webnovel

Part 36

  Sang komandan berdecak kesal, berpikir apalagi yang dapat dikerahkannya untuk mengalahkan sosok perempuan di depan yang kini berdiri diam menatap pada laki-laki berambut putih di belakang. Dalam hati ia mulai bertanya-tanya, apakah mungkin laki-laki itu menyembunyikan kekuatan aslinya? Kenapa seseorang sekuat ini begitu tertarik pada dia yang sudah kesulitan menggunakan perisai mana?

  Merasa tak terima, Sang komandan menggunakan lebih banyak mana hingga kedua tangan gemetaran, tak kuasa menahan aliran mana yang begitu banyak. Namun, ia tak peduli, yang diinginkannya hanyalah sebuah pengakuan dari Celine dan dirinya akan melakukan apapun untuk dapat mengalahkan sosok bernama Zent itu.

  Dalam dua langkah, ia sudah meluncur cepat ke arahnya, mengayunkan pedang dengan harapan setidaknya dapat menarik perhatian perempuan tersebut yang menahan serangannya hanya menggunakan satu jari saja. Angin kencang tercipta dari benturan tersebut disertai hempasan energi kuat hingga kotak-kotak kayu di sekitar terlempar ke belakang. Sang komandan menggertakkan gigi, kesal karena serangannya itu bahkan tak dapat menarik perhatiannya. Ia kemudian terpental ke belakang oleh sebuah dorongan pelan dari jari telunjuknya.

  Ketika baru saja akan melangkahkan kaki, beberapa anak panah meluncur dari atas, membentuk lingkaran dengan perempuan tersebut berada di dalam. Di atas sana, Rayven mengangkat tangan kanan sejajar dengan dada dan menutupnya dengan erat, menciptakan sebuah kurungan mana berwarna hijau yang lalu mengecil, berupaya untuk menghancurkan sosok tersebut di dalamnya.

  Namun, tentu saja takkan semudah itu. Dia berhasil menahan kurungan dengan kedua tangannya dan akan melompat tetapi dihentikan oleh Rio yang juga muncul dari atas, mengayunkan palu besar miliknya sepenuh tenaga, menghantam tubuh perempuan tersebut tepat ketika Rayven membuka kurungan "Celine sekarang!"

  Kemudian tak jauh di atas mereka, sebuah pedang emas transparan bercahaya terang, berukuran lebih besar ketimbang sebelumnya. Di samping gagang, tampak Celine yang sementara meluncur turun ke tanah bersama pedang mana besar tersebut, menghantam kuat sosoknya hingga masuk ke dalam tanah, menciptakan sebuah kawah besar dan menghancurkan beberapa bangunan di sekitar.

  Celine mendarat di jalan dengan aman, terengah-engah sesudah mengerahkan mana sebanyak itu dan langsung bergegas menuju Zent tanpa menyadari kalau Sang komandan memanggilnya dengan senyum di wajah yang seketika berubah menjadi sebuah kebencian, menyaksikan dari jauh sosok perempuan yang dicintainya kini merangkul seorang lelaki lain.

  "Zent! ZENT!!" Teriak Celine sembari berlari ke arahku dan merangkulku begitu erat hingga aku sedikit sulit bernapas "Aku mengira kau telah tiada! Aku menemukan tubuhmu telah- telah.. " Sebuah isak tangis keluar, tak lagi dapat di tahan oleh Celine dengan pelukannya yang makin menguat hingga terasa sesak.

  "Cel- Celine.. Kau mencekikku" Jeritku yang lebih seperti sebuah bisikan. Begitu dia sadar dan melangkah mundur, segera kuhirup napas dalam-dalam, mengisi paru-paru yang tadi hampir saja kosong, lalu menghembuskannya, merasa lebih lega.

  "M-maafkan aku, aku.. " Celine tak mampu menyelesaikan kalimatnya. Wajah Sang ksatria tiba-tiba berubah merah layaknya sebuah udang rebus, membuatku bertanya-tanya, apa yang mungkin ingin dikatakan olehnya?

  Sang komandan datang mendekat, memasang sebuah senyum palsu yang tampak begitu terlatih "Celine! Senang melihatmu baik-baik saja. Tak kusangka kau telah bertambah lebih kuat" Pujinya dengan kebahagiaan yang dibuat-buat.

  Celine tentu tak menyadari ini dan menganggap itu adalah sebuah pujian tulus dari hati "Oh, terima kasih. Aku dapat melakukannya berkat Zent"

  Nama terakhir yang disebutkannya berhasil membuat wajah Sang komandan berubah total, penuh akan kebencian dan amarah. Akibat kecemburuannya itu, ia lupa mengendalikan raut wajah di depan Celine yang melihatnya sedang menatapku dengan begitu tajam. Seandainya saja kita hanya berdua, aku yakin dia sudah maju menerjang untuk membunuhku.

  "Loid, dia-

  "Zent gunakan perisai manamu!"

   Berkat Z, aku dapat menggunakan perisai mana dan kemampuan bergerak cepatku untuk menahan serangan perempuan tersebut yang tahu-tahu sudah muncul di samping Celine. Sayangnya, karena perbedaan kekuatan yang terlalu besar, aku justru terlempar ke belakang menghantam kuat sisi sebuah bangunan hingga masuk ke dalam, merusak dinding bangunan itu.

  Celine tak tinggal diam. Dia kembali mengerahkan mana yang tak sedikit untuk mengirimnya terbang melayang menghantam bangunan di seberang hingga tembus ke bangunan belakang "Rayven segera cek keadaan Zent!" Perintahnya sebelum melompat ke bangunan tersebut bersama Rio dan diikuti oleh Sang komandan yang menoleh padaku, memerhatikanku untuk sejenak lalu bergabung dalam pertarungan.

  "Zent! Bagaimana keadaanmu?" Seru Rayven sembari memanjat masuk timbunan batu "Oh, aku lupa kau memiliki kemampuan regenerasi" Ucapnya ketika melihatku baik-baik saja, seakan tak pernah menghantam dinding begitu kuat hingga hancur menggunakan tubuh sendiri.

  "Di mana tuan putri dan Mr. Anderson?" Tanyaku sembari menepuk-nepuk pakaian.

  "Mereka telah aman di perkemahan, menggunakan jalur rahasia istana. Tenang saja, mereka tak apa-apa. Kita hanya perlu menghadapi perempuan itu lalu semuanya kembali seperti semula"

  "Aku tak merasa seperti itu. Aku justru merasa ini hanyalah awal, awal dari sebuah badai besar yang belum pernah kita semua rasakan" Kami berjalan keluar, mencari di mana mereka bertiga berada dan menemukan kilatan cahaya-cahaya terang dalam warna berbeda di kejauhan. Tak kusangka mereka sudah sejauh itu. Mereka semua berada pada level yang berbeda, apa yang dapat kulakukan selain menjadi perisai hidup?

  "Kalian takkan dapat mengalahkannya"

  Kami serentak berbalik, menemukan Mr. Anderson sedang berdiri tak jauh di belakang sembari memerhatikan ke arah yang sama "Mr. Anderson! Apa yang anda lakukan di sini? Bagaimana dengan tuan putri?" Tanyaku khawatir.

  "Luna aman di perkemahan. Kini dia sementara tidur sembari memeluk Mr. Ted. Terima kasih karena telah menemukannya untuk Luna" Ucap Mr. Anderson sembari membungkukkan tubuh yang buru-buru kuangkat perlahan sembari menggeleng pelan.

  "Tidak, Mr. Anderson. Bukan akulah yang mendapatkannya, melainkan dua goblin bersaudara. Kami hanya kebetulan bertemu mereka dan singkat cerita mereka memberikan boneka milik tuan putri" Jelasku, hanya dapat melihat ke bawah, merasa gagal terhadap diri sendiri.

  Mr. Anderson justru tertawa keras, menepuk pundakku dan mengatakan "Kau terlalu merendahkan dirimu Zent. Aku sudah mendengar semua yang terjadi selama berada di sana. Kau pantas untuk merasa bangga akan pencapaianmu itu, tetapi.. " Tiba-tiba listrik berwarna biru terang tampak keluar dari dalam tubuh laki-laki berumur itu, menyambar ke jalan disertai bunyi menyeramkan "Kita masih ada hal yang harus diselesaikan. Mari berbicara lebih lanjut ketika semua ini telah selesai" Ketika baru akan melangkah, Mr. Anderson teringat oleh sesuatu dan buru-buru merogoh kantung, melempar sebuah kotak biru transparan padaku "Gunakan itu, hadiah dari Luna. Dia memintaku untuk memberikannya padamu"

  Hanya dalam sebuah kedipan mata, Mr. Anderson tahu-tahu sudah berada di atas atap bangunan di depan. Sebuah jalur listrik panjang tercipta dari tempatnya berpijak tadi hingga ke sosoknya yang sedetik kemudian sudah menghilang hanya menyisakan ekor listrik terang, memberitahu kami ke arah mana dirinya bergerak.

  Ini.. Glory!?

  Rayven akan mengatakan sesuatu, namun mendengar pertarungan di kejauhan membuatnya mengurungkan niat dan beranjak pergi duluan sesudah mengatakan "Menyusullah ketika kau sudah siap!" 

  Aku mengangguk, memerhatikan kubus yang terasa asing itu, bingung harus melakukan apa dengan ini. Tiba-tiba, kubus tersebut melayang di udara, berputar cepat dengan cahaya biru tampak makin terang sebelum akhirnya kubus itu terpisah menjadi beberapa bagian. Tampak benang-benang cahaya dari satu bagian ke bagian lainnya yang  kemudian bergerak mendekat, menempel pada tubuhku, membentuk sebuah zirah futuristik dalam warna hitam berhiaskan lampu neon biru.

Aku tersenyum melihat hadiah pemberian Luna, mengucapkan "Terima kasih" dan menyusul Mr. Anderson yang sudah hampir sampai. Tak sampai dua detik kemudian, sebuah petir menyambar tak jauh di depan, tanda Mr. Anderson telah bergabung dalam pertarungan. Berkatnya, aku yakin pertarungan akan jauh lebih mudah ketimbang sebelumnya. Namun, di saat bersamaan, perasaan tak enak terus bersemayam dalam dadaku semenjak Mr. Anderson menampakkan diri yang kuharap bukanlah apa-apa.