webnovel

Rahasia Masa Lalu

Di depan rumah Bima.

"Lo seriusan, Meysa belum pulang?" Niat kedatangannya hanya untuk memastikan kalau cewek itu baik-baik saja. Sejak awal bertemu, Aslan masih tak yakin, kalau Aldo adalah orang yang baik.

"Belum, katanya sih, masih di sekolahan tadi. Padahal ya, teman gue juga ada anggota OSIS, selain Meysa, jam lima tadi sudah sampai rumah kok, malahan ini kita janjian mau nongkrong bareng," jelas Bima.

"Lo gimana sih, bukannya cemas malah santai kayak gini!" Aslan merasa heran dengan cowok yang Meysa sebut dengan sahabat itu.

"Buat apa juga gue pikirin, orang tadi dia bilang baik-baik saja. Malahan sekarang lagi berduaan sama ketua OSIS yang ganteng itu," cetusnya.

"Hah? Gila, Lo! Gak sayang sama sahabat sendiri!"

"Aneh banget sih, tuh orang."

Aslan bergegas menuju ke sekolahannya. Tampak sangat sepi, tapi saat dia mendekat ke pintu gerbang, kedua matanya sendiri yang melihat Meysa tertawa lepas dengan cowok itu.

"Gue bener-bener kecewa sama Lo, Mey!"

Sekilas saat cewek itu menoleh, dia tak sengaja melihat bayang-bayang Aslan.

"Apa mungkin gue salah lihat?"

"Kak Aldo, saya ke sana bentar ya," pamitnya.

"Jangan lama-lama Mey, ini masih banyak yang harus dikerjakan."

Aslan segera pergi dari tempat tersebut, cowok itu tak mau bertemu dengannya.

"Gak ada siapa-siapa, tapi perasaan gue mengatakan tadi itu beneran Aslan. Gue tanya aja kali ya, sama satpam itu," gumamnya.

"Pak!"

"Eh kamu, bentar tunggu di sini." Satpam itu mengambil sebuah kantong plastik entah apa isinya.

"Apa ini, Pak?"

"Berkat bantuan kamu, sekarang istri saya sudah gak ngambek lagi. Ya, meski gak seberapa saya kasih ini buat kamu, diterima ya," jawabnya.

"Kebetulan banget nih, Pak, saya lagi lapar ...."

Belum sampai sana saja, satpam itu kembali menyodorkan satu kantung lagi untuknya.

"Ini buat saya lagi, Pak? Haduh Pak, ini sudah lebih dari cukup, kebanyakan nanti mubazir lagi," tolaknya.

"Bukan dari saya sih," jawabnya.

"Jadi?"

"Itu si Aslan, badannya aja yang gede cuma kasih makanan ke cewek gini doang gak berani, mana dititipkan ke saya lagi. Tapi, tadi saya lihat wajahnya kayak sedih gitu, gak tahu kenapa, gak berani nanya juga," jelasnya.

DEG!!

"Terus sekarang orangnya ke mana, Kak?"

"Udah pulanglah ...."

"Meysa! Cepat bantu angkat ini!" teriak Aldo dari dalam.

Tak ada waktu untuknya mengejar cowok itu. Meysa pulang diantar oleh Aldo, untuk kedua kalinya, cowok itu juga bertemu dengan sang papa.

"Sering-sering main ke sini ya," pinta papanya.

"Pa, apaan sih!"

"Iya Om, kalau gitu saya pamit dulu ...."

Di dalam kamar.

Cewek itu terlalu lelah karena tak istirahat semalaman. Harusnya dia selalu tidur siang, rutin setiap harinya, sayangnya beberapa hari ini kesibukannya sangatlah padat.

"Meysa!" Suara panggilan diikuti ketukan pintu dari luar membuatnya kembali membuka mata.

Papanya masuk, memberikan sesuatu yang dibungkus di dalam tas belanjaan.

"Ini apa, Pa?"

"Tadi guru kamu menghubungi Papa. Seneng banget rasanya punya anak yang bisa membanggakan sekolahnya, ini hadiah buat kamu." Sebuah jaket remaja yang papanya belikan dari luar kota, sayangnya setiap lelaki itu memberinya barang, selalu saja berwarna merah muda.

"Pa!" rengeknya.

"Meysa sukanya warna hitam, biru, bukan kayak gini," lanjutnya.

Dan papanya selalu tertawa setiap kali dia mengatakan hal tersebut.

"Sekarang kamu istirahat. Oh iya." Papanya kembali berbalik badan.

"Anak Papa yang cantik ini, udah jadian belum sama cowok tadi? Papa setuju loh, dia sopan banget sama orang tua, bukan tampan parasnya saja," ucapnya.

"Apaan sih, Pa! Meysa gak mau mikir kayak gitu dulu, udahlah males!" Cewek itu menyembunyikan tubuhnya di balik selimut. Sampai papanya keluar, baru dia membukanya kembali.

Cewek itu kini berada di meja belajarnya. Bukan setumpuk tugas yang dia pikirkan kini, melainkan dia hanya asik melihat-lihat sosial media miliknya.

"Kak Aldo follow gue? Gue stalking dulu aja kali ya," gumamnya.

Meysa bisa menemukan banyak sekali foto kenangan Aldo, bahkan beberapa masa kecilnya dia abadikan di sana.

"Ganteng banget, keren kalau pakai kacamata gini."

Cewek itu menemukan sebuah hal baru yang dia ketahui.

"Hah? Kak Aldo dulunya anak geng motor? Gue gak nyangka sih, pantesan dia jago banget berkelahi. Jaket ini, kayak gak asing di mata gue. Tapi di mana ya, gue yakin pernah lihat. Ayo dong, Meysa, ingat-ingat ...."

"Ah! Lupa!" rengeknya.

"Familiar banget padahal. Apa gue tanya aja ke dia? Tapi, gak mungkin."

Pagi hari.

Khusus untuk hari ini, Meysa dibebaskan dari semua tugasnya. Bahkan, kepala sekolah sudah melarangnya untuk membantu kegiatan OSIS.

Dia hanya perlu masuk sekolah seperti biasa. Saat berjalan di lorong arah kantin, Meysa melihat Aldo berbicara dengan serius pada tiga anak lain.

"Siapa itu, bukan urusan gue juga." Meysa pura-pura tak tahu, dan lebih memilih untuk terus berjalan.

"Mey," panggil Aldo.

"Iya, Kak?"

"Saya mau bicara penting sama kamu."

"Memangnya ada masalah apa, Kak?"

"Lo kenal sama cowok ini?" Baru pagi tadi, Aldo mendapat kabar dari mantan anak gengnya dulu tentang hal ini.

"Kak Aldo ..., dapat foto ini dari mana?" tanyanya terbata-bata.

Padahal, Meysa sudah menghapus semua foto mantan kekasihnya dulu, untuk dihilangkan dari dunia sosial media.

"Kamu kenal?" Pertanyaan itu tidak berubah, seolah wajib dijawab oleh Meysa.

Cewek itu tak mungkin menjelaskan semuanya kepada Aldo, cukup dia dan orang terdekat yang tahu cerita ini.

"Enggak Kak," jawabnya.

"Yakin?"

"Iya, emangnya itu siapa?"

"Mey, saya bukan anak kecil, kenapa tadi kamu tanya saya dapat foto ini dari mana?"

"Em, bukan gitu Kak, aku cuma mikir aja kalau tempat yang dipakai untuk foto itu sekarang kayaknya udah gak ada, berarti itu udah lama ya, fotonya." Alasan itu dirasa cukup masuk akal baginya.

"Oh, iya tempatnya dihancurkan dan sekarang dibangun gedung di sana. Saya pikir kamu mengenalnya, ya sudahlah." Aldo kembali memasukkan foto itu ke dalam saku bajunya.

"Kalau gitu saya ke kantin dulu ya, Kak ...." Meysa segera pamit sebelum banyak hal yang akan Aldo tanyakan padanya.

"Meysa gak kenal sama dia. Berarti laporan yang aku dapat palsu. Dia bukan kekasih dari cowok yang aku bunuh dulu, saat tawuran melawan geng lain."

"Rahasia ini, akan aku tutup rapat sampai mati. Aku gak mau masuk penjara, dan papa Meysa juga gak boleh tahu yang ada aku bisa bernasib sama kayak Aslan, terhalang restu orang tua Meysa," gumamnya.

Bukan tentang cover yang ditampilan, terkadang memang hati seseorang tidak ada yang satu bagaimana isinya. Itulah alasan, mengapa Aslan tak begitu percaya dengan Aldo.

"Busuk! Gue bakalan bongkar semua ini nanti. Sekarang, Aslan harus tahu dulu."

Sedari tadi, Edo merekam semua ucapan cowok itu dalam ponselnya. Dengan ini, dia akan mengadukan perbuatan busuk yang selama ini tertutup.

Sayangnya, keberadaan Edo tak bertahan lama. Aldo terlebih dulu memergokinya. Dia memukul dengan kasar, merebut ponsel milik lelaki itu, dan membantingnya di lantai.

"Lo, gak bakalan bisa karena semua bukti ini udah hangus!"

Bersambung ....