webnovel

Kembali Membaik

Alin melirik sang ayah yang sejak tadi sibuk berdiri di pojok ruang rawatnya sembari mendengarkan suara dalam sambungan. Sesekali sosok itu meliriknya, lalu kembali fokus berbicara.

Alin yang tidak mengerti hanya diam sembari melirik layar ponsel yang menyala, menampilkan acara yang menurutnya seru akhir-akhir ini.

"Baiklah jika begitu, aku pun akan mencabut tuntutannya jika benar mereka datang dan meminta maaf langsung pada Alin." Yoshua tersenyum lega dan berbalik menatap putrinya, "ya baiklah, terima kasih atas kerjasamanya."

Sambungan itu diakhiri, Yoshua tersenyum mendekati Alin yang sejak tadi duduk nyaman di atas ranjangnya.

"Sayang, mereka semua akan meminta maaf padamu secara langsung. Pihak sekolah dan bahkan orang tua dari murid itu juga sudah menjamin, jika kejadian ini tidak akan terulang lagi."

Alin yang mendengar itu ikut bahagia, dia akhirnya bebas dari rasa khawatir dan dijauhi oleh beberapa teman satu kelasnya.

"Terimakasih Pa."

"Iya, Nak. Sama-sama, sekarang karena semua sudah selesai, berjanjilah untuk segera pulih seperti semula ya. Kita harus pulang, karena Bi Asih dan yang lain juga sudah menunggu Nona cantik ini."

Alin tak bisa menahan senyumannya, dia seolah bisa membayangkan bagaimana raut wajah para pengurus rumahnya itu saat melihatnya nanti. Semenjak kepergian sang ibu, Alin memang makin dekat dengan orang-orang rumah, terutama bi Asih.

***

Setelah dua minggu dirawat, kondisi Alin sudah mulai membaik. Dokter Tania, selaku orang yang sudah bertanggung jawab merawatnya sejak dulu, juga sudah mengizinkan hal itu.

Alin tersenyum sembari duduk di atas ranjang, mengamati sang dokter yang sibuk memberikan arahan pada sang ayah. Gadis itu memainkan kakinya yang menggantung sembari sesekali tersenyum saat keduanya melirik.

"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi, lingkungan di mana Alin bersekolah kini sudah benar-benar aman. Kita hanya perlu memantau, tapi bukan berarti mengekang."

Yoshua mengangguk mengerti, dia juga menginginkan hal yang sama. Dia ingin putrinya bisa merasakan kehidupan yang normal, meski tidak bisa sebebas orang-orang di luar sana.

"Baiklah, aku mengerti. Kalau begitu, kami pamit pulang dulu."

Sang dokter tersenyum dan mengalihkan pandangannya pada sosok Alin.

Yoshua mendekati sang putri, meraih sebuah tas kecil di sisi gadis itu dan dengan segera menggandeng Alin. "Ayo Sayang, kita pulang."

Alin tentu menurut tanpa ragu, dia memang ingin cepat pulang karena sudah bosan berada di kamar rawat itu.

"Dokter, aku pulang ya. Berikan aku obat yang paling ampuh, agar aku tidak kembali ke sini lagi."

Tania hampir saja terbahak mendengarnya, dengan cepat dia memegang puncak kepala gadis remaja itu. "Kau ini, tidak ada gunanya obat ampuh jika kau sendiri tidak bisa mengontrol emosi. Berjanjilah untuk menahan diri, agar kejadian seperti kemarin tidak terulang lagi. Bagaimana, kau setuju?"

Alin cemberut kemudian menatap Yoshua cepat, "Dokter Tania cerewet sekali Pa. Aku minta obat, dia malah memberikan nasehat."

Mendengar itu, tentu saja keduanya tertawa. Apa yang Alin katakan mungkin tidak berarti untuknya, namun bagi orang yang kini mendengar, kalimat dan ekspresinya terbilang cukup lucu untuk ditertawakan.

"Papa mengerti, nanti lain kali Papa yang akan memaksa. Sekarang sebaiknya kita pulang, ini sudah sore. Bukankah besok kau harus sekolah."

Mendengar kata sekolah, Alin seketika tersenyum. Dia ingat jika aktivitas itulah yang dia rindukan semenjak ada di rumah sakit. Meski dijauhi dan sering menjadi pusat perhatian karena diperlakukan berbeda, Alin cukup senang menjalani keseharian seperti itu karena menurutnya dia bisa merasakan jadi orang normal jika menjalani keseharian layaknya remaja kebanyakan.

"Ayo, Pa. Kita pulang."

Yoshua mengangguk, "baiklah." Laki-laki itu mengambil langkah pertama meninggalkan ruangan, sementara Alin malah belum bergerak dan melirik Tania tanpa diduga.

"Kenapa?"

Alin tak langsung menjawab, dia malah tersenyum samar menatapnya. "Aku pulang dulu ya, Dok. Nanti kalau obatnya sudah ada, beritahu Papa agar dia bisa ambil ke sini."

Tania tersenyum dan memegang kepalanya satu kali lagi, "iya, iya tuan putri. Aku akan carikan obat yang paling ampuh untukmu."

"Oke, setuju."

"Alin, ayo Sayang."

Gadis itu tersenyum menatap Tania dan dengan segera mengikuti langkah Yoshua. Keduanya berlalu meninggalkan ruangan tanpa ragu dang menghilang di balik pintu.

Dokter Tania lega karena akhirnya Alin bisa pulang, namun dia juga merasa memiliki beban berat. Terlepas dari kemauannya Alin, dia dan Yoshua juga sudah pernah mendiskusikan soal metode pengobatan yang mungkin bisa membantu Alin kedepannya.

"Sabar ya, Lin. Dokter akan usahakan sebaik-baiknya," lirih wanita itu sembari terus melepas bayangan keduanya di balik pintu.

***

Setelah kejadian itu, kini Alin benar-benar bisa menjalani kesehariannya dengan nyaman. Teman-teman yang mulai bisa menerima, ya meski tidak semuanya namun keadaan menjadi jauh lebih baik bagi Alin.

Namun, di satu sisi dia juga harus melakukan hal baru yang cukup membuatnya kesulitan. Bagaimana tidak, Yoshua meminta Alin untuk selalu menelpon saat jam istirahat.

Bukan hanya itu, Anita pun diminta untuk melaporkan aktivitas Alin setiap jamnya kepada sang ayah. Hal itu cukup menyulitkan bagi Alin, terlebih dia juga merasa tidak enak hati pada Anita karena tugasnya yang makin bertambah.

Namun, semua demi ketenangan Yoshua dan Alin juga Anita harus melakukan itu.

Hal itu bahkan berlangsung selama bertahun-tahun, sampai akhirnya kini Alin sudah berada di tahun terakhir sekolahnya.

Alin yang kini bersiap untuk pulang pun, melirik Anita yang berbicara sembari berjalan di sebelahnya.

"Iya, Pak. Kami sedang menuju gerbang utama. Iya, setelah ini Saya akan pastikan Alin pulang dengan selamat. Iya, Pak."

Gadis itu menghela napas berat, dia lelah rasanya mendengar semua laporan Anita. Setiap harinya, kalimat yang sama selalu diulang.

"Sini, Bu. Biar Saya yang bicara." Alin mengambil paksa ponsel itu membuat Anita terkejut karenanya.

Sang gadis dengan segera mendengarkan sang ayah yang terus saja bicara dari tadi.

"Pa, ini Alin. Aku bakal langsung pulang kok karena besok juga udah mau ujian. Papa jangan mikir macem-macem, Bu Anita kerja dengan baik kok. Ya, Pa?

Anita hanya diam tak enak karena Alin yang kini berbicara menggantikannya. Dia juga tidak mungkin melarang hal itu, jadi yang bisa dilakukan hanyalah diam sembari mendengarkan.

"Ya udah, sampai ketemu di rumah ya Pa."

Gadis itu mengakhiri sambungan detik itu juga dan mengulurkan ponsel pada Anita.

"Maaf ya Bu, Saya rebut gitu aja. Soalnya Saya enggak enak sama Ibu harus laporan terus sama Papa."

Anita tersenyum mendengarnya, dia lega setidaknya di mata Alin dirinya tidak bersalah karena membiarkan saja hal seperti itu tadi terjadi.

"Ibu tidak keberatan Lin, sama sekali. Ibu justru tidak enak karena kamu sendiri yang harus bicara sama Pak Yoshua.

"Tidak masalah Bu, ayo kita pulang saja. Ibu juga harus menemaniku mempelajari materi untuk ujian besok."

"Iya, kamu benar. Ayo."

Alin dan Anita kini melanjutkan kembali perjalanan menuju gerbang guna keluar dari lingkungan sekolah.