webnovel

Hello, Riska

Adult Romance—Action. “Live must go on, but you don't let me move on.” Meira Aurora, si model majalah dewasa yang namanya terkenal seantero Universitas Malaka dalam predikat buruk, sebab pekerjaannya mendapat stigma negatif dari manusia di kalangan kampus. Bagi semua mahasiswa, Meira terlalu menggiurkan, kalau bagi mahasiswinya Meira terlalu menjijikan. Mereka bahkan mengira kalau Meira sering melakoni make out dengan dosen agar nilainya naik. Ada satu hari di mana seorang mahasiswa pemimpin organisasi Mapala di kampusnya berhasil menarik perhatian Meira, Riska Prakasa namanya. Berkat video kissing scene Riska serta Luna yang Meira dapatkan hari itu, ia bisa menarik Riska dengan mudah ke arahnya. Lambat laun Riska tahu siapa Mey sebenarnya, tentang kehidupan yang brutal serta segudang omong kosong, Riska juga tahu alasan Meira selalu menangis di kolong meja ruang makan. Riska mulai memiliki alasan mengapa ia harus menjaga Meira agar tetap baik-baik saja saat seseorang ingin melenyapkan gadis itu. Lantas, ada hari di mana pekat benar-benar menghampiri Meira dan memunculkan titik terendah dalam kehidupannya. Copyright by aprilwriters 2021.

aprilwriters · Ciudad
Sin suficientes valoraciones
244 Chs

Paracetamol.

Meski bagian atas tubuhnya sudah dibalut jaket hitam serta helm yang melindungi kepala dari air hujan, tapi tetap saja basah menyergap bagian bawah tubuh Mey serta sepasang kaki berbalutkan heels. Namun, keadaan laki-laki yang mengemudikan motornya jauh lebih mengenaskan, sebab jaket serta helm yang ia pinjamkan membuatnya basah kuyup—padahal jarak dari area hotel ke apartemen Mey cukup jauh, tapi Riska tetap saja santai mengemudikan motornya seraya bermain hujan.

Oke, Riska bukan Dilan. Ia hanya laki-laki biasa yang merasa kasihan telah membuat orang lain benar-benar menunggunya di sela gelap malam serta riuh tawa hujan.

Meira menyembunyikan sepasang tangannya di saku jaket, ia sedikit memberi jarak dengan Riska takut-takut kekasihnya itu bisa risi jika tubuh Mey menempel dengannya, tumben sekali Meira berpikir bijak.

Tak ada sepatah kata mengudara dari bibir keduanya, mereka tenggelam bersama pikiran masing-masing, lagipula suara rintik hujan akan menyamarkan suara. Meira terus saja memperhatikan daerah sekitar tempat motor Riska melaju membelah jalanan saat intensitas hujan justru semakin deras, mungkin Riska mulai risi sebab bajunya yang semakin basah sampai akhirnya ia memutuskan menepi di depan sebuah toko yang sudah tutup. Keduanya lantas bergegas turun dan berlindung di emperan toko.

Mey terlihat sibuk melepaskan pengait helm di bawah leher, ia kesusahan. "Riska, lepasin ini dong. Gue enggak bisa."

Riska mengikuti perintahnya tanpa berkata apa-apa, ia melepaskan pengait helm dan menarik benda tersebut lolos dari kepala Meira, kali ini ia menyandarkan punggung pada dinding toko di belakangnya seraya menyugar rambut yang basah.

"Ini jaketnya lo pakai aja, kayaknya lo yang lebih butuh." Melihat basahnya Riska dari ujung kaki hingga kepala jelas membuat siapa pun pasti iba—termasuk Meira sendiri, sebenarnya ia ingin marah karena Riska telat datang menjemput sampai mereka terjebak hujan seperti sekarang, tapi jika diingat-ingat Mey sendiri yang meminta Riska datang. Andai Meira sudi ikut pulang bersama Lolita atau memesan taksi online—pasti hujan takkan menyerangnya.

"Nggak usah," lirih Riska, ia meletakan helmnya di lantai sebelum bersidekap merasakan dingin mendekapnya erat seraya sesekali menyugar rambut yang meneteskan sisa air hujan yang jatuh ke wajahnya.

Mereka kembali menikmati kesunyian masing-masing saat keduanya mengunci bibir dan menikmati dingin yang entah kapan berhenti, Mey sedikit selamat saat jaket cukup mendekapnya, tapi bagaimana dengan laki-laki yang terlihat menggigit bibir seraya berkali-kali menggosok sepasang tangannya?

Apa ini salah gue ya udah maksa dia buat jemput, kalau tadi gue enggak minta jemput dan pulang sama Lolita, mungkin nggak akan kayak gini. Mey menghela napas panjang, ada penyesalan merasuk dalam benaknya. Sesekali ia melirik arloji yang membawa keadaan semakin malam, tapi hujan belum juga mereda, atau setidaknya gerimis saja agar mereka bisa pulang segera.

Meira memutuskan berjongkok sebelum mendekap lututnya, ia menenggelamkan wajah di sana seraya memejamkan mata sekadar menikmati rasa tenangnya.

Hampir satu jam keduanya berada di emper toko, jalan besar bahkan tak memperlihatkan satu pun kendaraan yang lewat, pasti sebagian orang sudah beristirahat di kamar masing-masing dan merasa hangat, sedangkan mereka masih ada di tepi jalan seraya mengeluhkan hujan. Untunglah intensitas hujan mulai berkurang dan berganti gerimis saja, tiba-tiba Riska mendekat dan membungkuk di depan Meira yang masih berjongkok terpejam, laki-laki itu menepuk bahu Mey sekadar menyadarkannya.

"Kita bisa pulang sekarang," lirih Riska.

"Oh, ya." Mey beranjak seraya meraih helm yang dibagi Riska, ia memasangkannya di kepala sebelum duduk di belakang Riska yang sudah siap melajukan motornya.

***

"Hatchi! Hatchi!" Untuk kesekian kali Meira bersin saat ia duduk di antara ketiga temannya, mereka berada di kantin sekadar menikmati kopi yang terhidang di meja, tapi Mey sendiri tak memesan apa-apa.

"Udah mending lo pulang aja, Mey. Nanti malah makin parah," tutur Mona khawatir.

"Benar tuh kata si Mona, lagian bukannya udah biasa bolos kuliah, daripada lo jadi beneran sakit malah urusan pemotretan lo jadi tertunda semua kan." Tania menimpali, Selly hanya mengangguk menyetujui perkataan dua teman lain kepada Meira.

"Ya udah, tapi nanti absenin gue ya di kelas." Mey akhirnya mengalah, ia beranjak keluar dari kantin seraya mengeluarkan ponsel dari cross body bag miliknya, Meira ingin memesan taksi online sebab ia belum sempat menjemput mobilnya di bengkel. "Kalau gue yang pakai helm aja bisa bersin kayak gini, gimana Riska yang basah semua tadi malam, ya?" Pikiran Mey mengarah lebih jauh, bisa saja Riska lebih parah darinya mengingat tak ada benda yang melindungi laki-laki itu dari amukan hujan semalam.

Meira memutuskan duduk di salah satu kursi besi panjang yang berada di tepian koridor, ia menghubungi nomor Riska, sayangnya tidak aktif. "Kok bisa enggak aktif, gimana gue mau tahu kabarnya." Ia menerawang. "Kalau gini apa gue perlu datang ke rumahnya? Gue aja nggak tahu di mana rumahnya." Ia mulai pusing sendiri menanggapi situasi rumit tersebut. "Tanya Haikal aja kali, ya." Sekarang tujuan Mey sudah jelas jika ia harus mencari Haikal untuk menanyakan alamat rumah Riska.

Meski harus bersusah payah mencari keberadaan Haikal ke fakultas lain, tapi usaha Meira membuahkan hasil, ia juga mendapatkan alamat Riska sesuai keinginannya. Kini gadis itu sudah duduk di kursi penumpang taksi online seraya memegang tote bag berisi sesuatu yang sempat dibelinya saat berhenti sejenak di jalan tadi, ia akan memberikannya kepada Riska.

Rupanya Riska tinggal di perumahan Raflesia Resident, dan jaraknya cukup jauh dari kampus, bahkan lebih jauh lagi dari apartemen Mey. Kaca sisi kiri yang terbuka bisa membuat Meira lebih leluasa memperhatikan keadaan di sekitar, perumahan tersebut bukan perumahan elite yang kebanyakan huniannya memiliki dua lantai dengan bangunan mewah. Hampir keseluruhan perumahan di sana diisi oleh bangunan satu lantai sederhana, taksi membawa Meira semakin masuk ke dalam—pada cluster dandileon yang sebentar lagi akan membuatnya menemukan tempat tinggal Riska.

Supir taksi juga memelankan laju kendaraan saat ia memperhatikan rumah-rumah di sekitarnya, hampir mirip semua, tapi nomor yang tepat akan membawa mereka menemui tujuan utama. Di kertas yang Meira pegang tertulis jika alamat rumah Riska adalah Raflesia Resident di cluster dandileon nomor lima.

Kali ini taksi berhasil berhenti di tempat yang sesuai dengan alamat dalam kertas tersebut, Meira lantas membayar sebelum akhirnya turun seraya menarik napas lega karena menemukan tujuannya. "Makasih, ya, Pak."

"Sama-sama, Mbak. Saya pergi dulu." Taksi pun kembali melaju setelah membawa penumpangnya tiba di tempat yang diinginkan.

Meira memperhatikan sekitar, rumah Riska hampir mirip dengan rumah-rumah sebelumnya, satu lantai dan terlihat sederhana. Halamannya pun tak terlalu luas, tanaman pucuk merah terlihat rimbun dan indah di sudut halaman serta beberapa pot bunga yang tanamannya tampak subur, apa Riska sudah menanam bunga?

Sebuah gerbang rendah bercat putih yang hanya setinggi pusar tertutup rapat, terlihat jika motor Riska terparkir di beranda. Meira mendorong pelan gerbang tersebut agar ia bisa masuk, awalnya Mey merasa percaya diri saat menghampiri beranda, tapi ketika bola matanya menemukan sepasang sneakers perempuan tergeletak di depan pintu—membuat Mey menelan ludah.

"Hatchi!" Lagi-lagi Mey bersin, tapi datangnya di saat yang tidak tepat.

"Kayak ada orang di luar ya." Suara dari dalam rumah membuat Mey mendelik dan buru-buru bersembunyi pada ruang sempit di sisi rumah, lebih tepatnya di dekat kran air.

Terdengar derit pintu terbuka. "Kayaknya tadi ada orang bersin kan, kamu dengar enggak?" Luna bertanya pada laki-laki yang ikut keluar bersamanya.

"Orang lewat aja mungkin," ujar Riska, ia memutuskan masuk kembali ke dalam rumah sebelum Luna mengekor seraya menutup pintu lagi, sedangkan seseorang yang masih bersembunyi semakin tenggelam dalam diamnya, sorot mata Meira meredup dan tak sesemangat tadi.

Kenapa gue lupa kalau Riska itu punya Luna, kenapa gue ceroboh datang ke tempat orang yang salah. Meira merasa sesak, ia memutuskan keluar dari sana setelah dirasa keadaan aman, Mey meletakan tote bag yang dibawanya pada permukaan jok motor Riska sebelum melenggang pergi dari tempat itu seraya membawa kecewa dalam dada.

Ia menapaki trotoar yang cukup panjang, kebetulan posisi rumah Riska berada di ujung cluster dandileon, jadi cukup merepotkan sebab Meira harus berjalan kaki saat menjauh dari sana. Mey merasa menyesal telah datang, harusnya ia berpikir dua kali sebelum mengambil keputusan untuk menemui Riska, padahal sudah jelas ada Luna yang bisa kapan saja berada di samping Riska. Lantas Meira?

Ah, entahlah. Lebih baik Mey memesan taksi online agar ia cepat pergi dari tempat itu dan pulang ke apartemennya untuk beristirahat.

***

"Hatchi! Hatchi!" Meira sudah terbaring di ranjang besarnya, ia juga menutupi sebagian tubuh sebatas dada menggunakan selimut tebal, rupanya bersin mengawali keadaan Mey yang memburuk, kini suhu tubuh gadis itu semakin meningkat, tapi ia enggan pergi ke dokter dan memeriksakan kondisinya.

Terdengar derit pintu kamar terbuka yang memunculkan Trias di sana, perempuan itu masuk ke dalam menghampiri Meira yang memeluk gulingnya seraya miring ke kanan, ia lebih banyak melamun sejak pulang dari kediaman Riska.

"Mbak Mey perlu dipanggilkan dokter? Atau mau saya belikan obat di apotek?" Trias juga terlihat cemas menanggapi kondisi majikannya, ia berdiri di dekat ranjang Mey seraya memegang kemoceng serta kain lap bekas bersih-bersih.

"Nggak usah, Mbak Trias telepon Lolita aja ya suruh dia ke sini, nomornya ada di buku kecil sebelah telepon kok. Gue malas ngomong sama dia, nanti malah nyuruh yang macam-macam."

"Baik, Mbak." Trias menyingkir dari hadapan Mey, ia melakukan perintahnya untuk menghubungi Lolita yang langsung panik mendengar kabar perihal kondisi model kesayangannya.

***

Hello, pembaca. Jangan lupa kasih review untuk naskah ini yaa.

aprilwriterscreators' thoughts