"Kamu yakin tidak ikut ke kota?" tanya Tristan yang menghentikan motor di depan sebuah kafe dengan tema merah muda.
"Tidak. Aku harus menyelesaikan tulisanku yang sudah lama tertunda," jawab sang adik perempuan seraya melepas dan menyerahkan helm.
"Janji dengan Jine?"
Tasya menggeleng. "Dia kuliah."
"Ah bocah. Aku selalu merasa aneh saat mendengar kamu menyebut kalau dia adalah mahasiswa. Bukankah kalian seperti tante dan keponakan?"
Plak!
Pukulan tangan tasya mendarat di bahu lebar kakak laki-lakinya itu. "Ssssttt jangan bawel. Kakak tidak perlu ikut memikirkan tentang kami, oke? Lagipula, hubungan kami tidak akan mengganggu kehidupan kakak." Tatapan Tasya tajam pada pria gondrong yang mengerutkan dahinya itu.
"Emm baiklah. Segera selesaikan naskah dan kepura-puraanmu dengan bocah itu lalu berikan aku uang yang banyak." Tristan kembali membenarkan posisi untuk mengendarai motor. "Bawa helmnya, nanti kujemput."
"Oke. Hati-hati!" Tasya melambaikan tangan kanannya.
Segera saja dia memasuki kafe dan meletakkan helmnya pada tempat khusus penitipan yang disediakan oleh pihak kafe.
Masih suasana pagi, namun tempat itu cukup ramai dikunjungi oleh orang-orang yang berpakaian rapi dan adapula yang mengenakan seragam dari tempat mereka bekerja.
"Selamat pagi, Kak Tasya. Tumben jam segini, biasanya pas jam makan siang," sapa Ratna, seorang karyawan kafe yang juga merupakan tetangga Tasya. Rumah mereka saling berdekatan namun jarang bertemu karena kesibukan masing-masing.
"Hai, Ratna. Aku sedang membutuhkan lebih banyak waktu untuk bersantai," jawab Tasya dengan senyum tipisnya. Dia lalu memberitahu Ratna kalau dia menitipkan helm seperti biasa.
"Ah tempat kakak yang biasa sedang ditempati oleh pengunjung. Kakak ke meja lain tidak apa-apa? Atau aku perlu meminta mereka untuk pindah?" ujar Ratna lagi yang langsung membuatkan smootie untuk Tasya.
Tasya hanya menoleh sebentar untuk melihat pada kursi tempat ia biasa duduk, disana ada sepasang pelanggan yang sama-sama mengenakan setelan jas rapi sedang berbincang menghadap ke jalanan. Hanya nampak bagian belakang dari keduanya keduanya, tidak begitu dipikir panjang oleh Tasya.
"Aku di belakang saja. Sekalian menikmati angin," ujarnya. "Emm sekalian pesan roti bakar saus kacang ya."
"Baik, Kak. Rotinya akan kami antarkan nanti ya … totalnya dua puluh lima ribu rupiah."
"Eh diskon?" Tasya cukup terkejut mendengar nominalnya.
"Iya, ada harga special untuk smootie apel khusus hari ini, Kak."
"Oke. Kuharap akan selalu ada harga special untuk kedepannya, hehe." Perempuan berambut kemerahan itu segera membayar dan pergi menuju kursi di bagian luar kafe.
Suasana taman yang dipenuhi oleh berbagai macam bunga juga ada sebuah kolam kecil menjadi pemandangan yang akan dinimkati oleh Tasya selama dia menyelesaikan naskahnya.
Hanya ditemani suara angin, dia bersiap untuk mengikat rambutnya yang hanya sebahu lalu mengenakan kacamata untuk melindungi kedua netranya dari radiasi layar laptop.
Ada beberapa hal yang harus dia bereskan segera, diantaranya memperbaiki tulisan karyanya yang berjudul Past Life karena masih banyaknya kesalahan ketik serta penggunaan kata tidak baku. Dia sempat mendapat surel dari salah satu rumah produksi yang sedikit membahas tentang karya tulisnya itu, namun belum ada kepastian arah pembicaraan itu. Hanya saja, Tasya mulai memperbaiki dan kembali berpromosi untuk kembali menarik pembaca agar performa karyanya maksimal.
Setelah beberapa menit fokus dengan aktivitasnya, seorang pelayan kafe menghampiri untuk mengantarkan roti bakar. Diapun mulai memakan potongan roti manis yang akan meningkatkan konsentrasinya itu.
Kling kling kling.
Ponselnya bordering, namun Tasya tidak ingin menyentuhnya. Itu adalah sebuah panggilan dari editornya yang terus menagih progress dari novel romansa yang sebelumnya telah ia sanggupi untuk digarap.
Bertema tentang hubungan dua insan dengan perbedaan usia yang signifikan, terhalang restu oleh kedua pihak keluarga dengan alur yang menguras air mata dan 'seksi'.
Tasya hanya melirik ponselnya, membiarkan panggilan itu berakhir begitu saja.
Kling kling kling.
Huft!
Tasya menarik napas panjang. Namun ternyata kali ini bukan sang editor melainkan si 'tokoh utama'. Berpikir sedetik, lalu dia menjawab panggilan itu.
"Iya?" ucapnya singkat.
"Halo, Sayang. Sedang apa?" terdengar suara seorang lelaki muda dari seberang telepon.
"Tidak ada yang spesial, hanya mengetik seperti biasa. Kamu tidak kuliah?" tanya Tasya.
"Perkuliahannya berakhir lima detik lalu. Argh tubuhku menjadi sangat lemah karena mengonsumsi banyak pasal KUHP sebelum mengonsumsi nasi," keluh Jine. "Aku merindukanmu, apa kamu senggang?"
"Tidak."
"Ehh?"
"Datanglah ke rumah nanti, aku akan memasak makan malam untukmu," ujar Tasya.
"Benarkah? Apa kita hanya akan makan berdua?"
"Emm …."
"Kak Tristan sedang pergi?"
"Dia mendapat panggilan … ah maksudku, dia pergi untuk menemui seorang teman di kota."
"Ingin menemuiku? Haha apakah kami sudah berteman?" terdengar tawa garing Jine. "Ehmm baiklah. Aku akan ke rumahmu segera. Bye."
Tasya tertawa samar. Dia merasa lucu dengan sikap lelaki muda yang kini berstatus sebagai kekasihnya itu. Sikapnya yang ceria dan sangat bersemangat membuat Tasya sangat tertarik dengan sosoknya.
Masih sangat muda, dia juga kaya, cocok sekali dengan tokoh yang akan dia jadikan tokoh utama dalam novel terbarunya.
Sebuah pesan dari editornya ia buka, kalimat panjang yang jelas itu adalah amarah namun dikemas dengan bahasa yang ramah.
"Garini Anastasya, bisakah kamu memberiku kepastian mengenai kontrak novel ini? Kamu mengatakan iya namun belum ada progress sama sekali, aku sungguh menunggunya. Aku tahu kamu menghindariku, tapi aku juga tahu kalau kamu sedang sangat menginginkan kesempatan emas ini."
"Apa yang harus kulakukan?" gumam Tasya. "Mengundang makan malam dan memasak untuknya, apakah itu hal yang akan dilakukan pasangan kekasih? Apa aku terlalu bersikap tua untuk hal ini?" pikirannya mulai bercabang.
Dia mencoba untuk membuka peramban dan mulai melakukan pencarian tentang 'Hal-hal yang dilakukan oleh pasangan muda'.
Seketika dia mengerutkan dahi, diapun nyaris batal untuk menyuap roti bakarnya saat melihat beberapa foto pasangan yang saling memadu kasih, berpelukan juga hal lain.
Kling!
Sebuah pesan masuk, dari editor May.
"Kamu masih proses riset? Kusarankan kamu masukkan banyak adegan romantis kekinian dan perbanyak kontak fisik. Kurasa itulah yang sedang digemari oleh pembaca saat ini."
"Sial!" umpat Tasya.
Dia mulai merasa takut karena editor May rupanya memiliki kemampuan untuk menerawang pikiran orang dari jarak jauh.
Dia mulai menonton cuplikan drama romantis yang sedang popular, banyak adegan yang membuatnya merinding. Terlebih saat ia melihat bagian adegan di ranjang, segera saja dia mengerutkan dahi dan mendengkus kasar.
"Argh jantungku."
Nyeri dengan detakan yang tdak menentu, membuat Tasya merasa sangat tidak nyaman dengan semua yang ia tonton.
"Argh sialan! Aku merinding sekali membayangkan beradegan seperti itu dengan Jine." Tasya menggidik berkali-kali. Kepalanya juga mendadak pening, sungguh bukan pikiran yang sehat untuknya.
Seketika dia teringat dengan kalimat Tristan tadi pagi. "Berapa juta kontrak yang mereka tawarkan untuk membeli rasa 'takut'mu itu?"
Bersambung.