webnovel

Pahlawan Kesiangan

Lagi-lagi Bima harus menunggu dengan penuh rasa bosan di atas motornya. Meysa tak kunjung muncul, padahal sejak tadi Aslan sudah melintas keluar dari sekolahan itu.

"Jangan-jangan dia tertidur lagi, tapi masa iya," gumamnya.

"Woy!"

"Astaga, Meysa! Bikin kaget aja, dari mana aja sih, Lo? Itu Aslan bicara apa tadi?"

"Kepo banget jadi orang, ayo pulang, gue gak sabar mau kasih tunjuk ke mama tentang seleksi hari ini," ajaknya.

"Lo seneng, gue yang sengsara. Harapan mama hancur gegara gak lolos hari ini," sesalnya.

"Lo udah berusaha dengan keras, dan gue akui itu. Tapi, keberuntungan sedang berpihak kepada Aslan, kelihatannya," jawab Meysa bukannya menenangkan malah membuat Bima semakin kesal.

Berhubung keadaan hatinya sedang bahagia, Meysa mengendarai motor Bima dengan kecepatan normal.

"Kayak gini dari tadi 'kan enak, gak perlu gue bolak-balik kamar mandi," cetus Bima.

"Udah deh, Lo diam aja. Menurut Lo mama gue bakalan kasih hadiah apa ya, atas keberhasilan ini?"

"Gak bakalan dikasih sih, soalnya baru juga seleksi belum lombanya," jawabnya.

"Enak aja, kita lihat aja nanti, mama pasti kasih sesuatu." Meysa yakin akan hal itu, karena mamanya sendiri yang menjadi saksi ketekunannya dalam belajar semalaman.

"Lo gak langsung pulang?" Kesannya cewek itu menginginkan Bima segera menyingkir dari hadapannya.

"Gue mau di sini, emang gak boleh?"

"Terserah!"

"Jutek banget jadi orang, pasti lagi palang merah," tebak Bima.

"Itu Lo, tahu, udahlah ayo masuk gue tinggal nih!"

Meysa berteriak memanggil-manggil mamanya, karena tak kunjung mendapatkan jawaban sejak pertama kali memasuki rumah.

"Mey, bisa diam gak? Berisik banget sih, mungkin mama kamu gak ada di rumah," kesal Bima yang sudah duduk dengan sempurna di ruang tamu.

"Ya udah, gue ganti baju dulu, Lo minum aja apa adanya."

Hanya air putih yang tersedia di atas meja.

"Udah biasa gue dicampakkan setiap ke sini, dan tentunya gue bakalan ambil cemilan sendiri ke dapur!"

Meysa tak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Dia sudah hafal betul kelakuan sahabatnya. Cowok itu bertemu dengan mama Meysa, yang rupanya ada di dalam kamar mandi.

"Tante, bikin kaget aja," ucapnya.

"Gimana hasil seleksi tadi, kalian lolos, 'kan?"

"Boro-boro lolos, kecewa banget Bima. Padahal udah belajar sampai tengah malam, ujung-ujungnya juga gagal." Cowok itu terlihat sangat putus asa.

"Kamu yang sabar Bima, memang belum rejeki mungkin, kalau Meysa gimana?"

"Dia lolos, sama Aslan. Cowok nakal itu, harusnya Bima bisa lebih pintar dari dia, pasti cowok itu bayar kepala sekolah biar dikasih nilai tinggi," tuduhnya.

"Lo itu buruk sangka terus kerjaannya. Jangan percaya Ma, sama omongan Bima, suka ngarang anaknya," sahut Meysa.

"Terus gimana ceritanya orang kita aja tahu kalau dia gak belajar?"

"Mungkin emang lagi beruntung aja, benar yang Meysa katakan gak baik seperti itu. Karena anak kesayangan Mama udah berhasil lolos, hari ini kita bakalan bikin kue spesial buat rayakan ini," ucapnya.

Meysa sangat merindukan kue buatan mamanya, sudah lama dia tak mencicipi itu, sejak usaha kue milik mamanya bangkrut dulu. Semua itu sudah masa kalau, dan Meysa sudah mencoba untuk melupakannya.

Mamanya mengambilkan baju memasak untuk dia anak itu. Hampir dua jam ketiganya berada di dalam dapur. Kue strawberry buatan mereka jadi juga akhirnya.

Mamanya membagi menjadi beberapa potong untuk mereka makan.

"Ini enak banget loh Tante, kenapa gak buka usaha aja?"

"Tante masih trauma banget, takut hal seperti dulu terulang lagi," jawabnya.

"Meysa kayaknya bisa bantu pulihkan rasa traumanya Mama. Kita nggak usah terima pesanan dalam jumlah banyak dulu hanya beberapa saja mungkin dengan cara itu perlahan Mama akan sembuh," jelas Meysa.

"Mama belum bisa ambil keputusan," jawabnya.

Meysa paham, ketika semua selesai Bima langsung saja pamit. Hari ini dan dua hari ke depan papanya tidak ada di rumah, Aslan mengetahui informasi ini dari tetangga Meysa.

"Kesempatan buat gue dekati mamanya Meysa. Tapi, gimana caranya gue kasih kesan baik ke dia."

Saat memarkirkan motornya di depan rumah Meysa, sembari memandangi cewek itu yang tengah melukis di depan sana, terselip sebuah ide di benak Aslan, begitu melihat mama Meysa keluar dari dalam rumah.

"Gue bisa pura-pura jadi pahlawan kesiangan. Tinggal gue suruh aja anak buah buat menghadang mamanya Meysa! Aslan emang paling pinter kalau masalah kayak gini!"

Cowok itu segera menghubungi Edo dan temannya yang lain.

"Gue punya tugas buat kalian!"

"Apa, Bos?"

Aslan sedikit berbisik.

"Kalau cuma masalah kayak gitu, gampang! Kita juga bisa lakukan dengan penuh totalitas, ya gak?"

"Yoii."

Aslan sangat tahu, teman-temannya itu suka sekali dengan drama. Ini kesempatan bagi mereka untuk menunjukkan bakat bukan?

"Mey, Mama pergi ke pasar sore dulu ya, barang-barang udah pada habis, takutnya besok ada acara kalau gak belanja sekarang," pamitnya.

"Meysa antar, ya?"

"Gak usah, kamu harus fokus belajar perlombaan itu sebentar lagi, Mama pengen banget kamu bisa menang," jawabnya.

"Meysa akan berusaha lebih keras lagi, Mama tenang aja. Hati-hati di jalan, kalau ada apa-apa langsung telepon Meysa, ya!"

Di pertigaan depan.

Mama Meysa terlihat bingung menunggu angkot lewat. Tak ada tumpangan yang bisa membawanya kini.

Beberapa anak geng motor datang, menghentikan motor mereka tepat mengepung wanita paruh baya itu.

"Kalian siapa, dan mau apa?"

"Serahkan dompet Ibu sekarang, karena kami ingin mencopet," pinta Edo.

"Heh! Lo jadi copet jangan kayak gitu, yang ada korban gak ada takutnya sama sekali," bisik Tama.

"Terus gue harus kayak gimana?"

"Nih, gue tunjukkan!"

Tama mengambil paksa dompet itu, mama Meysa sekuat tenaga berteriak meminta tolong. Pemuda dengan motor miliknya datang melingkari di sekitar area mama Meysa, seperti membuat benteng perlindungan.

"Jangan beraninya kalian ganggu orang tua!"

"Siapa Lo, mau jadi pahlawan? Serang!!"

Aslan tak menghajar anak buahnya dengan benar, yang ada setelah sandiwara ini selesai dia mendapatkan banyak protes dari mereka.

Cowok itu memberikan kode agar mereka segera pergi.

"Ibu tidak apa-apa?"

"Saya baik-baik saja, terima kasih banyak karena kamu sudah menolong ...." Begitu mendongak mama Meysa terkejut, melihat Aslan yang ada di hadapannya kini.

"Kamu bukannya teman anak saya?"

"Iya Bu, saya Aslan yang waktu itu datang ke rumah Meysa, ya meski ujung-ujungnya diusir sama suaminya Ibu," jawabnya mengungkit kembali masalah tempo hari.

"Iya, saya masih ingat. Maafkan perlakuan suami saya mungkin dia tidak tahu kalau kamu ini sebenarnya anak baik," jawab mama Meysa.

"Yes! Akhirnya nyokap Meysa mulai percaya sama gue!!"

Teriakan keberhasilan itu hanya di batin oleh Aslan, tanpa berani langsung berucap.

Bersambung ....