webnovel

Sepenggal Kisah Tentang Nadzifa

Nadzifa dan Farzan berdiri di depan flat masing-masing sebelum berpisah. Kucing kesayangan gadis itu sudah dikuburkan di tanah kosong belakang gedung apartemen. Jangan ditanyakan lagi bagaimana sedihnya ia saat kucing jenis persia himalaya tersebut menjelang dikubur.

“Thanks banget ya udah bantuin,” ucap Nadzifa tersenyum singkat, “jangan tolak bantuan gue. Habis ganti pakaian, gue ke flat lo.”

Awalnya Farzan keberatan, tapi Nadzifa kekeh untuk membantu. Gadis itu merasa bersalah, karena sudah mengganggunya pagi-pagi.

“Oke. Nanti pencet bel aja, jangan ketuk-ketuk. Berisik,” tanggap Farzan.

Gadis berambut panjang itu tertawa singkat. “Iya, bawel.”

“Astaga, lo bener-bener kayak Nyokap gue deh,” sambungnya geleng-geleng kepala.

Setelah itu Farzan memasuki flat untuk berganti pakaian. Ujung kaki celana katun bermotif kotak yang dikenakan terkena tanah galian kubur kucing. Begitu juga dengan baju kaus yang dibasahi keringat. Ternyata mencangkul sedikit tanah mampu membuatnya berkeringat. Ah, ditambah lagi Cikarang lebih panas daripada Jakarta meski masih pagi.

Farzan mencuci tangan dan kaki dengan sabun. Khawatir juga jika ada cacing yang menyelinap masuk di kuku jari. (Takut cacingan ya, Dek? Haha!)

Baru saja mengenakan baju kaus, terdengar bel berbunyi. Kali ini Farzan sudah bisa menebak sosok yang ada di balik pintu. Siapa lagi jika bukan tetangga depan flat-nya?!

“Sebentar,” sahutnya sedikit mengeraskan suara.

Begitu pintu terbuka, ia melihat seorang gadis tersenyum lebar memperlihatkan gigi besarnya di bagian tengah.

“Tadaaa!!” Nadzifa menaikkan kedua tangan yang berisi roti tawar, selai cokelat dan dua kopi saset. “Kita sarapan dulu sebelum benah-benah.”

Gadis itu langsung menyelonong masuk, tanpa dipersilakan. Farzan hanya bisa menarik napas berat melihat kelakuan tetangga yang dia sebut ‘Neighbour from Hell’ ini.

“Di mana cangkir lo?” tanya Nadzifa celingak-celinguk mencari keberadaan tempat gelas.

“Sini biar saya aja yang bikin.”

Nadzifa menggeleng cepat. “No! Gue yang bikin. Masa cowok yang bikinin sih?!”

Dia melangkah menuju dapur minimalis yang ada di samping kiri dari pintu masuk. Tubuh semampai itu berbalik dengan kedua alis naik ke atas.

“Cangkirnya mana?”

Farzan mengerling ke lemari tengah. “Bikin untuk Mbak aja. Saya nggak ngopi.”

“Lha trus?” Kening Nadzifa mengernyit.

“Saya bikin susu aja. Nggak biasa ngopi buat sarapan.”

Bibir berisi Nadzifa sedikit maju ke depan, kemudian mengeluarkan suara tawa. Dia terbahak mendengar perkataan Farzan.

“Lo kayak anak kecil deh, sarapan mimik cucu,” ledeknya di sela tawa.

Kedua alis Farzan naik ke atas ketika sorot mata elangnya berganti datar. “Belajar hargai perbedaan, Mbak. Ini negara demokrasi, jangan sedikit-sedikit diketawain kalau beda.”

“Kapan warga negara kita ini bisa menghargai perbedaan, tanpa menertawakan dan mem-bully satu sama lain?” cecarnya geleng-geleng kepala.

“Oops, sorry.” Gadis itu berusaha mengatur napas yang sesak. Dia menutup mulut agar tidak lagi mengeluarkan tawa. “Habis inget sama adek gue waktu masih kecil.”

Nadzifa segera mengambil cangkir dan satu gelas berukuran lebih besar. “Susunya mana? Sini gue bikinin.”

“Di kulkas.”

“Nggak mau bikin yang panas?”

Farzan menggeleng singkat. “Air panasnya ada di sana,” katanya menunjuk dispenser yang terletak tak jauh dari meja makan.

Gadis itu memilih diam ketika menyeduh kopi, kemudian menuangkan susu UHT putih yang diambil dari kulkas. Dia baru mengetahui sedikit dari kebiasaan Farzan. Ternyata pemuda ini tidak mengkonsumsi kafein di pagi hari.

“Pola hidup lo sehat juga. Nggak konsumsi alkohol, nggak merokok dan pagi-pagi minum susu,” komentar Nadzifa meletakkan satu gelas susu di depan Farzan.

“Tapi bagusnya sih minum susu hangat kalau pagi.”

“Udah biasa, Mbak. Dari kecil lebih suka minum susu dingin daripada panas.”

Bibir Nadzifa membulat ketika kepalanya mengangguk.

“Kenapa pindah ke sini?” Gadis itu kembali mengajukan pertanyaan.

Farzan meneguk susu yang menghadirkan nuansa dingin di mulut. Dia meletakkan lagi gelas sebelum melihat Nadzifa yang duduk di hadapannya.

“Biar deket aja sih sama tempat kerja.”

Gadis bermata hitam lebar itu menunjukkan raut bingung. “Emang perusahaan bokap lo ada di Cikarang?”

Farzan menggelengkan kepala. “Saya nggak kerja di sana.”

“Kok gitu?” Nadzifa jadi kepo.

“Saya ambil bidang otomotif waktu kuliah. Nggak nyambung kalau harus kerja di perusahaan properti dan garment.”

Nadzifa manggut-manggut, membuat rambut yang dikuncir itu bergoyang.

“Mbak tinggal sendiri juga di sini?”

“Yup. Sendiri jauh lebih enak. Bebas mau ngapa-ngapain,” tanggapnya santai.

Farzan melihat Nadzifa dengan mata menyipit.

“Eh, jangan mikir macam-macam ya. Walau suka minum-minum, tapi gue ini masih virgin loh,” jelas gadis itu tak ingin Farzan salah paham.

Desahan keluar dari sela bibir berisi yang dihiasi belah di bagian bawah itu. “Gue cuma melarikan diri aja dari desakan nyokap. Lo udah tahu ‘kan kalau gue ini selalu ditanyain kapan nikah?”

Kepala Farzan bergerak ke atas dan bawah. “Kenapa nggak nikah aja, Mbak?”

Nadzifa menyeruput kopi yang masih panas, kemudian bersandar di punggung kursi. “Lihat foto almarhumah tante gue tadi, ‘kan?”

“Ya.”

“Gue nggak mau bernasib sama kayak dia.” Mata hitam lebar itu tampak berkaca-kaca. “Sejak kecil, tante yang paling deket sama gue. Dia yang urus gue dari masih balita, karena Nyokap kerja.”

Nadzifa menarik napas berat sebelum melanjutkan ceritanya. Sementara Farzan memfokuskan perhatian mendengarkan. Dia tahu kalau gadis ini butuh teman untuk berbagi cerita.

“Jarak umur kami jauh banget empat belas tahun. Tante gue orangnya penyayang dan baik.” Nadzifa menumpu kedua tangan di atas meja makan dan mencondongkan sedikit tubuh ke depan. Tangan kanakannya bergerak mengelus dada kiri. “Hatinya juga lembut, makanya dimanfaatkan sama cowok brengsek kayak orang itu.”

Netra yang basah itu tampak menajam. Kedua tangan Nadzifa bertautan erat di atas meja, seperti menahan amarah.

“Apa yang terjadi dengan Tante Mbak sampai bunuh diri?” Farzan ikut-ikutan kepo sekarang.

Air mata pilu menetes di pipi tirus itu satu per satu. Dengan sigap ia langsung menyekanya. Hidung mancung mungil milik Nadzifa membersit lagi.

“Tante gue jadi korban PHP cowok yang sok kegantengan, sampai ….”

Nadzifa berhenti ketika dadanya menjadi sesak. Bayangan jenazah tante kesayangan kembali melintas di pikiran. Di usia sepuluh tahun, ia sudah melihat tubuh perempuan yang sangat disayangi tergantung dengan seutas tali melilit leher. Itulah kenangan yang paling menyakitkan dalam hidupnya.

“Sampai?” gumam Farzan penasaran.

“Sampai dia hamil dan pria itu nggak mau tanggung jawab.” Gigi Nadzifa menggemeletuk membuat rahangnya mengeras. “Cowok sialan itu dengan entengnya bilang kalau dia belum siap berkomitmen.”

“Astaghfirullah,” ucap Farzan mengusap wajah.

Dia jadi ingat bagaimana keras Arini melarangnya berpacaran waktu sekolah, agar terhindar dari hal-hal seperti ini.

Mata hitam Nadzifa menatap lekat Farzan yang sedang beristighfar sekarang. “Kisah tante gue tragis, ‘kan?”

Farzan mengangguk pelan. “Tapi seharusnya nggak bunuh diri juga, Mbak. Itu nggak akan menyelesaikan masalah.”

“Menurut lo apa yang harus dilakukan Tante gue?” tantang Nadzifa.

“Seret pria itu dan bawa ke kantor polisi.”

“Gimana kalau nggak mempan?”

“Kenapa nggak mempan?” Farzan menjadi bingung lagi.

“Karena dia anak orang kaya, sementara keluarga gue nggak punya apa-apa.” Nadzifa terisak saat ingat perdebatan tante dan ibunya, tepat dua jam sebelum adik sang Ibu bunuh diri.

“Katakan siapa yang hamili kamu!” Kalimat yang dilontarkan Ibu Nadzifa kembali terngiang.

“Percuma aku bilang sama Kakak, karena dia nggak akan mau tanggung jawab.”

“Kita bisa seret dia ke kantor polisi, In.”

“Nggak akan, Kak. Dia berasal dari keluarga terpandang. Kita akan kalah.” Itulah yang dikatakan oleh tante Nadzifa sebelum kematiannya.

“Seberapa berkuasa keluarga pria itu? Apa dia anak pejabat atau artis yang bisa memanipulasi keadaan?” tutur Farzan menyentakkan lamunan gadis itu.

Nadzifa menggigit bibir bawah yang bergetar karena tangis. “Sekaya keluarga lo yang punya pengaruh kuat, Farzan,” lirihnya tercekat menahan amarah.

Bersambung....