webnovel

01 : An Orphanage

♖♛♘

Hari yang indah seperti biasanya. Angin berhembus lumayan kencang hari ini dan entah mengapa, burung-burung berkicau lebih vokal. Suasananya bisa dibilang mendekati panas, tapi masih ada sedikit hawa sejuk yang mengurangi panasnya.

Di pelosok Desa Tengen, ada satu bangunan yang berdiri kokoh. Bangunan sederhana ini berdiri memberi perlindungan dan kebutuhan untuk menghidupi perut-perut kelaparan.

Bangunan ini pula yang memberikan alasan hidup bagi penghuninya. Tawa ramai yang tidak pernah hilang dan kerinduan di masing-masing penghuninya tidak pernah mengganggu aktivitas mereka.

Bangunan yang kami sebut sebagai Panti Asuhan memiliki arti tersendiri. Kami sebagai penghuninya senang tinggal disini. Seperti seorang gadis kecil yang kaki mungilnya berlari antusias. Di tangannya, terdapat bunga daffodil.

"KAKAK! KAKAK! LIHAT APA YANG AYA BAWA!" Teriaknya. Gadis itu berhenti di depan dua remaja laki-laki dan satu wanita tua.

"Oh, ya. Memangnya apa yang Aya bawa?"

"Bunga!" Gadis itu masih berseri sembari menyodorkan bunga daffodil yang berada di telapak tangannya.

"Aya ambil dimana bunga itu?" Wanita tua itu bertanya.

"Bukan Aya yang ambil bunganya, tapi, Ciel. Aya hanya menerima saja. Tapi bunga ini bagus, kan, Bi Amel?" Tanya gadis itu khawatir.

Wanita tua bernama Amel itu berjongkok menyamakan tinggi badannya dengan gadis kecil di depannya. "Iya, bagus kok, seperti Aya."

"Aya jaga, gih, bunganya. Biar bisa tumbuh seperti Aya," salah satu dari dua remaja laki-laki itu berkata bercanda.

"Tentu, Kak Xion. Akan Aya jaga sepenuh hati!" Aya menganggukkan kepalanya, ekspresinya sangat serius membuat kedua remaja laki-laki itu menahan tawa.

Suara jeritan terdengar, diikuti derap langkah kaki bertubi-tubi. Segerombol anak-anak telah tiba.

Dari balik tembok, muncul pelaku utama kebisingan ini. Di belakangnya, ada beberapa anak-anak lainnya, mengejar pelaku utama. Wajah mereka kentara sekali kesalnya.

"Kakak, tangkap aku," pelaku utama pengejaran melompat ke depan.

"Kakak, Ciel curang!"

"Ciel tidak jujur, Kak!"

Serangkaian kata-kata kesal keluar dari mulut anak-anak, melaporkan pelaku buruk pemilik utama.

"Nah, itu isyaratku untuk pergi, semoga beruntung hari ini." Xion tanpa rasa bersalah mengambil keranjang jemuran yang telah kosong, lalu berlari masuk ke dalam Panti.

Bibi Amel tertawa melihat perilakunya. Xion memang senang sekali kabur daripada mengalami hal-hal seperti ini.

Remaja laki-laki satunya hanya bisa menghela napas, pasrah akan hal ini. Dia menatap sejenak anak-anak tersebut dan berkata. "Memang apa lagi yang dilakukan Ciel kali ini?"

Anak-anak semangat menceritakan perlakuannya sehingga mereka berbicara sangat cepat dan saling bersautan.

"Berhenti dulu. Satu saja yang berbicara," kata remaja laki-laki itu. Ciel di punggungnya tidak merasa terganggu sama sekali.

"Jadi, Kak, kita tadi main petak umpet, tapi Ciel ngintip dan kita ketahuan dimana aja tempat kita sembunyi."

"Ciel curang, Kak. Ciel jahat."

"Ciel turun sekarang, minta maaf. Berbuat curang itu tidak baik. Tidak jujur. Ayo, turun dulu."

Ciel menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Sangat menolak untuk meminta maaf sedangkan anak-anak panti lainnya mulai berteriak-teriak.

"Ciel pilih, minta maaf sekarang atau tidak mendapatkan makan siang?" Bibi Amel menimpali.

Ciel melotot. Buru-buru dia turun dari pangkuan kakaknya. Berdiri di hadapan temannya yang lain, Ciel meminta maaf setengah hati. Mereka menolaknya, masih berteriak tentang kecurangan Ciel.

Mereka semua memprotes keras-keras. Ciel yang permintaan maafnya tidak digubris hampir menangis. Aya yang melihatnya juga ikut menangis.

Aya beranjak dari tempatnya berdiri, mendekat Ciel dan memeluknya. Keduanya menangis.

"Sudah-sudah. Gini, memang Ciel salah karena mengintip tapi Ciel udah minta maaf. Kalau kalian minta maaf, tapi permintaan maaf kalian ditolak, bagaimana perasaan kalian?"

Mereka diam, menundukkan kepala dengan raut wajah bersalah. Tak berselang lama, mereka semua menangis dan berpelukan bersama Ciel dan Aya.

Ketika mereka berpisah, Aya memberikan bunganya untuk Ciel. "Bunganya untuk Ciel saja, jadi Ciel ga usah nangis lagi, ya."

"Terimakasih."

"Udah baikan, kan? Nah, sekarang, ayo, masuk ke dalam. Kak Xion dan Kak Tiffany pasti sudah menyiapkan makanannya."

Anak-anak bersorak gembira, mereka memeluknya bergantian sebelum berlari masuk ke dalam Panti Asuhan. Suara teriakan Xion dan Tiffany dari dalam juga terdengar.

"Kau benar-benar disayangi mereka semua, bukan?" ucap Bibi Amel bahagia.

"Dan aku juga menyayangi kalian semua."

•••

Seharusnya tidak seperti ini. Tidak boleh seperti ini.

Hari yang indah ini, seperti hari-hari lainnya. Panti asuhan yang ramai karena celotehan anak-anak kecil, para remaja panti melakukan tugas masing-masing. Bapak Wexel dan Bibi Amel sebagai pendiri Panti asuhan mengawasi serta membantu kami.

Seharusnya seperti itu. Layaknya hari-hari lainnya. Sayangnya, tidak.

Seperti sore-sore sebelumnya, dia menghabiskan waktunya sorenya dengan menjelajahi pinggiran Hutan Isel untuk mengumpulkan kayu bakar. Hari ini tak perlu mengumpulkan banyak-banyak, sebab masih ada cadangan kayu bakar tersimpan rapi di gudang panti asuhan.

Begitu dia merasa kayu bakar ini sudah cukup, dia mengikatnya menjadi satu menggunakan tali, kemudian dia bawa kembali. Perjalanan menuju panti asuhan terhenti seketika.

Netra birunya memandang ketakutan. Apa yang menyambutnya dari Hutan Isel adalah pemandangan panti asuhan, rumahnya, telah hancur separuh.

Asap tebal berwarna gelap pekat masih melambung tinggi di atas panti seolah telah terjadi kebakaran sebelumnya dan membuat bangunan panti hancur, tapi api tidak bisa meratakan setengah bangunan begitu saja. Tidak ketika bangunan itu terbuat dari batu kokoh, bukan kayu. Apabila kebakaran, tidak ada jejaknya.

Dia bergegas lari ke depan. Tidak mempedulikan kayu bakarnya yang jatuh dan membuat isinya berceceran. Tidak ketika keluarganya yang lain mungkin masih terjebak di reruntuhan.

"BIBI AMEL!" Teriaknya kencang begitu melihat pemandangan Bibi Amel yang mengenaskan. Paru-parunya tercekat, napasnya tersengal-sengal.

Bibi Amel, tubuhnya tinggal separuh. Hanya bagian dari pinggang ke atas yang masih ada, sedangkan bagian lainnya telah hilang. Matanya menelisik, menatap tangan Bi Amel yang memegang tangan Aya.

Dia berlari mendekat. Air matanya telah berlomba-lomba untuk jatuh. Aya berlumuran darah, gaun kuning cerahnya semuanya tertutupi darahnya sendiri. Tak jauh dari Aya, Ciel yang perutnya robek tergeletak begitu saja. Masih ada bunga daffodil di tangannya.

Dia tidak bisa berteriak. Dadanya terlalu sakit untuk sekadar memompa napas. Pikirannya mencoba mencerna apa yang sedang terjadi disini. Kenapa ini sangat mengerikan?

Memaksakan kehendak, dia mencoba bangkit. Berjalan sempoyongan, dia berharap menemukan orang lain yang selamat. Reruntuhan tiap reruntuhan dia bongkar. Beberapa justru semakin mengerikan.

Apapun ini, satu-satunya yang bisa dia pikirkan saat ini adalah entah bagaimana caranya dan mengapa, panti asuhan menjadi tempat pembunuhan brutal.

Tiffany juga dia temukan di lantai dapur. Pisau dapur yang sering dia gunakan, telah patah jadi dua. Kaki kanannya, dari lutut ke bawah telah hilang, menyisakan genangan darah.

Anak-anak lainnya ditemukan tak bernyawa. Masing-masing melindungi yang lain meskipun mereka semua berakhir menjadi tumpukan mayat yang memenuhi lantai.

Dia nyaris menyerah, bergabung bersama keluarganya. Namun, suara batuk-batuk menarik pikiran dan kesadarannya kembali. Dia terdiam sebentar, mendengarkan kembali untuk memastikan dia tidak berhalusinasi.

Begitu suara batuk terdengar kembali, kakinya berlari kencang. Harapan masih ada keluarganya yang selamat membangkitkan semangatnya. Disana, di dekat pintu bawah tanah, terbaring Bapak Wexel. Bapak Wexel pasti pulang lebih awal karena ini bukan jam pulangnya.

"Bapak," lirihnya. Dia duduk di samping tubuhnya. Kepala Bapak Wexel dipindahkan di atas pangkuannya.

"Lio, kau anak yang kuat," ucap Bapak Wexel lemah. Bapak Wexel terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Barulah Lio sadari, tubuh Bapak Wexel yang juga dipenuhi luka menganga.

"Aku tau ... ini akan datang ... cepat atau lambat. Aku egois kau tau. Aku dan adikku, Amel. Kita menjauh ... dari pemukiman, membangun panti ... asuhan. Itu sudah … bertahun-tahun yang lalu. Ketika orang tuamu datang … meminta tolong untuk menyembunyikanmu … dari yang lain. Kami menyanggupi. Orang tuamu … mereka berjasa bagi kami. Melindungimu disini … kita pikir kita bisa ... menyelamatkanmu," ujarnya dengan napas tersengal-sengal dan darah yang keluar semakin deras dari mulutnya.

"Apa maksudnya? Aku pikir, selama ini aku tidak punya orang tua, kalian menemukanku begitu saja. Kalianlah yang berkata begitu, lalu apa maksudnya ini, Bapak? Mengapa aku harus disembunyikan!" Lio mendesis, nyaris berteriak. Perasaannya saat ini campur aduk. Ketakutan, bingung, sedih, marah, semuanya menjadi satu.

Bapak Wexel menatapnya lembut. "Aku tau, semua ini … akan membuatmu bingung."

Lio ingin berteriak lagi. Pikirannya keruh, semuanya tidak masuk akal baginya. Dia ingin berteriak, mengamuk, dan marah-marah. Sayangnya, kepada siapa dia harus melampiaskan semuanya saat ini?

"Tolong, untuk kali ini saja, Bapak. Aku ingin tau semuanya. Siapa aku, Bapak? Dimana orang tuaku? Siapa mereka? Tolong, Bapak Wexel. Aku mohon." Pada akhirnya, yang bisa dia lakukan hanyalah menangis. Energinya terkuras dan mentalnya terguncang.

"Aku juga … tidak tau … dimana mereka. Yang pasti, siapa kau … hanya kau saja … yang tau. Ada sumpah … yang … mengikat kita … Lio," Bapak Wexel menarik napasnya kencang-kencang.

Lio tau, ini adalah akhirnya. Tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Bapak Wexel sudah bersiap menemui ajalnya.

"Dengar, Lio. Bertahanlah! Bertahanlah terhadap apapun mulai saat ini! Pergilah! Larilah melewati hutan. Temukan mereka yang dijuluki Api Kesunyian karena ketika kau menemukan mereka, kau akan menemukan Mortal! Dan sebelum kau mencapai Mortal, jangan biarkan dirimu mati. Hanya dia yang bisa membantumu menemukan asal-usulmu.. Aku tau kau pasti bisa. Karena kau adalah kau, ambil jalanmu, temukan asal usulmu, kau pasti bisa, karena kau adalah Lio!" Dengan senyum penuh keyakinan, Bapak Wexel menghembuskan napas terakhir. Kata-kata terakhirnya telah menghabiskan seluruh tenaganya.

Lio menangis lebih keras. Dia memeluk tubuh Bapak Wexel lebih erat. Ucapan terakhir Bapak Wexel memukul ulu hatinya. Tidak pernah dia pikirkan hidupnya akan jadi seperti ini.

Semua rahasia yang telah disimpan oleh Bapak Wexel dan Bibi Amel, diungkap dalam keadaan yang tidak tepat. Semuanya memuakkan.

Memberikan perpisahan terakhir, Lio meletakkan Bapak Wexel secara perlahan sebelum berdiri. Membawa kata-kata Bapak Wexel dalam sanubarinya, dia bertekad mencari siapa dirinya.

Melewati pintu belakang, dia melihat tubuh Xion. Tubuhnya bersandar di pintu belakang, tempat yang sering mereka gunakan untuk menuju Hutan Isel. Pemandangan itu membuatnya ingin menangis lagi.

Xion pasti mencoba untuk mengikutinya, meminta bantuan atau apapun itu. Sayangnya dia tidak berhasil yang membuatnya menjadi korban sama seperti penghuni panti asuhan lainnya.

Lio membaringkan tubuh lemas Xion dengan benar dan memeluknya untuk terakhir kalinya. Satu-satunya yang Lio anggap sebagai saudara kandung yang lebih dekat daripada keluarga lainnya di panti asuhan, kini ikut hilang.

"Maaf, Xion. Aku minta maaf. Karena aku, kalian semua menjadi korban. Maaf aku tidak bisa membantu apa-apa. Sampai jumpa, Xion, kau akan tetap menjadi saudaraku satu-satunya."

Lio bangun. Menyapu pandangan panti asuhan untuk yang terakhir kalinya, dia memantapkan hati. Lio berbalik, lari menuju Hutan Isel tanpa memiliki apa-apa selain hasrat balas dendam kepada siapapun yang membunuh keluarganya dan

hasrat keinginan untuk mengetahui siapa dia.

Sesuai keinginan Bapak Wexel, dia belum boleh mati. Tidak sampai dia mendapatkan apa yang dia inginkan.

♖♛♘