Setelah Seno mengatakan kalimat yang membuat hati Winda sakit, gadis itu lebih memilih diam karena merasa canggung. Ia memilih tak bersuara sampai akhirnya Kevin mengajaknya pulang karena juga merasa tidak enak pada Winda. Begitu pun dengan Seno dan Mirna yang akhirnya juga memutuskan untuk pulang.
Dan saat ini Seno sedang memakirkan mobilnya di depan gedung apartemen Mirna.
"Seharusnya tadi kita beli minuman dulu," Ucap Mirna sambil melepaskan Seltbelt-nya.
Seno hanya diam, pikirannya entah kemana dan tidak menjawab ucapan Mirna yang menunggunya.
"Malem ini aku mau pulang kerumah," Ucap Seno, matanya masih fokus kedepan.
Mirna memposisikan tubuhnya ke samping, lalu melihat Seno yang sedari tadi sudah seperti orang bodoh. Gadis itu tahu bahwa saat ini Seno sudah mulai merasa bimbang.
Baiklah. Sepertinya kali ini Mirna harus mengalah, tidak ada salahnya Seno bermalam di rumah istrinya setelah sebelumnya tidak pernah pulang selama dua bulan.
"Yaudah kalau memang kamu mau pulang kerumah!"
"Hm." Balas Seno singkat.
Mirna sedikit menyerngit. Bahkan sekarang Seno tidak memberikan kecupan untuknya. Dengan perasaan jengkel, gadis itu turun dari mobil Seno, dan langsung masuk ke dalam gedung apartemennya.
Terlihat dengan jelas, Seno seperti orang yang sedang linglung. Akhir-akhir ia merasa bahwa pikiran dan hatinya sudah tidak sinkron antara satu satu sama lain.
****
"Lo yakin? Gue bisa anter Lo sampe depan rumah."
Kevin terlihat melihat kekiri dan kekanan dari dalam mobilnya. Pria itu sedikit heran kenapa Winda memintanya untuk diturunkan di taman.
"Rumah gue masuk gang sempit, mobil gak bisa masuk ke dalam gang," Gadis itu tersenyum.
Winda sudah selesai melepaskan seltbelt-nya. Ia terpaksa berbohong pada Kevin sebab pria itu tidak boleh tahu kalau sebenarnya dia adalah istri Seno. Winda masih mengikuti aturan dari surat perjanjian yang dibuat oleh Seno—Bahwa tidak ada yang boleh tahu kalau mereka adalah sepasang suami istri.
"Ya gak apa-apa. Gue tetep bisa anter Lo kok," Kevin ingin melepaskan Seltbelt-nya tapi Winda langsung menahan lengan pria itu.
"Jangan." Tolak Winda sembari menyentuh lengan Kevin. Membuat suasana kembali canggung seperti tadi. Apalagi ketika Kevin menatap tangan Winda yang berada di lengannya.
Winda langsung melepaskan tangan Kevin dan berucap, "Jangan. Ini udah malem. Lo pulang aja ya."
Tanpa aba-aba Winda langsung membuka pintu mobil Kevin, lalu segera keluar dari sana. Meninggalkan Kevin yang masih terlihat bingung.
"Padahal disana gak ada gang sempit deh. Dan bukannya ini udah masuk wilayah perumahan pondok indah ya. Di pondok indah? Ada gang sempit? Ah masak iya sih. Apa karena gue udah terlalu lama di Amerika ya," Kevin menggaruk-garuk kepalanya sendiri.
*****
Winda membuka pintu kamarnya yang masih gelap, dan gadis itu belum berniat untuk menyalakan lampunya.
ari ini merupakan hari yang sangat lelah untuk Winda, lelah fisik dan lelah batin secara bersamaan. Gadis itu ingin mandi dan segera tidur.
Winda melemparkan tasnya ke atas ranjang, lalu membuka bajunya. Menyisakan bra berwarna hitam dan rok jeans selutut. Gadis itu melakukan peregangan sebentar sebelum masuk ke dalam kamar mandi.
Saat sedang melakukan peregangan, Winda di buat kaget saat tiba-tiba lampu kamarnya menyala.
"Apa Lo beneran gak nyadar kalau dari tadi gue ada disini?"
Winda menoleh ke belakang dan melihat Seno sudah berdiri di dekat pintu masuk—dan memang posisi saklar lampu terletak di dinding belakang tempat saat ini Seno berdiri.
"Lo bahkan sengaja ngebuka baju Lo 'kan?" Seno tersenyum miring, matanya melihat dua gundukan milik Winda yang hanya di lapisi oleh bra berwarna hitam, terlihat sangat kontras dengan warna kulitnya yang sangat putih.
"Dasar mesum Lo!"
Dengan terburu-buru dan masih menyesuaikan dirinya dengan kondisi sekarang, Winda segera berjalan ke arah lemari untuk mengambil jaket miliknya lalu segera memakainya untuk menutupi tubuhnya.
Seno sempat melihat bagaimana bentuk payudara Winda yang bulat dan kencang, serta kulitnya yang putih dan mulus tanpa cela.
Oke, kali ini Seno akui—Winda memiliki satu kelebihan!
"Apa Lo gak punya sopan santun?" Winda bertanya dengan posisinya membelakangi Seno, gadis itu masih sibuk mengancing jaket-nya.
Sepertinya begitu sampai rumah. Seno langsung membawa masuk mobilnya ke dalam garasi. Sehingga Winda pikir, pria itu tidak pulang.
"Lo istri gue dan apa perlu gue minta ijin untuk masuk ke dalam kamar istri sendiri?"
Istri? Sepertinya saat ini akal sehat Seno sudah hilang entah kemana. Bisa-bisanya setelah membuat Winda sakit hati, dia mengatakan hal sekonyol itu?
Winda dengan sangat malas langsung membalik tubuhnya untuk menatap Seno sepenuhnya. Dilihatnya pria itu sedang bersandar di meja, dengan jari-jarinya memainkan vas bunga yang ada disana—bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apapun.
Dengan langkah santai, Winda berjalan menuju nakas yang terletak di samping ranjang, membuka laci disana dan mengambil sebuah map.
Di lemparkannya map itu ke ranjang.
"Lo liat itu? Itu salinan dari perjanjian kita. Lo masih inget kan sama semua isinya?" Tanya Winda tak kalah angkuh, gadis itu melipat kedua tangannya dan berbicara dengan sedikit menaikkan dagunya.
Seno diam sebentar, matanya menatap Winda yang seperti menantangnya.
Winda kembali melanjutkan kalimatnya, "Kalau Lo gak mau berakhir di pengadilan karena udah ngelanggar kontrak, pergi dari kamar gue dan jangan pernah ikut campur sama urusan gue lagi. Gue bakal mastiin hubungan Lo sama perempuan sialan itu gak akan keganggu."
Kali ini Winda tidak akan tinggal diam, ia sudah mencapai titik kesabaran-nya dalam menghadapi Seni. Dari dulu, dari saat mereka masih remaja Winda selalu diam saat Seno selalu berbuat jahat padanya.
Dan sekarang Winda tidak ingin Seno berbuat seenaknya lagi.
Seno tertawa kecil, tangannya mengepal dengan sangat kuat.
"Lo mau mulai perang sama gue?" Tanya Seno dengan nada rendah, senyum licik itu kembali terukir di wajahnya.
"Gue gak peduli, sekarang lebih baik Lo keluar dari kamar gue!" Winda menatap Seno dengan sorot mata yang tajam.
Seno yang masih menyandar di meja dengan santai kembali menegakkan posisinya, lalu membenahi jas-nya. Hingga akhirnya ia keluar dari dalam kamar Winda dan menutup pintu kamar itu dengan sangat kuat.
Seno tidak terima di perlakukan seperti itu oleh Winda. Ia bersumpah akan membuat gadis itu menderita. Dengan wajah datar dan berjalan santai, Seno langsung memikirkan cara apa yang akan ia lakukan agar bisa membalas Winda.
"Kita lihat siapa yang akan menang!"
****
"Berenti ngikutin gue please!"
Winda semakin mempercepat langkah kakinya.
Sial! Pagi ini adalah pagi hari terburuk bagi Winda. Kenapa ia harus bangun kesiangan, dan kenapa Seno sedari tadi terus mengikutinya.
Winda kembali melihat jam-nya. Sudah jam 9, dia terlambat membuka kafe-nya.
Didepan sana, Winda melihat bus yang sudah pergi meninggalkan halte. Dengan segera, gadis itu langsung berlari mengejarnya—tapi lagi-lagi Winda kalah cepat. Bus tersebut malah semakin jauh.
"Aduhhh!!!"
"Hhhh kenapa gak naik taxi aja sih?" Seno membuka suaranya dengan nafas yang terengah. Pria itu juga ikut berlari.
Winda mengusap keringatnya, lalu menoleh kesamping. Dilihatnya Seno yang sedang mengibas-ngibaskan kemejanya, pria itu juga sudah berkeringat.
Entah apa yang sedang direncanakan oleh Seno kali ini. Setelah semalam mereka saling berdebat, Winda pikir Senk akan langsung pergi dari rumah. Tapi ternyata Winda salah. Tadi pagi Winda justru mendapati Seno sedang membuat sarapan untuknya. Dan sekarang? Seno bilang dia ingin membantu Winda di kafe.
Bukankah itu aneh?
****
Sepertinya omongan Seno untuk membantu Winda di kafe-nya adalah omong kosong belaka.
Saat ini Seno justru hanya duduk di meja nomor tiga, sedang bertopang dagu sembari terus memperhatikan Winda yang sedang mondar mandir melayani pelanggan. Persis seperti laki-laki bodoh.
Setelah memikirkannya selama semalaman. Seno yakin memang harus melakukan ini, pria itu berpikir—bermain-main dengan Winda sebentar sepertinya akan sangat menyenangkan, bukan?
Membuat Winda jatuh ke dalam pesonanya dan setelah benar-benar terjatuh. Seno akan menghancurkan gadis itu dengan cara mencampakkannya atau menceraikannya sekaligus.
Seno terkekeh, ia sudah tidak sabar untuk melihat kehancuran si gadis keras kepala!
Bagi Seno ini adalah cara yang paling efektif dan paling membunuh untuk menyakiti gadis itu.
🍁🍁🍁
"Mau makan malem dulu?" Seno bertanya pada Winda.
Winda masih tidak percaya, kenapa hari ini Seno sangat baik padanya. Setelah seharian menemaninya di kafe, sekarang pria itu justru kembali menawarkan makan malam untuknya.
"Gak. Makan di rumah aja," Balas Winda sambil terus melangkahkan kakinya.
"Hmm.. Oke."
Seno menggandeng tangan Winda membuat gadis itu terkejut, dan berusaha untuk langsung melepaskan genggaman tangan Seno.
"Seno, ngapain Lo megang tangan gue?" Mata Winda melihat sekelilingnya yang sangat ramai.
"Cuma gandeng tangan istri gue, apa salah? Gak 'kan?" Seno mengedipkan sebelah matanya dan semakin erat menggandeng tangan gadis itu.
Jujur! saat ini Winda sangat bingung. Ada apa dengan Seno? Seno mau ikut jalan kaki bersama Winda untuk pulang kerumah saja sudah membuat gadis itu heran, apa lagi saat ini Seno menggandeng tangannya di keramaian.
"Apa Seno salah minum obat?" batin Winda.
Di sepanjang perjalanan, Winda tidak henti-hentinya untuk melihat Seno. Pria itu terlihat sangat bahagia, senyumnya tidak pernah hilang, dan genggaman tangannya semakin erat.
Aneh, sungguh sangat aneh.
****
Seno yang masih memakai apron mendekat ke arah Winda, lalu meletakkan Spageti buatannya di atas meja makan.
"Spesial buat Lo," Ucap Seno.
Winda melihat Spageti tersebut, rasanya sangat canggung. Kemarin mereka masih tidak akur, tapi hari ini mereka terasa begitu dekat. Walaupun sedari tadi Winda tidak terlalu banyak bicara.
"Makan dong," Seno memberikan sendok untuk Winda.
Winda menatap Seno sesaat, lalu ia mulai mencicipi Spageti itu.
"Enak?"
"Lumayan."
Seno kembali tersenyum, dan Winda tidak mau melihat itu. Ia ingin segera menghabiskan makanannya lalu pergi tidur.
Tiba-tiba tangan Seno mengusap noda saus yang tertinggal di bibir atas Winda. Lalu memasukkan ibu jarinya ke dalam mulutnya sendiri.
"Sen—", Winda membulatkan matanya.
"Sssttt," Seno menempelkan jari telunjuknya di bibir Winda, lalu beralih mengacak-acak rambut gadis itu sambil melanjutkan kalimatnya, "Abisin dulu makanannya."
****
Saat ini Winda sedang duduk di dapur kafe miliknya. Pikirannya terus tertuju pada Seno.
Beberapa hari terakhir kelakuan Seno memang sungguh sangat baik padanya. Pria itu selalu pulang tepat waktu dan selalu bersikap lembut.
Bahkan tadi malam Seno memintanya untuk tidur dalam satu kamar, tapi Winda dengan tegas langsung menolak. Gadis itu tidak mengerti kenapa kelakuan Seno bisa berubah secepat itu.
Pikiran jelek dan pikiran baik terus beradu menjadi satu dalam otaknya.
Tiba-tiba ponsel Winda yang ada di atas meja bergetar. Sekedar informasi, Winda sudah membeli ponsel ini bersamaan saat ia mulai mengelola Cafe ini.
Ia melihat ada pesan masuk, dan sgera gadis itu langsung membukanya.
Dari:
Kevin: Win, gue di depan kafe Lo. Sini^^
Winda mengkerutkan dahinya begitu membaca pesan dari Kevin. Namun tidak butuh waktu lama gadis itu langsung pergi untuk menemui Kevin.
Sesaat setelah sampai di depan, Winda tersenyum saat melihat Kevin sudah berdiri bersandar di samping mobilnya.
"Penting banget, ya? Sampe Lo nyuruh gue kedepan cuma buat jumpai Lo doang." Winda berucap bercanda.
Kevin tertawa gemas, ia berusaha menahan untuk mencubit pipi bulat milik Winda.
"Sebentar," Ucap Kevin lalu membuka pintu mobilnya untuk mengambil sesuatu dari sana.
Sebuket bunga dan sebuah bingkisan.
Winda menautkan kedua alisnya, telunjuknya menggaruk pelipisnya yang tidak gatal.
"Hari minggu, gue harap Lo bisa ngeluangin waktu Lo buat gue," ucap Kevin sambil tersenyum. Winda pun ikut tersenyum, gadis itu seolah mengerti apa yang di maksud oleh pria itu.
Dengan ekspresi wajah agak di buat-buat Winda berkata, "Jam 9?"
Kali ini Kevin kembali ikut tertawa dengan sedikit keras. Ia tidak bisa menyembunyikan perasaan bahagianya saat ini, "Ehmmm setuju."
Lalu mereka sama-sama tertawa, tanpa mereka sadari sejak tadi ada seseorang yang melihat mereka dari kejauhan.
...
TBC