webnovel

HADIAH ULANG TAHUN

Banyak hadiah yang Rania terima di hari ulang tahunnya, baik dari Alma, nenek, bahkan mertuanya juga memberinya kado. Baik sekali, ya mereka? Kali ini Rania benar-benar merasa di sayang, keluarganya begitu perhatian sampai memberinya kado sebanyak ini.

Alma memberi kado tas mewah, mertuanya memberi kado gaun, sementara neneknya memberi kado cardigan rajut warna cream. Hanya satu orang yang tidak memberinya kado, yakni Faisal. Padahal dia yang paling ingat tentang ulang tahun tadi malam.

Selama perjalanan, Rania terlihat begitu senang mengingat kado-kado yang di berikan keluarganya. Faisal sampai terheran-heran melihat istrinya itu terus tersenyum. Se-begitu senangnya dia sampai tidak berhenti tersenyum.

"Bapak tidak mau memberi hadiah untukku juga? Aku 'kan sedang ulang tahun," sindir Rania mendadak membuatnya menoleh.

"Mau hadiah apa?"

Rania hanya terkekeh mendengar itu, padahal awalnya dia hanya bercanda. Kalau tidak diberi juga tidak masalah, karena dia juga tidak begitu mengharapkan hadiah dari Faisal.

"Sudah, katakan saja kamu mau hadiah apa. Mumpung saya lagi baik, bakal saya kasih apapun yang kamu minta," kekeuh Faisal.

Mungkin beberapa minggu menjadi istri seorang Faisal Al-Malik sudah membuatnya mengenal Rania, dia merasa gadis itu berhak mendapatkan hadiah. Walau agak ragu, tapi pada akhirnya Rania mengatakan apa yang dia inginkan.

"Ada, sih keinginan yang mau aku penuhi, tapi aku takut merepotkan Bapak."

"Katakanlah."

Malu-malu tapi mau, Rania pun berujar dengan pelan. "Aku mau pergi ke karnaval, seumur hidup aku belum pernah pergi ke sana."

Rupanya Rania menyadari adanya selebaran karnaval yang sempat mereka terima beberapa hari lalu dari orang yang biasa keliling lampu merah. Itu, lho! Orang yang suka bagi-bagi selebaran, mereka juga membagikan itu beberapa hari lalu, membuat Rania ingin mendatanginya.

Faisal menyetujui, tapi Rania juga memberi syarat kalau Faisal harus ikut bersamanya. Kalau Alma juga mau ikut, itu akan lebih bagus. Tapi setelah di konfirmasi, ternyata Alma sedang ada acara malam itu, hingga mereka hanya pergi berdua.

"Sesenang itu kamu datang ke sini? Kampungan sekali!" cibir Faisal sambil terkekeh.

"Ya, namanya juga orang kampung. Aku memang tidak pernah datang ke tempat seperti ini, untung tiket masuknya tidak mahal," sahut Rania.

Gadis itu menuntunya masuk ke dalam, berkeliling karnaval yang menyajikan pertunjukan tarian khas Melayu. Karnaval seni itu memang jarang di adakan, tapi sangat meriah ketika berlangsung, sampai sesak Rania ingin menonton.

Kakinya terinjak-injak, sampai dia susah berdiri. Keseimbangan yang goyah, membuatnya oleng sampai hampir tumbang. Untunglah Faisal ada di dekatnya kala itu, hingga bisa menahan tubuhnya untuk tetap berdiri tegak.

"Maaf," cicit Rania.

Usai menonton, mereka makan di salah satu makanan pinggir jalan. Sebenarnya Faisal tidak terbiasa makan di sana, tapi banyaknya orang mengundang Rania untuk makan di sana. Hanya sate ayam biasa, tapi baunya enak sekali.

"Tidak, kamu saja," tolak Faisal saat Rania menyuapi sate padanya.

"Ih, kenapa? Ini enak, tahu!"

"Saya tidak biasa makan makanan jalanan seperti ini."

Tangan Rania turun perlahan, wajahnya tampak sedih saat menerima penolakan Faisal. Terdengar seperti suatu penghinaan, karena dirinya lebih suka makanan jalanan dari pada makan di rumah makan mewah.

Hanya beda harga, padahal rasa itu sama sama. "Tidak, rasa jelas beda! Dari harga saja beda!"

"Ish, rasanya sama saja. Bahkan terkadang makanan seperti ini lebih enak dari pada makanan di restoran," bantah Rania.

"Emang kamu pernah makan di restoran? Punya duit saja tidak!"

"Kalau begitu Bapak sendiri yang bandingkan!" dengus Rania kembali menyodorkan sate ke mulut Faisal.

Kali ini lelaki itu tidak bisa menolaknya, karena Rania menyuapi dengan sedikit memaksa. Awalnya dia tidak percaya, tapi pada akhirnya dia merasakan sendiri kalau sate pedagang kaki lima itu tidak seburuk yang dia pikir.

Nagih juga, sampai Faisal mengakui kelezatan sate itu. Rania hanya tersenyum memandang Faisal yang tadi menolak keras, sekarang dia juga ikut makan 'kan? Walau Rania tidak pernah makan di restoran mahal, tapi setidaknya dia tahu bagaimana caranya menghargai makanan.

Sejak dulu neneknya sudah mengajarkan kepadanya, jangan nilai makanan dari harga, tapi dari ketulusan. Kita mencari nafkah demi makanan, jadi kalau ada makanan, ya jangan di buang-buang. Tak peduli seberapa murah makanan itu, asalkan halal, itu pantas untuk di hargai.

"Kamu sayang banget, ya sama nenek?"

"Iya, dong! Sejak kecil aku 'kan sudah tinggal bareng nenek. Tapi sekarang aku punya banyak orang untuk di sayang."

Faisal mengernyit. "Siapa, tuh?"

"Ada mbak Alma, ibu dan ... Pak Faisal." Suara Rania mengecil saat menyebutkan nama Faisal.

Lelaki yang di sebutkan namanya itu hanya mengerjapkan mata dengan rasa tak percaya. Agak salting, sih pasti, tapi ya dia juga tidak mungkin memperlihatkan itu pada Rania. Gengsi, bos! Gengsinya CEO tidak main-main!

"Ehem! Kamu sayang sama saya?"

Rania mengangguk sambil terus mengunyah. "Bapak 'kan suamiku, tentu aku sayang."

Makin salah tingkah, Faisal menyembunyikan pipi merahnya di balik tangan. Sial, gadis ini sudah pandai membuatnya merasa berbunga-bunga. Rania yang tak tahu hal itu hanya melanjutkan makan dengan tenang sampai selesai.

Pulangnya, mereka membelikan buah dan jajanan untuk Alma dan nenek yang memang suka martabak manis. Malam itu Rania sangat bahagia, sampai dia tertidur begitu pulas selama perjalanan pulang.

Di lampu merah, Faisal sempat menoleh pada istrinya. Tapi di mobil yang berada di sisi sebelah kiri memperlihatkan pergumulan mesra salah satu rekan kerjanya. Bukan, itu bukan istri dari rekannya, lantas dengan siapa dia berciuman?

Faisal hanya memperhatikannya dari dalam mobil sampai lampu hijau menyala. Kembali berjalan, mereka pun sampai di rumah. Rania masih tidur di kursinya, membuat Faisal tak berani membangunkan.

"Hei, bangun!" kata Faisal terpaksa membangunkannya dari tidur lelap.

Masih tak bangun, padahal sudah di tepuk-tepuk beberapa kali. Dia mendekatkan wajahnya pada Rania, terlihat begitu cantik dengan kulit putih mulus. Kontras sekali dengan kulitnya yang sawo matang.

"Bapak sedang apa?" tanya Rania yang entah sejak kapan sudah membuka mata.

"Saya bangunin kamu! Ki—kita sudah sampai, ayo turun!" titahnya setelah tersadar, suaranya sampai terbata-bata karena terlalu gugup akibat kepergok memperhatikan Rania dari dekat.

Baru saja hendak keluar mobil, tangan Faisal sudah di tarik lagi oleh Rania. Dia tidak tahu apa yang akan gadis itu lakukan, tapi Rania benar-benar tidak tahan. Dia mengecup singkat pipi Faisal sambil mengucapkan terima kasih.

"Itu ucapan terima kasihku atas hadiahmu malam ini," bisiknya lalu keluar mobil lebih dulu dengan supir yang sudah sejak tadi membukakan pintu untuknya.

Faisal malah tertegun untuk beberapa saat. Rasanya tak percaya kalau Rania berani menciumnya, sampai dia tersadar dan segera masuk ke rumah. Di depan cermin, dia terus memperhatikan pipi kirinya yang tadi di cium, apakah itu benar-benar Rania?

"Bagaimana karnavalnya, Mas? Seru?" tanya Alma yang baru keluar kamar mandi.

"Ya, seru. Harusnya kamu ikut tadi."

"Sayang sekali aku harus ada acara. Tapi aku yakin kamu menikmatinya 'kan?"

"Tentu! Rania juga senang. Dia membelikan martabak untuk neneknya tadi."

Alma hanya mengangguk. Sikap Faisal agak berbeda malam itu, tapi dia tak menghiraukannya, meski malam itu mereka tak berbincang seperti biasa. Dia hanya mengira Faisal kelelahan saja.