia pun akhirnya melangkahkan kakinya untuk pulang ke rumahnya.

Sementara Erica terlihat merebahkan badan di kasurnya ditemani cahaya remang dari televisi yang masih menyala.

"Untung aja si Vino IQ-nya jongkok, jadi dia gak tau kalo puisi yang gue tulis itu sebenernya curhatan gue. Dasar bego banget sih tuh cowok. Ketolong tampang gantengnya doang." gumam Erica dalam hati sembari tersenyum geli mengingat kebodohan sahabatnya itu.

Ia pun kemudian memejamkan matanya menuju ke alam mimpi dengan tetap membiarkan televisi menontonnya saat ia tertidur lelap.

*****

Keesokan paginya Erica tampak berjalan santai menuju gang, tempat dimana Ari biasa menunggunya untuk mengantarkannya ke tempat kerja.

Di ujung gang terlihat Ari yang sudah duduk manis di atas motor sportnya. Tak seperti biasanya wajah Ari saat itu terlihat kurang bersemangat. Tak tampak senyum sahaja yang biasanya selalu ia ukir saat bertemu dengan kekasih hatinya itu.

"Pagi Ri." sapa Erica dengan senyum manisnya, saat tepat berada dihadapan Ari.

"Pagi." Jawab Ari singkat, tanpa membalas senyuman Erica. Ia memilih sibuk menurunkan pandangannya pada helm yang akan ia berikan untuk Erica.

Inisiatifnya untuk memakaikan helm di kepala Erica tetap ia lakukan, meskipun raut wajahnya menyiratkan suasana hatinya sedang tidak baik.

Erica memerhatikan lekat wajah pacarnya yang kini berada dekat dengannya, saat Ari dengan telaten mengancingkan strap helm yang sudah terpasang di kepala Erica.

"Kamu kenapa Ri? Kok bete gitu sih?" tanya Erica pelan mendapati wajah dingin pacarnya yang tak tampak seperti biasanya.

"Kamu kemarin kenapa gak ngabarin aku, pas udah pulang dari rumah Novie?" balas Ari dengan tatapan seriusnya.

Erica sempat terbengong. Jujur, dalam hati ia menyadari kesalahannya karena lupa tak memberi kabar kepada Ari. Padahal sembelumnya Ari sudah mengingatkannya.

"Mmm..maaf yah Ri. Pulsa aku kemarin habis. Terus gak sempet beli lagi. Makanya aku gak bisa kasih kabar kamu." Dan lagi, Erica membiarkan mulut manisnya melontarkan kebohongan kepada pacarnya.

"Kamu kan bisa pinjem hp temen kosan kamu buat sms aku. Seenggaknya cukup kabari aku kalau kamu sudah sampai kosan dengan selamat. Aku juga bisa beliin kamu pulsa kalau tau pulsa kamu habis." hardik Ari, membuat Erica tercengang. Pertama kalinya ia mendapati Ari semarah itu terhadapnya.

"Bisa gak, kamu inisiatif buat kasih kabar aku duluan? Kamu tuh, anggep aku pacar kamu gak sih sebenarnya?" tanya Ari dengan dengan raut wajah kecewa. Kedua tangannya mencengkeram kuat kedua lengan Erica.

Erica membisu, dan terlihat raut ketakutan dari wajahnya, saat melihat sorot mata Ari yang tajam. Tak ada lagi tatapan teduh yang biasa ia lihat di bola mata Ari.

Ada penyesalan juga di dalam hati Erica saat ini. Ia merutuki perbuatannya sendiri yang semudah itu tak mengingat sosok pacarnya yang telah menanti kabar darinya.

Walaupun sebenarnya, Ari juga bisa langsung menghubungi Erica sendiri untuk memastikan. Namun ia rupanya sengaja tak melakukannya, karena menunggu inisiatif dari Erica untuk menguhubunginya lebih dulu. Malam itu ia lebih memilih mencari tau keadaan pacarnya dengan menelfon Vino.

"Sakit Ri." ujar Erica lirih, saat merasaakan cengkraman kuat tangan Ari yang terasa sampai ke tulang lengannya.

Ari spontan melepaskan cengkramannya saat menyadari perlakuannya yang sedikit kasar pada Erica.

"Ma-maaf.." ujar Ari pelan dan gagap. Ia menundukkan wajahnya sembari memejamkan matanya sejenak, mencoba menahan emosinya yang sempat hilang kendali. Ia juga mengatur nafasnya.

"Maaf banget ya Ri. Lain kali aku pasti kasih kabar kamu. Aku janji. Kamu jangan marah ya." ujar Erica lirih, sembari menggigit bibirnya, dengan mata yang mulai memerah.

"Bener ya. Jangan buat aku khawatir. Aku tuh sayang banget sama kamu." balas Ari perlahan meluruskan pandangannya ke wajah Erica yang masih terlihat shock. Lalu dengan pelan Erica menganggukan kepalanya.

"Ya udah, naik gih. Aku gak mau kamu telat." ujar Ari kembali lembut, mempersilakan Erica untuk naik ke atas motornya.

Setelah Erica memposisikan duduknya di atas jok motor, perlahan Ari pun mulai melajukan motornya.

Di sepanjang perjalanan tak ada kalimat yang keluar dari mulut keduanya. Ari sesekali melirik wajah Erica dari kaca spion yang terlihat melamun dan membuang pandangannya ke sisi kanan jalan raya.

Kemudian Ari menarik pelan tangan kiri Erica yang mencengkram bomber jacketnya. Lalu dengan lembut ia mengusap-usap jemari tangan Erica dan kemudian melingkarkan ke pinggangnya. Seolah ingin menebus perlakuannya yang sempat membuat Erica merasa takut bahkan hampir menangis.

Keduanya masih membisu, dengan pikirannya masing-masing yang menggelayuti otak mereka.

Ari dengan rasa penyesalan atas perbuatan kasarnya, sekaligus rasa ketidakpercayaannya terhadap Erica yang masih tetap menghantuinya.

Erica dengan perasaan penyesalan dan rasa bersalahnya yang telah membuat Ari kecewa, sekaligus perasaan keheranannya atas perubahan sikap Ari yang tak selembut biasanya.

*****

Seperti biasa suasana kantin di pabrik Erica siang itu terlihat ramai oleh para buruh pabrik yang tengah menikmati santap siang mereka. Termasuk Erica dan Novie, pastinya.

Novie terlihat begitu lahap menyantap nasi box dihadapannya. Namun berbanding terbalik dengan Erica yang terlihat kehilangan selera makannya. Ia hanya memilih mengaduk-ngaduk asal makanan yang ada di depan matanya.

"Lo kenapa sih? Letoy amat. Mikirin Ari nih pasti." tanya Novie saat melihat sahabatnya yang tampak seperti orang yang hidup segan, mati tak mau.

"Iya Nov. Ari tadi pagi marah sama gue." jawab Erica, dengan wajah cembetut.

"Serius? Cowok sebaik dia bisa marah sama lo? Pasti lo bikin gara-gara yah?" cecar Novie antusias. Erica mengangguk pelan dengan wajah sendunya.

"Tapi sepele sih menurut gue. Cuma masalah gue kemarin gak kasih kabar ke dia. Dan lo tau gak? Dia bener-bener marah banget Nov. Sampai ngebentak gitu. Pokoknya beda banget deh Nov, gak kayak Ari yang biasa gue kenal." curhat Erica.

"Masa sih Ari kayak gitu?" tanya Novie penasaran.

"Tapi mungkin dia kayak gitu karena dia khawatir banget kali sama lo. Secara dia itu kan cinta banget sama lo. Lo-nya juga sih yang terlalu cuek sama dia. Biarpun gue tau sih kalau sebenernya lo gak cinta sama dia. Tapi seenggaknya jangan lo liatin banget gitu lah." ujar Novie seraya mengunyah makanan di dalam mulutnya.

"Iya juga sih Nov. Tadi dia memang protes sama gue, katanya selama ini gue tuh gak pernah inisiatif buat kasih kabar dia duluan. Dan setelah gue pikir-pikir, omongannya Ari ada benernya juga sih. Selama ini gue tuh terlalu cuek deh sama dia. Tapi tuh cara ngomong dia beda banget Nov. Lengan gue aja dicengkram sampai sakit banget." celoteh Erica.

"Nah loh. Sampai segitunya? Atau jangan-jangan dia mulai curiga lagi kalau lo sebenernya gak cinta sama dia." ujar Novie seraya melebarkan matanya.

"Masa sih Nov?" balas Erica, seraya mengerutkan dahi.

"Yaa, mungkin aja. Buktinya dia udah bisa ngebaca sikap lo sama dia. Iya kan?" tanya balik Novie.

"Iya juga sih. Terus gue harus gimana dong Nov?" rengek Erica.

"Kok nanya ke gue sih. Tanya diri lo sendiri, maunya gimana? Masih mau lanjut sama hubungan yang lo dasari atas kepura-puraan lo itu, atau lo mau jujur aja sama Ari?" balas Novie santai.

"Kalau gue jujur, tamat dong hubungan gue sama Ari?" ujar Erica seraya menyendokkan kasar nasi ke dalam mulutnya.

"Itu salah satu resikonya sih. Tapi ada kemungkinan kedua." ucap Novie, membuat Erica menaikkan alisnya.

"Apaan kemungkinan keduanya?" tanya Erica penasaran.

"Kemungkinan keduanya, mungkin Ari bisa ngerti dan nerima perasaan lo yang sebenarnya sama dia. Secara Ari kan dulu terlalu cepet nembak lo. Masa pdkt kalian tuh terlalu kilat. Disitu salahnya Ari sih menurut gue. Bener gak?" terang Novie.

"Bener juga sih. Tapi..." Erica menggantung kalimatnya karena kembali dilanda bimbang.

"Tapi apa lagi? Kenapa sih lo tuh susah banget mikir cepet. Kebanyakan pertimbangan hidup lo, tau gak?" nyinyir Novie.

"Gue kasian sama Ari, Nov." ucap Erica lirih.

"Hubungan lo tuh makin kesini makin gak sehat, tau gak? Awal lo nerima Ari karena lo gak mau bikin dia kecewa kalau lo nolak dia. Sekarang perasaan gak tega lo malah berubah jadi rasa kasian sama Ari. Terus lo mau sampai kapan kayak gitu terus Erica?" ujar Novie menggebu-gebu.

"Sampai gue bisa cinta sama dia, mungkin." balas Erica ragu.

"Berarti kesimpulannya, lo masih mau lanjutin hubungan penuh kepalsuan lo itu?" ketus Novie.

"Bukan palsu Nov. Gue cuma masih mencoba belajar mencintai Ari." Erica membela diri.

"Hadehhh, ikut mumet otak gue." ujar Novie kesal seraya menghela nafas kasar.

"Ya udah, gini Erica, kalau emang lo masih pengen berusaha mencintai Ari, dari sekarang coba lo perbaiki sikap lo ke dia deh. Kan tadi lo bilang Ari protes, masalah lo yang gak pernah punya inisiatif buat hubungi atau kasih kabar dia duluan? Lo coba deh, mulai sekarang kasih perhatian lebih ke Ari. Telfon dia gih sekarang. Biar marahnya gak kelamaan. Kasih perhatian gitu loh. Kayak yang biasa gue lakuin sama Jamal" usul Novie.

"Iya kali ya Nov. Emang lo biasa telfon Jamal sehari berapa kali Nov?" tanya balik Erica dengan kepolosannya.

"Berapa yah..?!! Ada kali, sepuluh kali sehari." ujar Novie setelah mengingat sambil menghitung dengan jari.

"Hahh?! Yang bener aja lo? Itu mah lo terlalu lebay banget Nov. Udah pacaran tetanggaan, masih aja telfonan sebanyak itu? Gak enek lo Nov?" tanya Erica, membelalakkan matanya.

"Gak lah. Justru makin menguatkan rasa kepercayaan kita satu sama lain, tau." balas Novie, ngece.

"Udah deh, mending lo telfon Ari sekarang. Tanyain udah makan apa belum. Atau apaan kek. Kaku banget lo. Lo pernah pacaran gak sih sebenernya?" gerutu Novie kesal.

"Ya pernah lah. Tapi kan ini casenya beda. Kalau yang dulu-dulu itu gue pacarannya ya karena gue cinta. Gak kayak sekarang." gerutu Erica seraya menggaruk-garuk kepalanya bukan karena gatal, pusing lebih tepatnya. Sedangkan Novie hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, menatap wajah naif sahabatnya itu.

"Iya deh, gue coba telfon Ari sekarang." ujar Erica seraya mendengus pelan.

Tangan kanannya kini mulai merogoh ponsel dari dalam saku celananya. Kemudian ia mencari kontak Ari lalu langsung mendialnya.

tutut...tutut...tutut...tutut...

"Nada sibuk Nov. Kayaknya dia lagi telfonan juga deh." ucap Erica, seraya mengulum bibir bawahnya sendiri.

"Hayo loh. Jangan-jangan Ari telfonan sama cewek lain lagi." ujar Novie menakut-nakuti.

"Yeee..Sotoy lo! Lagian sebenarnya gak apa-apa juga sih. Gue malah ikhlas kalau Ari bisa dapet cewek yang lebih baik dari gue. Yang bener-bener tulus cinta sama dia. Gue pengen lihat dia beneran bahagia Nov." balas Erica santai.

"Mau lo itu mah. Biar lo bisa terbebas dari masalah lo. Dasar bego.." nyinyir Novie sembari tersenyum sarkas. Sedangkan Erica hanya membalasnya dengan simpul yang tersungging di bibirnya.

*****

Sementara itu di waktu yang bersamaan, namun di tempat berbeda, terlihat Ari sedang berbicara dengan seseorang via telfon.

"Gimana Vin? Lo semalem udah coba ajak curhat Erica?" tanya Ari yang kini berada di parkiran, tepatnya di depan kantornya.

"Udah Bro. Tapi zonk." balas Vino yang duduk di atas kasur di kamarnya.

"Emang dia gak ada cerita apa-apa sama lo?" tanya Ari lagi, antusias.

"Belum sempet Bro. Dia udah keduluan ngusir gue pulang, gara-gara gue ketahuan baca buku diary dia." terang Vino.

Sejenak ingatan Ari mengajaknya berwisata ketika ia membelikan buku diary untuk Erica. Waktu itu memang Erica pernah bilang kepadanya kalau dia suka menulis diary di waktu senggangnya.

"Terus isi diarynya apaan Vin?" tanya Ari semakin antusias.

"Gak penting isinya. Orang cuma puisi gak jelas gitu." terang Vino.

"Puisi?" tanya Ari, bingung.

"Iya, puisi. Katanyanya sih kumpulan puisi karya siapa yah..?! Gue lupa. Ka..Ka-kadir Gibran apa siapa gitu deh." jawab Vino seraya berfikir keras.

"Maksud lo Kahlil Gibran?" sahut Ari sembari tertawa kecil mendengar kalimat sepupunya.

"Oh iya Bro. Bener. Itu yang gue maksud." ujar Vino semangat.

"Cuma itu doang? Gak ada yang lain?" tanya Ari lagi.

"Iya Puisi doang. Udah lah, santai aja Bro. Kayaknya dia gak nyembunyiin sesuatu kok dari lo." ucap Vino mencoba menenangkan Ari.

"Tapi tetep aja Vin. Gue tuh masih penasaran banget sama dia." ujar Ari pelan seraya menghela nafas gusarnya.

"Terus gimana Bro? Lo masih pengen gue mata-matain Erica lagi?" tanya Vino.

"Iya lah Vin. Coba lo cari tau ya Vin. Gue masih belum tenang. Lo masih mau bantu gue kan Vin?" balas Ari.

"Gue mana bisa nolak, kalau lo yang minta tolong. Secara lo kan brother gue. Nanti gue pikirin caranya deh." ujar Vino.

"Thanks ya Vin. Kabari gue yah kalau ada perkembangan. Gue mau lanjut gawe dulu nih." pamit Ari.

"Ok Bro. Tenang aja. Nanti pasti gue kabari." sahut Vino.

"Sekali lagi thanks Vin." pungkas Ari, kemudian memutus panggilan.

Ari pun memutuskan kembali memasuki kantor menuju ke ruang kerjanya. Namun baru beberapa kali melangkah, ia mendapati sebuah panggilan dari Erica pada ponsel yang masih berada pada genggamannya. Dengan cepat ia pun langsung menerima panggilan itu.

"Halo Ri. Kamu lagi ngapain? Udah break belum?" tanya Erica di seberang telfon yang kebetulan masih berada di kantin bersama Novie.

"Aku baru aja selesai break. Sekarang mau balik ke meja kerja aku. Tumben kamu telfon?" balas Ari memelankan langkahnya.

"Emm...aku gak mau bikin kamu kecewa lagi. Maaf yah untuk yang kemarin. Kamu pasti masih marah ya, sama aku?" ujar Erica hati-hati.

"Ya ampun, ya gak lah sayang. Malahan justru aku yang harusnya minta maaf sama kamu, karena aku tadi udah kasar sama kamu. Maafin aku ya. Aku nyesel banget. Kamu tau kan kenapa aku kayak gitu? Itu semua karena aku sayang banget sama kamu." ujar Ari memberi penjelasan. Kali ini ia kembali dengan sifat lembutnya.

"Hemm, aku ngerti kok. Lupain aja. Aku udah maafin kamu kok." balas Erica pelan.

"Btw, kamu tadi habis telfonan sama siapa? Soalnya tadi nada kamu sibuk gitu pas aku pertama telfon." tanya Erica lagi.

"Ohh, tadi..?!! Itu, emm..aku lagi telfonan sama Papah." kilah Ari, gugup.

"Oooo..." Erica ber-o-ria seraya menganggukan kepalanya.

"Ya udah kalau gitu. Kamu lanjutin kerjanya yah. Aku juga mau lanjutin makan dulu sama Novie." ujar Erica kembali.

"Ok. Nanti pulangnya aku jemput yah." balas Ari dengan senyum simpulnya.

"Iya Ri. Bye Ri. Semangat kerjanya ya." ujar Erica dengan senyum simpulnya.

"Kamu juga ya sayang. Love you.." balas Ari.

"L-love you too." pungkas Erica dengan sedikit terbata. Kemudian cepat-cepat ia memutus sambungan telfonnya. Lalu ia menghela nafas panjang.

Setiap kali dia melontarkan kalimat sayang untuk Ari, benar-benar membuat hatinya gemetar. Rasanya berat sekali, ketika dia harus kembali melontarkan kalimat yang tak sesuai dengan perasaan hatinya yang sebenarnya.

Namun dibalik itu semua, hati kecilnya masih berharap agar suatu saat nanti, kalimat itu akan bisa terlontar tulus dari hatinya. (Cinta..bantu Erica dong. 😁)

*****

Sementara itu, Vino masih terlihat melanjutkan aktifitas rebahan di dalam kamarnya. Matanya menerawang ke arah langit-langit kamarnya. Rupanya ia masih berfikir keras bagaimana caranya membuat Erica bisa terbuka dengannya.

"Hadehh, gue mesti ngapain lagi coba? Kalau tar malem Erica gue ajak curhat lagi bakal mau gak ya dia? Semalem aja kesel banget kayaknya dia sama gue." gerutunya dalam hati.

Ditengah lamunannya tiba-tiba terdengar teriakan maut dari luar kamarnya. Tepatnya dari ruang keluarga yang berada persis di samping kamarnya.

"Vin..! Kamu lagi ngapain sih? Ngerem mulu di kamar." Teriak Ibu Ira, yang merupakan Mamah Vino.

"Apaan sih Ma? Teriak-teriakan mulu. Ganggu acara tidur siang Vino aja." balas Vino malas, setelah menampakkan wajahnya, menghampiri sang Mama.

"Kamu aja bangunnya udah siang banget loh Vin, masa mau lanjut tidur siang lagi. Madesu banget kamu. Pijitin pundak Mama sini. Pegel banget Mama abis nyuci." titah Mama Ira yang sedang menonton telenovela di ruang televisi. (Fyi, Madesu adalah singkatan dari Masa Depan Suram).

"Mana sini." balas Vino setelah mendudukkan pantatnya di samping Mamanya. Tangannya mulai memijit pelan pundak Mama tercintanya.

"Kencengan dikit dong. Gak ada tenaganya banget kamu." ketus Mama Ira seraya terus melemparkan pandangannya ke arah televisi.

"Busett dah, udah kenceng ini Mah. Badak banget sih kulitnya." gerutu Vino sembari menguatkan pijitannya.

"Ganti kek Ma, acaranya. Jangan telenovela mulu kenapa. Pusing Vino liatnya." protes Vino dengan tangannya yang terus memijat pundak Mamanya.

"Enak aja. Lagi seru banget tau ceritanya. Tau gak cewek yang rambutnya blonde itu jahat banget Vin. Tapi kayaknya bentar lagi kebongkar kebohongan dia. Jadi ceritanya peran utamanya yang rambut hitam itu, lagi ngejebak si penjahatnya Vin. Sengaja dicekokin alcohol biar si yang jahat ngakuin perbuatannya. Kan katanya gitu, kalo orang lagi mabok biasanya dia bakal ngomong jujur." dengan inisiatif tingkat dewa Mama Ira menjelaskan alur cerita telenovela yang sedang ia tonton.

"Ahh tetep aja Vino gak ngerti Ma." balas Vino santai.

"Tapi emangnya beneran ya Vin, kalau orang lagi mabok itu ngomongnya jujur? Mama gak tau soalnya. Seinget Mama juga, Papa kamu gak pernah tuh minum-minum alcohol kayak gitu." tanya Mama Ira.

"Yah, Mama sama Papa cupu banget emang. Gak Funky." ledek Vino.

"Tapi emang bener sih Ma. Pernah waktu itu pas Vino lagi mabok, secara gak sadar Vino cerita sama Fika kalau Vino pernah selingkuh sama Citra adik kelas Vino dulu waktu masih SMA. Dari situ deh Fika sempet putusin Vino. Tapi akhirnya balikan lagi sih." celoteh Vino menanggapi cerita Mamanya.

"Apa?? Jadi kamu selama ini suka mabok-mabokan juga? Selingkuh-selingkuhan juga?" hardik Mama Ira sepontan mengeplak wajah Vino.

"Mampus, keceplosan lagi gue." gumam Vino dalam hati.

"Ampun Ma. Sekali doang kok itu. Waktu reuni SMA doang. Habis itu gak pernah lagi." kilah Vino beralibi.

Padahal kenyataannya secara diam-diam dia beberapa kali pernah menghabiskan waktu di club malam untuk dugem sekaligus melebarkan sayapnya menjadi sang Don Juan kw.

"Mau jadi apa kamu? Kuliah gak mau. Kerja gak mau. Malah mabok-mabokan gak jelas gitu. Mainin hati anak orang. Kamu beneran mau gak punya masa depan?" ketus Mama Ira merepet layaknya petasan rentet.

"Kok gitu sih Ma, ngomongnya. Vino gini-gini kan rajin bantuin papa ngurusin kosan. Malahan rela bantuin ngaduk semen kalau Papa sama tim kuproy-nya lagi bangun kosan baru. Sampai tangan Vino kasar nih. Jahat banget mulutnya." gerutu Vino sambil terus memijit pundak sang Mama.

"Awas aja ya, kalau Mama sampai denger kamu mabok-mabokan lagi. Mama gak kasih ampun kamu Vin. Sama janganlah kamu suka mainin hati perempuan. Inget, kamu itu punya adik perempuan." ancam Mama Ira, menasihati putranya.

"Iya Ma. Nggak. Udah sih jangan ngomel mulu. Nanti darting-nya kumat loh." sahut Vino mengalihkan topik.

"Kamu tuh sering bikin darting Mama kumat. Sakit kepala Mama." ujar Mama Ira.

"Iya, maaf Ma..maaf.." balas Vino sembari terkekeh.

Vino melanjutkan lagi memijit pundak dan kepala Mamanya dengan tenang. Saking tenangnya sampai tercetus ide brilliant dalam kepalanya.

"Bener juga yah, kalau orang lagi mabok kan biasanya suka ngomong jujur. Apa gue bikin mabok Erica aja yah. Siapa tau kali ini gue berhasil bikin Erica jujur sama gue. Tapi gimana caranya? Kalau gue ajak dugem pasti dia juga gak bakalan mau." gumam Vino dalam hati seraya terus berfikir keras. Sampai akhirnya senyum sinis keluar dari bibirnya.

"Gue tau." ujarnya tanpa sadar, saat tercetus ide cemerlang dari otaknya.

"Tau apaan?" celetuk Mama Ira seraya mengerutkan dahinya, sesaat mendengar ucapan Vino.

Vino sempat tercengang, menyadari ucapan yang tak sadar ia lontarkan dengan lantang. Ia pun hanya bisa tersenyum kaku sembari menggaruk-garuk dahinya sebelum mulut manisnya melontarkan alibi kepada sang Mama.

Bersambung...