webnovel

NENEK PULANG

Untuk pertama kalinya Faisal masuk ke kamar Rania semalam ini, dengan bunyi hujan yang masih terus mengguyur begitu deras ke bumi. Dia keluar dari kamar mandi setelah selesai, bahkan dia juga sudah mengganti pakaiannya dengan piyama tidur yang biasa dia pakai.

Gadis itu tampak sedang duduk di depan cermin, asik menyisir rambut sambil memandangi pantulan diri di cermin. Faisal mendadak bersin saat lewat di belakangnya, sampai Rania menoleh cepat.

"Pak Faisal sakit? Mau aku buatkan air jahe?" tawar Rania.

Faisal segera menggeleng. "Tidak perlu, saya mau langsung tidur."

"Tapi tadi Pak Faisal kehujanan, pasti kedinginan kan, apa tidak demam?"

Masih tidak menjawab, dia hanya bersin-bersin sampai hidungnya memerah. Rania tidak yakin dengan jawaban Faisal, dia pun berdiri dari duduknya dan menempelkan tangan di dahi lelaki itu meski harus sedikit berjinjit.

Faisal menepisnya cepat, dia tidak suka kalau Rania gegabah memegang dahinya tanpa ijin. Itu dianggap tidak sopan dan dia tidak bisa menerimanya. Tanpa peduli rasa tak senang Faisal, Rania langsung menurunkan tangannya.

"Bapak panas sekali, pasti karena kehujanan tadi. Aku buatkan air jahe ya?"

"Saya bilang tidak—"

"Ssst.! Sudah, ayo kita ke dapur. Biar saya buatkan air jahe hangat untuk Bapak," sela Rania menempelkan jari telunjuknya di bibir Faisal.

Mata lelaki itu langsung melotot, dia tidak percaya kalau Rania bisa seberani itu menempelkan jari telunjuk mungil di bibirnya tanpa ijin. Tapi tidak sempat protes, dia sudah kembali bersin. Rania menarik tangannya untuk bergegas menuju dapur.

Benar-benar tidak ada siapapun yang terjaga malam itu, sudah hampir tengah malam dan Alma juga sudah tidur nyenyak di kamarnya. Faisal duduk di depan pantry, sementara Rania menyiapkan jahe untuk di rebus.

"Seharusnya tadi Bapak langsung buka baju saat sampai di mobil, memakai baju yang basah bisa membuat tubuh lebih kedinginan. Makanya sekarang jadi tidak enak badan seperti ini," tutur Rania sambil meracik air jahe.

Mendadak dia melihat sisi lain dari Rania, sosok yang biasanya pendiam dan tidak banyak bicara ini mendadak jadi lebih sering mengomelinya. Terlebih lagi perhatian darinya yang sudah hampir menyamai Alma.

Namun, Faisal sama sekali tidak merasa tertarik dengan perhatian itu. Dia hanya diam sambil membuang muka dan menunggu air jahe-nya disiapkan. Segelas air jahe hangat tersaji di depan Faisal, dia tidak pernah minum ini sebelumnya.

Mencium baunya saja tidak enak, apa lagi rasanya. Faisal langsung menolak. "Ini bahkan lebih bau dari pada air selokan!"

"Ih, tapi ini bagus untuk kesehatan, Pak. Minumlah sedikit demi sedikit, ini bisa menghangatkan tubuh."

"Kamu nyuruh saya?"

"Bukan nyuruh, lebih tempatnya menyarankan. Ayo minum, aku sudah membuatnya susah payah, masa tidak diminum."

"Tidak ada yang menyuruhmu membuatnya," ketus Faisal.

Meskipun begitu, tapi dia juga tahu seberapa besar khasiat jahe untuk kesehatan. Dengan ogah-ogahan, Faisal meminumnya sedikit. Tidak langsung habis, tapi pada akhirnya dia meminum itu sampai habis dan menerima hadiah senyuman manis dari Rania.

Dan terbukti, badan Faisal merasa jauh lebih baik saat keesokan harinya. Alma sempat merasakan hawa panas pada desah napas Faisal, tapi lelaki itu mengaku sudah lebih membaik setelah minum air jahe dari Rania semalam.

"Jadi, kalian sudah semakin dekat?" tanya Alma sedikit senang.

"Tidak."

Mengulum senyum, Alma pun mengalungkan dasi di leher suaminya. "Teruslah berusaha, buat Rania yakin dan dapatkan anak darinya."

"Aku tidak yakin bisa melakukan itu, sayang."

"Kamu pasti bisa, Mas. Demi aku, demi anak kita."

Mungkin itu terdengar mudah untuk Alma, tapi bagi Faisal, itu adalah hal yang sangat sulit. Dan hari ini dia juga harus berakting sebagai suami idaman di depan nenek Rania saat mereka berdua menjemputnya di rumah sakit.

Rania menemani neneknya di ruang tunggu, sementara Faisal menebus obat di apotek rumah sakit. Berulang kali Faisal melihat ke belakang, melihat bagaimana senyum Rania tampak begitu lebar saat mengobrol bersama neneknya.

Dia begitu bahagia, sampai lupa kalau di sekelilingnya banyak orang yang memperhatikannya. "Apa kamu akan terus tersenyum sepanjang jalan?" tanya Faisal pada Rania yang duduk di jok belakang mobil, berdampingan dengan nenek Dasimah.

"Aku bahagia, makanya tersenyum. Hari ini nenek pulang!"

Tanpa sadar, Faisal juga menarik ujung bibirnya untuk tersenyum. Sederhana sekali kebahagiaan gadis ini, melihat neneknya pulang saja sudah membuatnya tersenyum seharian. Dia begitu perhatian, bahkan dia tidak pernah meninggalkan neneknya sendirian di kamar sejak pulang ke rumah.

Nenek akan tidur bersama Rania, di kamar lantai bawah. Nenek sudah tua, tidak akan sanggup menaiki tangga setiap hari. Sarah datang ke kamar, melihat nenek yang sudah beristirahat.

"Siapa yang membuat ini?" tanya Sarah pada Rania.

"Nenek yang membuat itu, Bu. Selama di rumah sakit, nenek selalu merajut, aku juga bisa, tapi tidak sejago nenek."

"Ini cantik sekali, Rania. Ibu tidak pernah melihat syal rajut sebagus ini."

Rania hanya tersenyum. Syal itu belum selesai di rajut, tapi dia punya syal yang sudah selesai di rajut, tersimpan rapi dalam lemari. Warnanya putih, dia sendiri yang merajut itu saat pertama kali diajarkan oleh sang nenek.

Sudah lama dia tidak merajut karena terlalu sibuk bekerja dan mengurus neneknya, tapi nenek masih terus merajut di sela-sela kesehariannya sampai menciptakan beberapa syal.

"Ibu, suka? Kalau begitu ambil saja, nenek masih punya tiga di lemari. Aku yakin nenek tidak akan marah."

"Ah, kamu baik sekali!"

Sarah tampak senang, dan semua yang mereka lakukan tak luput dari pengelihatan Faisal yang berdiri tak jauh dari pintu kamar yang senantiasa terbuka. Faisal pergi meninggalkan kamar, bersama ibunya yang masih ingin melihat koleksi rajutan Rania.

Alma memberitahunya kalau mereka mendapat undangan ke sebuah acara jamuan makan malam untuk acara anniversary pernikahan mereka yang ke-7. Acaranya akan di gelar di hotel sekitar satu minggu lagi.

"Tentu, kita akan datang," balas Faisal melihat undangan mewah di tangan Alma.

Wanita berambut pendek itu menoleh. "Ajak Rania, ya?"

"Rania?" Alma mengangguk. "Aku mau, kamu mengakui Rania sebagai istri." Ujar Alma lagi.

"Alma, yang benar saja?"

"Aku serius, Mas. Rania tidak akan bebas kalau kamu terus-terusan menyembunyikannya. Dia juga butuh pengakuan, katakanlah kamu punya dua istri. Dia harus mendapat hak yang sama sepertiku, bukankah poligami itu harus adil?"

Faisal merengek, dia menolak keras keinginan Alma yang satu ini. Tidak, itu bukan hanya akan merusak reputasinya, tapi juga keluarga besar Malik yang dianggap paling setia dalam menjalin hubungan.

Apa kata orang-orang nanti setelah tahu Faisal menikah lagi? Mereka pasti akan mengecap dirinya sebagai suami yang tak tahu diri, sampai harus memiliki dua istri untuk kepuasan pribadi. Ia tidak mau!

"Mas, ayolah!" bujuk Alma.

"Sayang, jangan seperti ini." Faisal mengacak rambut dengan frustasi. "Aku ... ah, aku tidak bisa."

"Bisa, kamu pasti bisa." Alma mengalungkan tangannya di leher Faisal, menatap lekat kedua mata sipit lelaki itu sambil tersenyum.

Decakan kesal Faisal memberi arti jawaban iya untuk keinginanya, sebuah kecupan menjadi hadiah untuk lelaki itu. Tapi Faisal masih kesal, sampai Alma berbisik.

"Tiduri aku malam ini," katanya.

Faisal menoleh dengan sedikit tertunduk, dia pun langsung menggendong Alma dengan kedua kaki yang melingkar di pinggangnya. Berjalan dengan posisi masih menggendong, mereka pun bergegas masuk ke kamar dengan tautan bibir yang tak di lepas.