webnovel

Guci Wasiat

novel ini berangkat dari sebuah tempat bersejarah yang terlupakan. adalah sebuah taman makam pahlawan prajurit Jepang yang kesepian. kuburan ini tidak pernah dicintai orang, karena tidak ada yang mengenal mereka, bahkan mungkin para keluarga (orang Jepang) mengetahui sanak saudaranya ada di makam tersebut. Ditemukan sebuah guci tua di dalam gua yang tak pernah di datangi manusia sebelumnya.Goa tempat roh bersembunyi. Guci berukuran pria dewasa itu terdapat seorang pemuda tampan, bernama Ya Lam, pemuda tersebut adalah tentara Jepang. Yang melarikan diri dari tentara sekutu NICA. Kemudian dia diselamatkan oleh pasukan kerajaan gaib, selama berbulan-bulan. Ya Lam terbangun di jaman modern dan bertemu secara tak sengaja dengan Piya,seorang Polwan yang bersembunyi di goa tersebut dari kejaran preman yang ingin memperkosanya. Mereka berada pada goa yang sama dari jaman yang berbeda. Ternyata Ya Lam telah tertidur di guci dalam goa itu selama 75 tahun. Goa tempat para perompak laut menyimpan harta karun. Piya keluar dari goa dengan sejumput emas yang membuatnya kaya raya, Piya membawa Ya Lam keluar dari goa sebelumnya akhirnya goa itu mrnjadi rata dengan tanah.

Meri_Sajja · Historia
Sin suficientes valoraciones
43 Chs

Rindu Kampung Halaman

Davia akan mendapat saingan berat. Saingannya adik sepupunya sendiri. Tapi Delima nantinya bukan satu--satunya yang naksir Salam. Banyak wanita cantik yang berebut ingin dekat dengannya. Karena pertandingan panjat tebing kemaren, Salam sudah terkenal. Adegan panjat tebing dirinya tanpa pengaman terekam banyak kamera HP lalu memviralkannya di sosmed mereka masing-masing.

Esok harinya Delima datang lagi ke rumah itu untuk berenang, katanya. Alasan! Kata Piya dalam hati. Umpan sudah termakan. umpan yang di buat Fatma.

Piya sudah mulai menyimpan rasa sukanya ke Salam di dalam hatinya. Fatma sudah ada di rumah itu bersama Kakeknya, Saskia dan suaminya, Arman. Niat Delima ingin dekat-dekat Salam, sudah di antisipasi oleh Fatma. Delima harus kerja keras untuk datang ke rumah itu dengan berbagai alasan tentunya.

Sore itu Salam duduk santai bersama kakek Subandi. Kakek Subandi sangat jarang bicara, ini di karenakan pendengaran yang kurang. Jadi 2 orang itupun tak saling bicara. Sambil menemani sahabatnya itu, Salam mencoba belajar memetik gitar milik Piya. Kakek Subandi tersenyum geli melihat Salam yang gagal memainkan lagu. Piya mengajarinya bermain gitar sebagai pertukaran dengan Salam, sejak kalah tanding karate dengan Salam kemaren. Piya menjadi guru gitar bagi Salam, dan Salam menjadi instruktur atau Sensei Piya latihan karate.

Delima datang dan langsung ke tujuannya ke belakang rumah mendekati Salam. Di lihatnya Salam yang sedang memainkan gitar salah-salah. Piya dan Delima memiliki satu hobi yang sama, bermain gitar. Dulu sewaktu mereka masih kecil, Piya masih SMP dan Delima masih SD, mereka belajar gitar dengan Pak Anto seorang polisi, ajudan ayah Delima, yang juga tetangga rumah Delima waktu tinggal di asrama polisi. Pak Anto melatih mereka hingga mahir main gitar.

Delima mengambil gitar di tangan Salam lalu memainkan lagu Koko rono tomo. Delima memainkan gitar sambil bernyanyi, suaranya merdu. Salam mendengarkan Delima bernyanyi dengan lembut dan sahdu. Lagu itu sangat indah dan pilu. Menarik Salam ke masa lalu. Delima menyanyikan lagu bait-bait lagu Kokoro no tomo dengan penuh penghayatan.

#

Anata Kara Kurushimi O Ubaeta Sono Toki

Watashi Nimo Ikiteyuku Yuuki Nga Waite Kuru

Anata To Deau Made Wa Kodoku Na Sasurai-Bito

Sono Te No Nukumori O Kanji Sasete

Ai Wa Itsumo Rarabai

Tabi Ni Tsukareta Toki

Tada Kokoro No Tomo To

Watashi O Yonde

Shinjiau Kotoro Sae Dokoka Ni Wasurete

Hito Wa Naze Su'ngita Hi No Shiawase Oikakeru

Shisuka Ni Mabuta Tojite Kokoro No Doa O Hiraki

Watashi O Tsukandara Namida Huite

Ai Wa Itsumo Rarabai

Anata Nga Yowai Toki

Tada Kokoro No Tomo To

Watashi O Yonde

****

Salam tak mampu mendengarkan lagu itu lebih lanjut. Meski dia tidak pernah mendengar lagu iitu, tetapi isi lagu itu membuatnya terguncang. Kerinduannya kepada kampung halaman, orang tua dan adik-adiknya kembali menggelora. Bathinnya terpukul. Salam menutup wajahnya yang memerah menahan air matanya mengalir. Segara saja dia meninggalkan tempat itu, berjalan cepat menuju kamarnya ke atas, menumpahkan air matanya di sana. Ia tak ingin seorangpun melihatnya menangis.

Delima menghentikan perrmainan gitarnya. Dia keheranan melihat Salam meninggalkannya tiba-tiba. Apa Salam tersinggung dengannya ? Tadi ia mengambil gitar di tangan Salam begitu saja. Apa Salam marah dengannya ? Delima galau. Ia tak ingin Salam marah dengannya. Delima mendorong kursi roda kakek masuk rumah. Sudah hampir magrib tidak mungkin ia membiarkan kakek sendirian menjalankan kursi rodanya masuk rumah. Piya datang. Ia bingung melihat Delima yang datang tiga hari berturut-turut ke rumahnya. Delima mengerti maksud tatapan Piya tapi ia tak peduli. Memang aneh kalau ia sekarang rajin datang ke rumah bibinya. Tapi ia tak mau ambil pusing dengan cara Pya menatapnya. Delim menceritakan kejadian tadi ke Piya. Piya berlari di tangga naik ke atas menuju kamar Salam. Dia khawatir Salam mengalami trauma lagi. Dengan hati-hati dia membuka pintu kamar yang tak di kunci. Delima bingung. Sedekat apa Piya dengan Salam. Dari lantai bawah dia dapat melihat Piya yang masuk kamar Salam setelah mengetuk tiga kali di muka pintu. Delima iri. Dia juga ingin dekat dengan Salam. Dia naik ke atas mengikuti Piya.

Lampu kamar Salam sengaja di redupkan. Tetapi Piya bisa melihat keadaan Salam yang duduk di sofa dengan menunduk, kedua tangannya menutupi wajahnya, suara tangis tertahan membuat tubuhnya terguncang-guncang. Piya tak menyangka Salam bisa menangis seperti itu. Piya mengambil tempat duduk di sisi Salam. "Ryozo...ada apa?" baru kali ini Piya bisa berkata lembut dengan seseorang. Ryozo membuka telapak tangan di wajahnya, tubuhnya berbalik memeluk Piya. Menangis. Dia seperti anak yang memerlukan kasih sayang keluarga. Air mata Ryozo membasahi pakaian dinas Piya. Piya tidak tahu harus berbuat apa untuk menenangkan Ryozo. Piya meletakkan tangannya di belakang Ryozo dan memberikan tepukan lembut. Ryozo sedikit agak tenang. Tangannya memeluk Piya dengan erat. Degdegdeg. Jantung Piya berdebar kencang. Baru kali ini dia di peluk pria.

Daun pintu kamar Ryozo terbuka sedikit. Delima menyaksikan mereka berpelukan. Hatinya terasa sakit. Delima meninggalkan mereka berdua. Air matanya serasa ingin tumpah. Dia hampir tidak mempercayai penglihatannya tadi. Delima menjalankan mobil meninggalkan rumah itu dengan perasaannya terluka. Baru kali ini ia merasa di kecewakan oleh pria. Biasanya dirinyalah yang meninggalkan prianya, bila ternyata pria itu tidak sesuai dengan harapannya Sebenarnya, Delima ingin mengatakan perasaannya secara terbuka ke Salam. Ia yakin, Salam juga tertarik dengannya. Tapi Salam begitu tertutup. Jadi ia harus bertindak agresif. Tetapi belum sempat Delima mengatakan rasa hatinya ke Salam, tiba-tiba ia melihat Piya berpelukan dengan Salam. Pelukan mesra dan penuh dengan perasaan yang mendalam.

Salam sudah tenang tetapi tak ingin melepaskan pelukannya. Hatinya damai di sisi Piya. Dia bagai menemukan pecahan jiwanya kembali. Piya. Piya sudah menjadi belahan hatinya. "Piya aku rindu kampung halamanku! Temani aku pulang ke Jepang. Aku ingin pulang!", Salam kembali menangis. Piya memberikan pelukan yang hangat. Entah mengapa perasaannya bergetar. Ia merasakan aliran darahnya mengalir dengan kencang ke jantungnya. Ryozo merasakan perasaan yang sama. Ryozo mengangkat wajahnya menghadap wajah Piya. Perasaannya jadi rumit.

Piya melepaskan pelukannya ke Salam. Ia tak ingin hanyut ke dalam perasaan tak menentu. "Mandilah. Kita bicarakan ini dengan ayah ibu dan kakek, setelah makan malam", kata Piya bijak. Aneh. Piya tak pernah selembut ini. Piya berdiri menepuk bahu Ryozo. Ia sudah kembali normal. Dari jendela kamarnya ia melihat Delima menjalankan mobil meninggalkan rumahnya.

Entahlah, Piya tidak mengerti dengan Delima. Gadis itu sekarang jadi aneh. Datang dan pergi begitu saja. Piya memang tidak sensitif. Jangankan memahami perasaan Delima.