webnovel

Pindah Kelas

"Ingat, jangan dekat dengan Aslan!" Baru melangkah pintu, setelah bersalaman pesan itu kembali dia dengar dari mulut papanya.

"Meysa, kamu dengerin Papa gak!"

"Sudah Mas, jangan terlalu kasar dengan putri kita," tutur istrinya.

Meysa sadar, kunci motornya tidak ada dari semalam.

"Ma, kunci motor Meysa di mana?"

"Siapa yang memperbolehkan kamu bawa motor?" tanya papanya menyahut.

"Mulai hari ini, kamu berangkat sama Bima, itu dia sudah datang."

Tanpa mengatakan suatu apapun, Meysa langsung naik ke atas motor Bima.

"Kami berangkat dulu, ya, Om," pamitnya.

Bahkan saat sampai sekolah pun, Meysa dikejutkan karena mendapat panggilan dari Bu Rena pagi-pagi begini. Seingatnya tak ada kesalahan yang dia perbuat akhir-akhir ini.

"Mulai sekarang kamu pindah ke kelas IPA 3, sebangku dengan Bima," ujarnya mengambil keputusan sepihak membuat Meysa tak setuju.

"Tapi, kenapa gitu, Bu?"

"Pokoknya kamu turuti saja, ini sudah menjadi keputusan kepala sekolah," jawabnya.

"Ya, gak bisa gitu dong, saya harus tahu alasannya, masa tiba-tiba dipindah?"

"Bima itu 'kan sahabat kamu, harusnya kamu senang satu kelas dengannya. Sudah ya, Ibu masih ada jam mengajar," pamitnya.

Cewek itu keluar dari ruang guru, dengan wajah kusut. Kesal, dan marah, yang dia rasakan kini semakin menjadi. Kebetulan letak ruang guru, lumayan dekat dengan kelasnya yang sekarang. Tampak dari kejauhan, Aslan menunggunya masuk ke kelas, cowok itu terkejut karena Meysa malah masuk kelas lain.

"Itu anak pikun apa gimana sih," cetusnya.

"Aslan! Mau bolos lagi kamu?" Bu Rena sudah muncul di belakangnya.

"Ibu cepat banget sampainya, gak mau kabur kok, mau ke kamar mandi," jawabnya.

"Awas aja kalau kamu bohong, udah cepetan sana!"

"Iya Bu, bawel!"

"Apa-apa coba ulangi saya gak denger?"

"Ibu Rena cantik, baik, dan gak suka marah," jawabnya tak sesuai.

"Bisa aja kamu, cepet!!"

Aslan pastikan guru itu sudah masuk kelas, baru dia putar arah ke kelas IPA 3. Kelihatannya belum ada guru yang memasuki kelas itu.

"Mey, ngapain Lo ada di sini, Bu Rena udah datang tuh," ajaknya.

"Mulai sekarang, Meysa satu kelas sama gue," jawab Bima.

"Hah? Gak usah ngarang deh, Lo! Dia itu kelasnya di sana, sebangku sama gue," sahut Aslan.

"Mey, jelaskan semua ini gak bener," pintanya.

"Maaf Lan, yang Bima katakan memang benar, gue udah pindah ke sini, Bu Rena yang suruh," jawabnya.

Brakk!!

Semua murid yang ada di kelas tersentak, dan ketakutan. Aslan keluar dari ruangan itu, mencari keberadaan Bu Rena.

"Lama banget sih, make up dulu kamu di dalam kamar mandi?" Guru itu tak tahu, Aslan menahan emosinya.

"Kenapa wajah kamu merah gitu?"

Beberapa temannya yang sudah mengenal Aslan, tahu betul dan mereka mulai panik.

"Aslan! Redam emosi kamu," ujar Edo.

Akhirnya cowok itu memejamkan mata sejenak, dan menyadari semuanya. Tapi, dia tak akan melupakan niatnya begitu saja.

"Saya mau bicara sama Ibu, di luar," ujarnya sudah berjalan terlebih dulu.

"Semuanya tetap di tempat duduk." Wajahnya berubah menjadi panik.

"Kamu kenapa, Lan?"

"Bu! Kenapa Meysa pindah ke kelas lain? Ibu tahu sudah lama saya sendirian, dan baru beberapa hari punya teman sebangku udah dipindah aja, saya gak pernah main kasar sama Meysa," kesalnya meluapkan semua.

"Oh, jadi masalah itu. Asal kamu tahu Aslan, semua ini atas permintaan orang tuanya Meysa sendiri," jelas Bu Rena.

"Ibu hanya menjalankan perintah dari kepala sekolah," lanjutnya memegang bahu cowok itu, berniat menenangkannya.

"Kamu suka sama Meysa?" Pertanyaan itu membuat Aslan mendongak.

"Gak!"

"Ibu bisa baca dari raut wajah kamu. Kenapa gak kamu aja yang minta buat pindah sekelas lagi sama Meysa?"

Ide yang cukup bagus.

"Selain pintar matematika, Ibu juga pintar masalah percintaan," ucapnya berterima kasih.

"Saya janji, gak bakal bolos lagi saat jam pelajaran Ibu," sambungnya.

"Giliran masalah kayak gini aja baru baik-baik sama Ibu," balasnya menyindir.

Keduanya masuk kembali ke dalam kelas, wajah Aslan sudah berubah dratis berbeda dengan yang dia tampilkan saat keluar tadi.

"Lan, ngapain Lo ajak Bu Rena keluar?"

"Jangan-jangan, dia habis nembak Bu Rena, terus diterima makanya seneng," sahut Tama mengada-ada.

"Ngawur aja, Lo!" kesal Edo.

"Bukan, ini lebih dari itu," jawab Aslan.

"Lo ajak Bu Rena nikah?" tebak Edo lebih parah lagi.

"Gue masih waras kali, banyak cewek cantik di dunia ini, kenapa harus pilih Bu Rena?" tanya Aslan kembali.

"Parah emang nih anak, takut gue." Kedua temannya kembali menghadap ke depan.

"Kebanyakan duduk sendirian di pojokan, jadi udah bestie sama penunggunya," bisik Tama.

Masih terdengar dari bangku belakang.

"Gue tahu kalau dibicarain, jangan sampai gue suruh teman halus gue buat jahil ke kalian," sahut Aslan menakuti.

Meski sebenarnya dia sama sekali tak pernah melihat penampakan selama duduk di belakang.

Jam istirahat.

Kembali lagi, seperti awal Meysa datang dulu, Aslan dan beberapa temannya menghadang anak-anak yang hendak pergi ke kantin, meminta sebagian uang saku mereka.

Meysa kini pergi sendiri, karena Bima harus ke ruang guru, mendapat panggilan dari kepala sekolah. Saat melewati mereka, tak ada satupun yang berani meminta uang kepadanya. Semua diam, pura-pura menghitung uang hasil mereka, yang lain seolah sedang bicara serius.

"Aslan ke mana sih, gak kelihatan dari tadi," gumamnya dalam hati.

"Eh, Meysa, cari Aslan?" Hanya Edo seorang yang baru datang dengan lima buah es di tangannya.

"Enggak, cuma lewat. Kalian kenapa gak palak gue?"

"Kita lagi baik hati aja, ya gak? Udah cepetan pergi sebelum kita berubah pikiran," jawab Edo.

"Aneh."

Beberapa langkah berjalan, dia menemukan seorang cowok yang dia cari kini. Membawa banyak makanan, mungkin untuk teman-temannya.

"Lo gak dipalak sama mereka, 'kan?" tanyanya menghentikan langkah Meysa.

"Jadi, Lo yang minta?"

"Lo bilang gak bakalan lagi lakukan hal kayak gini, kenapa diulangi? Kasihan murid lain, emang uang jajan Lo kurang? Sini gue kasih," jawabnya kesal.

"Kita cuma cari kesenangan, gabut di dalam kelas," jawabnya.

"Gabut Lo merugikan orang lain!"

"Marah lagi ...," sahutnya menatap kepergian Meysa.

Di kantin itu, makanan yang dia pesan tak juga disentuh. Padahal pagi tadi, dia tidak sarapan sama sekali.

"Sakit banget," keluhnya memegangi perut.

"Nih, kasih ke perut kamu, siapa tahu reda." Bima datang dengan minyak angin yang dia bawa.

"Udah selesai dipanggil kepala sekolahnya?"

"Udah, kamu makan dulu bicaranya nanti aja. Sini aku suapi," jawab Bima.

Hal itu, biasa mereka lakukan, bahkan Meysa terkadang merindukannya.

"Udah mendingan?" tanyanya setelah beberapa suap dimakan Meysa.

"Hem, ayo cerita kamy disuruh apa?"

"Biasa, ikut olimpiade dan kabar bahagianya kamu juga ikut, sama Aslan juga," jawabnya.

"Hah? Aslan? Gak salah?" Setahunya, cowok itu bandel dan tidak terlalu pintar. Meysa rasa ada sedikit kesalahan di sini.

Bersambung ....