"Jadi, kita berangkat sekarang?"
Aslan justru kembali duduk.
"Gue males, Mey," jawabnya.
"Percuma gue datang jauh-jauh ke sini kalau gitu," kesalnya hendak pergi.
"Eh! Gue cuma bercanda kok, ayo kita langsung ke sekolahan. Gue udah siapkan semuanya di dalam tas ini."
Meysa tak menyangka jika Aslan sudah menyiapkan semua ini. Ternyata, cowok itu hanya memancing agar dirinya datang membujuk, dan semuanya kini telah Meysa penuhi.
"Astaga, waktunya kurang tiga menit lagi!"
"Waktu apa?"
"Panjang ceritanya, Lo, bawa motor, 'kan?"
"Enggak sih, gue numpang sama Edo tadi ke sini," jawabnya.
"Terus gimana cara kita sampai sana tepat waktu?"
"Hey!!" panggil Edo dengan dua buah kunci motor di tangannya, mereka bersedia untuk mengantarkan sampai ke tempat tujuan.
Tak peduli, berapa banyak pengendara yang protes karena ulah mereka di jalanan.
"Do, agak pelan Lo bawa Meysa!" teriak Aslan yang berada di boncengan Tama.
"Santai aja kali, gak bakalan lecet juga. Tuan putri Lo, aman sama gue," jawabnya.
"Awas kalau sampai kenapa-kenapa!" ancamnya.
Cowok itu melotot, begitu melihat Edo melompatkan motornya melewati balok kayu yang menghadang di tengah jalan. Seketika itu, Aslan tak bisa berdiam diri.
"Ngebut! Udah jangan banyak tanya, cepetan!" perintahnya pada Tama.
"Kejar motornya Edo, Lo harus bisa hentikan dia, bisa nyetir gak, sih?" Puas Tama menjadi sasaran amarah Aslan.
"Sabar dong, Lan. Ada mobil di depan, Lo mau kita berdua mati bareng?"
"Berhenti di tepi bentar, biar gue yang nyetir." Kemudi diambil alih oleh cowok itu. Tama hanya bisa memejamkan mata, ketika mereka berkendara dalam kecepatan penuh. Ibarat diterpa angin kencang, Tama merasakan nyawanya melayang entah sampai mana.
"Gue belum sempat minta maaf sama mama," ucapnya.
"Hah? Lo bicara apa tadi? Gue gak denger soalnya coba ulangi," pinta Aslan.
"Siapa juga yang ajak bicara, Lo."
Motornya menyalip Edo, menghentikan cowok itu secara tiba-tiba. Edo menginjak rem serentak, Meysa sampai memeluknya erat yang membuat hati Aslan semakin panas bagai disiram oleh air yang baru saja mendidih.
"Lan! Lo hampir bikin kita berdua celaka!"
"Biar gue aja yang bonceng Meysa, Lo sama Tama."
"Dalam situasi kayak gini, masih sempat-sempatnya cemburu heran banget," sindir Edo.
Jika tidak ada Meysa, mulut cowok itu mungkin sudah ditonjok oleh Aslan.
"Bagaimana ini Bu, tinggal satu menit dan mereka belum kembali, apa kita batalkan saja dan lebih memilih mundur dari kompetisi?"
"Tidak Pak, jangan lakukan itu, usaha kita sudah jauh sampai di sini," cegahnya.
"Ke mana mereka berdua, kalau sampai mengecewakan saya jamin kamu akan dihukum setiap hari Aslan!" kesal Bu Rena.
Tak lama dua motor muncul menerobos gerbang sekolah. Tanpa sadar, Aldo sejak tadi mengamati semua yang terjadi di lapangan tersebut. Cowok itu belum bisa pulang karena masih menunggu beberapa pekerjaan terselesaikan.
"Meysa, cepat sekali kalian berdua akur," gumamnya.
"Makasih ya, kalau gak ada kalian, gak tahu lagi gimana nasib kita," ucap Meysa.
"Iya, beruntung sahabat gue baik-baik semua."
"Iya deh, kalian di sana senang-senang, habiskan waktu berdua. Dijamin gak ada yang ganggu, kita tunggu kabar baiknya di sini," jawab Edo.
"Satu lagi, oleh-oleh jangan lupa." Tama mengangkat satu tangannya.
"Lo, apaan sih! Mereka mau lomba bukan jalan-jalan, aneh bener," kesal Edo.
"Biarin, tetep bisa jalan pastinya, bos kita 'kan pintar memanfaatkan sesuatu." Ketika merasa keduanya sudah menjadi bahan tertawaan, mereka lebih memilih segera berangkat.
Meski pada akhirnya, Aslan mendapat jeweran dari guru BK karena ulahnya ini.
"Sakit, Bu, kabur lagi nih, saya," ancamnya.
"Oh, mau gak naik kelas?"
"Salah besar nih, gue nantangin Bu Rena," gumamnya.
"Udah jangan banyak ngoceh, cepat masuk mobil." Nada bicara kepala sekolah sudah tak enak didengarnya, siapa yang tidak kesal menunggu hampir satu jam hanya untuk manusia macam Aslan ini.
"Eh, siapa yang suruh kalian satu bangku?"
"Iya nih, heran. Demen banget dekat-dekat terus sama Meysa, cowok sebelah sini sama saya," cetus kepala sekolah.
"Gak asik banget sih, Pak, masa selama perjalanan harus lihat muka Bapak? Gak ada ganteng-gantengnya sama sekali."
"Berani kamu sama saya?"
"Eh, enggak, astaga dijebak ini namanya."
Meysa hanya tertawa melihat betapa tersiksanya Aslan dalam mobil itu. Perjalanan sangat jauh, mereka bisa sampai tempat tujuan malam nanti. Cowok itu menunggu waktu yang tepat, sampai kepala sekolahnya tertidur.
"Bosen banget, mending aku baca buku." Meysa memandang keluar jendela, sembari membuka buku yang dia pinjam dari perpustakaan pagi tadi.
Minuman yang dipegangnya pun, diletakkan kembali di depannya bersama dengan kacamata yang dilepas beberapa menit lalu.
"Husstt!!" Suara panggilan yang samar-samar, tak mampu membuat pandangan Meysa teralih dari bukunya.
"Meysa!!"
"Aslan! Jangan berisik!"
"Eh, Bu Rena kenapa gak tidur?"
"Mending kamu belajar kayak Meysa, daripada melakukan hal gak berguna kayak gitu," suruhnya.
"Aduhhh!! Bu, lihat kepala sekolah muntah, saya gak bisa urusi, cepetan ke sini," pinta Aslan.
Memanfaatkan kesempatan di segala situasi, itu keahlian Aslan.
"Tinggal pijat bagian leher saja, terus bantu buang kotorannya itu ada kantong plastik di tasnya. Gak biasanya kepala sekolah kayak gini," gumamnya.
"Gak bisa, saya gak tahan baunya." Karena jarak tempat duduknya lumayan jauh, Bu Rena tidak bisa melihat yang terjadi sebenarnya di depan sana.
"Merepotkan memang Aslan ini, bisa kamu apa sih? Cepat ke sini," kesalnya.
"Akhirnya bisa duduk di samping bidadari juga."
"Aslann!!!" teriaknya begitu tahu, ini adalah manipulasi yang sengaja dibuat oleh cowok itu.
"Kamu benar-benar, ya!!!"
"Jangan terlalu keras Bu, nanti kalau kepala sekolah bangun, bisa kena marah loh, udah nikmati saja. Kapan lagi coba sebangku sama atasan," sindir Aslan.
"Lo, beneran nekat, gak punya rasa takut," tegur Meysa.
"Selama buat Lo, kenapa enggak?"
"Lagi baca apa sih, sampai gue dicuekin kayak gini?"
"Materi buat latihan besok. Mau gue bacain?"
"Gak seh, makasih. Lebih baik gue tidur aja." Kepalanya sudah bersandar nyaman di atas bahu cewek itu.
"Gue pegel Lan, minggir ah," kesalnya.
"Biarin kayak gini, gue terlanjur nyaman." Tangannya melingkar di pinggang Meysa, bukannya risih, tapi ini sungguh di luar rasa yang dibayangkan. Baru kali ini, detak jantungnya sulit untuk dikontrol.
"Nanti kalau Bu Rena lihat gimana?"
"Gak bakal."
Bawannya Meysa pun ikut hanyut dalam kehangatan tersebut, buku yang dibaca perlahan tertutup seiring dengan kelopak mata yang terpejam. Keduanya begitu pulas tertidur.
Sssttt!!
Sopir itu membuat semua penumpangnya hampir terbentur. Di depan sana, terjadi kecelakaan hebat, hingga beberapa turun untuk melihat.
"Tetap tenang, biar saya sama kepala sekolah yang keluar," ucap Bu Rena.
Meysa pun sudah bangun, melihat mobil korban persis dengan milik papanya.
Bersambung ....