Winda memperhatikan dirinya sendiri di depan cermin. Kemudian ia merapikan syal yang ada di lehernya—syal ini adalah pemberian dari Kevin.
Sesuai janjinya bersama pria itu beberapa hari lalu, bahwa hari ini mereka akan pergi bersama. Dan entah kenapa setelah beberapa minggu mengenal Kevin, Winda merasa nyaman bersama pria itu. Walaupun Kevin adalah teman Seno, tapi kenyataannya sikap dan perilaku Kevin jauh lebih baik dari suaminya sendiri.
Sehingga Winda berpikir bahwa Kevin adalah pria yang tepat untuk dijadikan teman olehnya.
Segera setelah dirasa sudah pas, gadis itu pun tersenyum. Lalu mengambil tasnya dan segera melangkah keluar dari dalam kamarnya.
****
Kevin tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya, pria itu terus tersenyum melihat Winda yang saat ini sedang menceritakan semua pengalaman lucunya kepada pria itu.
Dengan berbagai ekspresi yang terbentuk di wajah cantik Winda—mampu membuat Kevin betah untuk terus menatapnya.
Mereka saat ini sedang melakukan piknik di pinggir danau, dengan membawa berbagai macam jenis makanan yang telah disiapkan oleh Winda. Kevin awalnya terkejut saat mengetahui ternyata Winda sudah menyiapkan semuanya, karena pria itu berniat untuk mengajak Winda menonton Film atau berbelanja. Tapi gadis itu berkata bahwa pergi piknik jauh lebih menyenangkan.
Dan ternyata ucapan Winda benar, buktinya saat ini Kevin benar-benar menikmati kencan pertama mereka.
Kencan?
"Jadi sekarang Lo tinggal sama siapa?" Kevin bertanya sambil memasukan buah cherry ke dalam mulutnya.
Winda terdiam, ia bingung harus menjawab apa, tapi dengan cekatan gadis itu menjawab, "Sama temen-temen gue, kita nyewa rumah bareng-bareng."
Oh!
Dengan polosnya Kevin percaya, dan Winda agak sedikit merasa bersalah.
****
Begitu sampai di rumah, Winda langsung menuju dapur untuk mengambil air minum—tenggorokannya sedikit kering. Mungkin karena disepanjang perjalanan ia terlalu banyak berbicara.
"Lo udah pulang?"
Winda tahu siapa pemilik suara itu, gadis itu menoleh dan mendapati Seno sudah berdiri di belakangnya.
"Emm," Balas Winda lalu meletakkan gelasnya ke wastafel.
Seno mengerti kemana perginya Winda, sebenarnya ia tidak mau peduli. Tapi ingat? Seno tetap harus berpura-pura untuk peduli.
"Gimana sama kafe Lo?" Seno bertanya basa-basi, ia tidak ingin mainan kecilnya ini pergi begitu saja.
"Baik," Winda menjawab dengan wajahnya yang sedikit menunduk, terlalu malas untuk melihat Seno.
Seno mengalihkan pandangannya pada kotak makanan yang tadi Winda bawa, "Baik-baik aja karena setiap hari ketemu sama Kevin?" Seno bertanya dengan nada rendah.
Winda sedikit terbelak, Seno berhasil menyudutkannya saat ini, "Bukan urusan Lo."
"Ck."
"Besok gue jemput Lo jam dua belas, kita makan siang sama-sama," Ucap Seno, Lalu mengecup kening Winda dengan singkat dan akhirnya pergi dari dapur.
Mendapat perlakuan seperti itu dari Seno, tiba-tiba saja darah di tubuh Winda terasa berdesir, ia sedikit ngerih dengan perubahan sikap Seno.
Gadis itu mencengkram pinggiran wastafel dengan kuat. Memejamkan matanya sesaat, lalu menggelengkan kepalanya, "Gak, Win. Lo gak boleh terpengaruh!"
****
"Bukannya gue udah bilang, gue bakal jemput Lo jam dua bela. Dan sekarang?" Seno menautkan kedua alisnya, ia melihat penampilan Winda sebentar. Lalu melanjutkan ucapannya, "Lo belum siap!"
Winda menghela napas dengan perasaan lelah, "Hari ini banyak pengunjung," Ucapnya sambil menata piring-piring ke dalam rak-nya.
Seno tidak boleh menyerah, bagaimanapun ia tetap harus membujuk Winda dengan segala jurus.
"Cepet siap-siap. Gue mau ajak lo ke suatu tempat. Lo pasti suka," Seno tersenyum dengan lembut.
Winda sedikit bimbang, tapi bagaimana pun ia adalah gadis baik-baik. Saat orang bersikap lembut padanya, hatinya otomatis akan luluh—begitupun sebaliknya, saat orang bersikap menyebalkan, Winda pun bisa lebih bersikap sangat menyebalkan.
Seno menyentuh kedua bahu Winda, lalu membaliknya agar gadis itu segera pergi ke ruang ganti, setidaknya untuk menyisir rambutnya yang sedikit berantakan.
"Sana siap-siap, gue tunggu di mobil."
"Ya ya. Bawel banget," Ucap Winda dengan malas sambil melepaskan tangan Seno yang berada di kedua bahunya.
****
"Seno..."
Winda berbisik pelan, saat pria itu membawanya ke tempat yang selama ini selalu Winda hindari.
Setelah mereka makan siang, Seno mengatakan kalau ia ingin mengajak Winda ke suatu tempat. Dan ternyata pria itu mengajak Winda untuk datang ke pemakaman ayah Winda.
Entah sudah berapa tahun Winda tidak pernah mengunjungi makam ayahnya—bukan tanpa alasan, gadis itu masih trauma jika harus kemari. Rasanya hatinya seperti ter-iris saat kembali mengingat hari itu—hari dimana ayahnya meninggal.
Seno menggengggam tangan Winda, pria itu kemudian tersenyum dengan lembut dan berusaha meyakinkan, bahwa semuanya akan baik-baik saja.
"Gue belum sempet minta ijin sama ayah mertua pas nikahin Lo waktu itu. Gue pikir sekarang waktu yang tepat."
Sontak Winda langsung menatap Seno, air matanya sudah menumpuk. Ia tidak menyangka bahwa seorang Seno yang selama ini selalu bersikap jahat padanya sekarang menjadi orang yang dengan berani meminta restu di depan ayahnya.
Seno melespaskan tangan Winda, pria itu kemudian membungkuk memberi hormat di depan makam, lalu berkata sambil sedikit menunduk.
"Selamat siang, ayah. Saya Seno Susilo Admaja, anak laki-laki yang dulu sering ayah gendong saat turun dari mobil. Saya dateng untuk minta ijin wakau mungkin ini terlambat. Tapi sekarang saya sudah menikah dengan putri ayah. Ayah pasti tau kalau dulu saya adalah anak yang nakal, bahkan sampai sekarang saya masih menjadi anak yang nakal. Tapi saya berjanji—saya berjanji akan menjaga putri kecil ayah. Maafkan saya karena pernah menyakiti Winda—"
Seno menghela napasnya lalu beralih menatap Winda sebentar, dan melanjutkan kalimatnya.
"Terimakasih telah menghadirkan wanita sempurna seperti Winda, saya berjanji akan terus menjaganya dan menjadi suami yang baik untuknya. Semoga ayah merestui kami."
Air mata Winda lolos begitu saja, entah kenapa hatinya yang kemarin sangat mengeras untuk Seno kini justru mulai meluntur. Perasaannya menghangat saat mendengar kata-kata pria itu.
Winda semakin terisak, bahkan ia langsung terduduk di depan makam ayahnya. Saat ini hanya dua hal yang gadis itu rasakan; tersentuh karena ucapan Seno dan terluka karena mengingat kembali bagaimana ayahnya meninggal.
Seno dengan cepat ikut berlutut di depan gadis itu. Ia langsung memeluk Winda dan menepuk-nepuk pelan punggung Winda,"Gak papa. Terus nangis, gue ada disini."
Sepertinya satu rencana Seno mulai berhasil untuk membuat Winda perlahan-lahan jatuh ke dalam pelukannya.
****
Sesampainya di rumah, Seno dan Winda langsung masuk ke dalam kamar mereka masing-masing. Ada satu yang berubah dari mereka saat ini, tidak berdebat lagi seperti biasanya.
Winda merasakan bahwa semuanya terlalu cepat. Gadis itu kembali memikirkan ucapan Seno saat di dalam perjalanan. Senomengatakan bahwa ia benar-benar ingin menjadi suami yang baik serta tidak ingin ada pertengkaran lagi di antara hubungan mereka.
Sejujurnya Winda memang merasa luluh melihat sikap Seno hari ini. Tapi bukankah semuanya terlalu tiba-tiba? Dan Winda belum memberikan jawaban, ia ingin semuanya berjalan seperti biasa.
"Lo udah tidur?" Winda mendengar ketukan dan suara Seno dari luar pintu kamarnya.
"Belum," Winda segera berjalan untuk membuka pintu kamar dan mendapati Seno sudah berdiri disana.
"Kenapa?" Winda bertanya.
Tapi tiba-tiba Seno langsung masuk dan menutup pintu kamar Winda, lalu menguncinya dan memasukkan kunci tersebut ke dalam saku celananya.
"Eh apaan sih. Lo mau ngapain?"
Seno justru langsung berjalan dan duduk di atas tempat tidur Winda, "Gue mau tidur disini,"
Winda memejamkan matanya sebentar, hari ini ia sangat lelah karena terus menangis seharian, dan ingin segera istirahat.
"Seno. Keluar dari sini cepet dan jangan main-main," Ucap Winda dengan ada rendah dan menuntut.
Seno menggelengkan kepalanya dengan cepat, lalu ia tersenyum dan berkata dengan menggoda, "Sini, kita bisa ngelakuin sesuatu yang nyenengin malem ini."
Setelah mendengarkan ucapan Seno, Winda agak terkejut. Ia tidak habis pikir kenapa Seno sekarang sudah berani berkata mesum seperti itu.
"Gue capek banget dan pengen cepet-cepet tidur," Ucap Winda yang disambut kekehan pelan dari Seno membuat gadis itu menatap penuh tanya.
Seno kemudian berdiri lalu mendekat ke arah Winda, dan menyentuh tangan gadis itu.
"Bukannya gue udah bilang, mulai sekarang kita harus memulai semuanya dari awal."
"Ini terlalu cepet, gue perlu menyesuaikan diri," Winda membuang muka, berusaha untuk tidak menatap Seno.
Tapi dengan segera Seno langsung menangkap wajah Winda dan menyatukan bibir mereka, membuat Winda membulatkan kedua matanya.
Lembut, rasanya sangat lembut.
Ini merupakan ciuman pertama bagi Winda, gadis itu masih diam dan mematung—sampai beberapa detik kemudian ia kembali tersadar dan segera mendorong tubuh Seno.
"Seno.... Lo jangan kurang ajar, ya!"
Seno justru menatap Winda dengan sendu, lalu berucap, "Lo masih belum bisa nerima gue?"
Winda sedikit melangkah mundur dan menundukkan wajahnya. Sungguh, ia memang belum siap dengan semuanya.
Hatinya bimbang!
Seno kembali mendekat ke tempat Winda lalu menahan kedua bahu gadis itu dengan pelan, "Win, liat aku!"
Winda masih membuang muka, sampai akhirnya tangan kiri Seno menyentuh pinggang Winda, lalu tangan kanannya menyentuh pipi gadis itu.
"Sen, jangan lakuin ini."
"Aku suami kamu, dan aku berhak ngelakuin ini."
"Kita udah punya perjanjian."
Winda berusaha mengingatkan. Tapi Seno menggelengkan kepalanya dengan pelan, lalu berucap, "Perjanjian itu udah aku anggap hangus, dan sekarang aku cuma mau kamu jadi milik aku seutuhnya."
Kemudian Senk kembali mencium bibir gadis itu, dan melumatnya sebentar.
"Manis" Pujinya.
Pipi Winda langsung merona, matanya menatap Seno dengan pasrah, "Seno—"
"Boleh?" Seno berbisik.
Dengan akal sehat yang sudah menguap, Winda dengan ragu mengangguk pelan—yang artinya ia setuju.
****
Winda mencengkram sprei dengan semakin kuat, gadis itu tidak henti-hentinya terus mendesah karena gerakan Seno yang semakin lama semakin menggila.
Bibirnya sudah sangat membengkak dan semakin memerah, sesekali gadis itu menggigit bibirnya sendiri, merasakan sensasi nikmat yang selama ini belum pernah ia rasakan.
Beberapa saat kemudian, Seno kembali mempertemukan bibir mereka, berciuman dengan penuh gairah, seolah-olah ingin menumpahkan semua rasa nikmat yang saat ini sedang mereka rasakan.
Dan dengan nafsu yang sudah menguasai—Winda mengalungkan tangannya di leher Seno, guna memperdalam ciuman mereka. Kedua tangan Seno kemudian meremas gundukan bulat milik gadis itu, lalu bibirnya beralih menciumi pucuk payudara Winda yang berwarna merah muda—menggigitnya kecil lalu menghisapnya.
"Ahhh..."
Seno tahu bahwa ini salah dan ia sadar sudah melangkah terlalu jauh. Tapi ia tidak bisa menahan hasratnya. Pria itu sangat ingin menyentuh Winda.
Padahal menyentuh Winda bukanlah bagian dari rencananya.
"Sayangg—" Ucap Seno.
Tangan besar Seno beralih mengelus paha Winda. Membukanya lebih lebar agar mudah dihentakkan.
Seno menatap Winda lalu menyibbakan rambut gadis itu yang menutupi mata indahnya. Gerakan pinggulnya tidak berhenti di bawah sana.
"Kamu udah nerima aku 'kan? "
Winda hanya mengangguk lemas, "Aku akan coba, Ahhh Seno—"
Sesaat kemudian mereka merasakan bahwa tubuh mereka sudah menegang. Menandakan akan segera mencapai puncaknya.
"Seno—"
Seno semakin kuat untuk menghentakkan pinggulnya. Windabisa merasakan bahwa kepunyaan Seno menjadi semakin membesar di dalam sana.
"Ahhhhh—"
"Nghhh—"
Mereka keluar bersama. Seno mengeluarkan cairannya di dalam rahim gadis itu.
🍁🍁🍁
"Akhir-akhir ini kamu susah banget dihubungin," Mirna mengerucutkan bibirnya.
"Maaf sayang, beberapa hari ini aku sibuk," Kata Seno sambil mengelus pelan rambut kekasihnya.
Pagi ini Mirna menelfon Seno untuk segera datang ke apartemennya, dengan alasan gadis itu kesepian.
Dan dengan secepat kilat, Seno langsung datang ke apartemen Mirna dan meninggalkan Winda yang masih tidur karena kelelahan akibat permainan mereka semalaman.
"Kamu gak jatuh hati sama Winda 'kan?" Mirna bertanya dengan sedikit ragu.
Seno tersenyum lembut lalu mencubit pipi gadis itu, "Gak sayang, aku cuma cinta sama kamu. Kamu satu-satunya yang ada dihati aku," Lalu pria itu mengecup kening Mirna.
Mirna kini bisa bernapas lega, setelah beberapa minggu ia dibuat frustasi karena Seno sulit dihubungi. Gadis itu sempat berpikir bahwa Seno sudah jatuh hati pada Winda. Tapi Ternyata dugaannya salah, Seno tetap mencintainya dan akan selalu mencintainya.
Sedangkan Seno? Saat ini pria itu merasa sangat senang, rencananya sedikit demi sedikit mulai berhasil—Winda sudah mulai masuk ke dalam perangkapnya. Dan saat semuanya selesai, Seno akan langsung menceraikan Winda dan segera menikahi Mirna.
Pria itu tidak peduli lagi dengan ayahnya. Menurutnya, pria tua itu akan segera mati. Mengingat pagi ini Seno mendapat telfon kalau ayahnya sudah terbaring koma di Jerman.
....
TBC
VOTE COMMENT.
GUYS, GIMANA NI? KASIAN WINDA 😭😭😭