webnovel

Part 24

  Zent terbangun, terengah-engah serta basah oleh keringat dingin. Entah mengapa, ia merasa hatinya tak dapat tenang semenjak tiga Ksatria itu pergi dan sekarang, perasaan tersebut bertambah berkali-kali lipat hingga membuatnya basah kuyup seperti sekarang. 

  Di dalam gua buatan yang kini menjadi sebuah reruntuhan, Celine dan kedua sahabatnya masih aman di bawah kubah mana milik Celine yang kini berubah hijau, membuat Celine sendirit tersentak kaget dan menarik tangan kiri dari dinding di belakang yang membuat kubah tersebut perlahan memudar. Kotak-kotak putih itu bergerak, tanda akan jatuh jika kubah benar-benar menghilang dan Celine kembali meletakkan telapak tangan pada dinding yang kini tampak mengeluarkan cahaya hijau redup.

  Rayven dan Rio masih belum sadar, terbaring lemas, tak menunjukkan tanda-tanda mereka akan siuman. Celine berusaha keras mengendalikan diri sendiri, tahu jika dia kehilangan kendali, maka dia dan kedua sahabatnya dipastikan mati. Celine menghela napas panjang, menenangkan pikiran yang justru memperlihatkan wajah Zent, membuat Celine merasa rindu dan akhirnya memanggilnya dengan pelan.

  "Zent.. "

  Aku bangkit berdiri, memeriksa pantulan diri pada kaca di depan, lalu beranjak ke arah jendela di mana dari sana, kota tampak telah hidup oleh berbagai aktivitas. Di bawah, hanya terdapat beberapa pelayan serta prajurit yang sedang berjalan ke arah tujuan masing-masing. Aku menunggu hingga mereka hanya tersisa sedikit, membuka jendela dan begitu akan melompat, sebuah suara terdengar, menyahut keras dari bawah.

  "Lucy! Lucy! Apakah mereka telah kembali?" Tanya tuan putri penuh harap. Namun binar pada kedua mata cantik itu seketika menghilang, tergantikan oleh sebuah kesedihan saat mendengar jawaban pelayan.

  "Aku yakin mereka akan kembali tak lama lagi, nona Luna. Jadi, bagaimana kalau sekarang kita mempersiapkan pesta penyambutan mereka?" Lanjut pelayan tersebut sembari tersenyum penuh semangat yang kemudian di balas oleh tuan putri dengan sebuah senyuman lebar, bangga akan diri sendiri.

  "Aku telah menyiapkan pesta khusus di kamarku untuk menyambut mereka!" Serunya riang "Aku hanya perlu menyiapkan sebuah kue lalu selesai!"

  Pelayan tersebut bertepuk tangan, kembali melanjutkan "Kalau begitu, ayo kita ke dapur. Aku yakin Chef Eduardo siap membantu nona Luna"

  Tuan putri mengangguk setuju dan ikut bersama Sang pelayan menuju dapur mansion yang terletak cukup jauh. Ketika mereka sudah tak lagi terlihat, barulah aku menginjakkan kaki pada bibir jendela, menghela napas berusaha menekan rasa takut kemudian melompat ke bawah dan berguling ke depan ketika menyentuh tanah agar kakiku tak patah sesudah melompat dari lantai dua.

  Kemudian, aku berlari menuju tempat di mana Hoverbike tersimpan,  mengambil salah satu kunci yang tergantung pada gantungan kuci sesudah memastikan tempat tersebut kosong kemudian menggunakan HB salah satu prajurit untuk segera menyusul ketiga ksatria yang sudah membuat perasaanku tak nyaman.

  Namun, ketika baru saja berbelok, akan keluar dari gerbang, Mr. Anderson telah berdiri di sana sembari melipat lengan dengan tatapan tajam.

 

  Buru-buru aku menekan rem sembari memiringkan Hoverbike agar tak menabrak dan untungnya Hoverbike berhenti satu meter di depan Sang pemilik mansion. Aku menghela napas lega, lalu menoleh pada Mr. Anderson yang datang mendekat sembari menggenggam sebuah insignia berwarna biru dan silver yang tampak begitu indah.

  "Aku tahu aku takkan bisa menghentikanmu, meskipun seharusnya kau beristirahat terlebih sesudah menggunakan sihir Tier 5 tanpa sebuah mana. Tapi.. " Ia menyerahkan insignia tersebut padaku dengan sebuah senyuman hangat "Aku juga tahu kau tak dapat meninggalkan mereka begitu saja, pergilah, aku yakin mereka membutuhkan bantuanmu" Mr. Anderson mengambil tanganku, meletakkannya di sana dan memerhatikan insignia tersebut untuk sesaaat, lalu menarik kembali tangannya.

  "Papa di mana?"

  Seketika, mata kami terbelalak lebar dengan Mr. Anderson buru-buru pergi ke arah datangnya suara "Cepat! Jangan sampai Luna melihatmu!" Serunya, lalu menghilang di balik pembelokan yang sama "Ahh, putri papa! Apa Luna membutuhkan-

  Aku menancap gas, tak lagi dapat mendengar suara mereka yang membuatku tersenyum.

  Mengapa Mr. Anderson memberikan insignia tersebut? Tanyaku pada diri sendiri ketika telah sampai di bibir hutan, di mana terdapat tiga Hoverbike tanpa pengemudi, tersembunyi di balik semak-semak belukar. Sudah pasti milik mereka bertiga. Melihat itu, aku mempercepat langkah menyusuri hutan sembari berusaha melihat jejak-jejak mereka yang seharusnya tak begitu sulit ditemukan mengingat mereka hanya akan mengambil kembali sebuah boneka sehingga tak perlu menyembunyikan jejak.

  Tak butuh waktu lama sampai jejak pertama kutemukan, sebuah tanda yang di ukirkan pada sebuah batang pohon bertuliskan 'R'. Aku tak tahu R ini Rayven atau Rio, tetapi aku yakin salah satu dari mereka memberikan jejak yang dapat kuikuti seandainya aku telah sadar.

  Aku lanjut berlari masuk lebih dalam sembari mencari-cari ukiran yang lain dan menemukan beberapa lagi. Namun, ketika akan melanjutkan perjalanan dari tanda kelima, aku terpaksa bersembunyi di balik semak-semak, mendengar suara dua orang yang sedang berbicara dengan nada sedikit tinggi seakan mereka adalah anak kecil. Tetapi, begitu aku melihat ke arah datangnya suara dari sela-sela semak, mereka bukanlah anak kecil, melainkan tiga goblin dengan zirah yang tampak terbuat dari besi bekas serta pedang usang. Dua dari goblin tersebut berukuran kecil layaknya seorang bocah berumur 12 tahun, tetapi goblin di tengah yang tampaknya adalah pemimpin mereka, berukuran lebih besar, hampir menyamai laki-laki dewasa berbadan kekar. Goblin ini menggunakan zirah yang sedikit lebih baik dengan sebuah tombak pada tangan kanan dan perisai kayu berpinggiran besi pada tangan kiri.

  Apa aku dapat melawan mereka dengan kekuatanku yang sekarang? Tapi, aku tak tahu apakah aku dapat mengeluarkan sihir yang sama seperti yang kugunakan sebelumnya dan bagaimana kalau aku jatuh pingsan lagi?

  Tiga goblin di depan tampak tak ingin beranjak pergi dan butuh waktu lebih lama bagiku untuk berputar, memgambil jalan lain. Perasaan tak nyaman dalam dadaku terasa makin mendesak keluar, seakan mengatakan hal buruk telah terjadi pada mereka bertiga, sehingga aku harus bergerak cepat atau aku bisa saja kehilangan-

  Tidak tidak tidak. Berhenti memikirkan itu. Fokus terhadap situasi sekarang.

  Ah! Bukankah aku memiliki kekuatan tambahan saat melompati mobil? Mungkin, aku dapat menggunakannya lagi-

  Tahu-tahu, tubuhku sudah melaju ke depan dalam kecepatan tinggi hingga membuat ketiga goblin tersentak kaget. Untungnya, tubuhku berhenti sebelum menabrak mereka, namun, elemen kejutan telah hilang dari tanganku dan sekarang aku hanya dapat melawan.

  Sial, kenapa tiba-tiba kekuatan itu keluar sendiri? Ataukah..

  Saat aku berpikir untuk melompat tinggi, tubuhku sekali lagi, sudah berada di udara, para goblin terkejut melihatnya, menunjuk ke arahku sembari menggenggam senjata masing-masing dengan erat. Aku yang tak tahu harus melakukan apa, hanya mengikuti insting, mengarahkan telapak tangan pada ketiga goblin yang terlihat makin mendekat dan berikutnya, sebuah bunyi mendentang kuat tercipta diiringi hempasan energi besar serta angin kencang, membuat kedua goblin di belakang makin waspada sementara goblin besar yang kini berusaha menahan perisai biru milikku dengan perisainya, mengayunkan tombak dari samping, mengirimku terbang menghantam sebuah pohon.

  Sakit, itulah yang kurasakan. Begitu sakit sampai membuat penglihatan kabur dan energi yang tadinya meluap dalam tubuh, seketika menghilang, membuatku sulit untuk bangkit berdiri tanpa sempoyongan layaknya orang mabuk.

  Aku menatap mereka yang kini perlahan datang mendekat dengan goblin besar memutar-mutar tombak miliknya. Dia tersenyum, memintaku untuk datang menghadapinya dari sepasang mata kuning tersebut.

  "Hey, dia menantangmu, apa kau akan menerimanya? Kusarankan kau lari mencari jalan lain-

  "Apa? Lari? Seseorang menantangku dan aku lari?" Aku mendengus geli mendengarnya "Aku mungkin sering kabur dari perasaanku sendiri, tapi ketika seseorang datang menantang, itu adalah sebuah cerita yang berbeda!"

  Dalam hitungan satu detik, aku sudah berada di depan, melompat dan  memutar tubuh, memberikan sebuah tendangan keras pada pelipis goblin tersebut, gantian mengirimnya terbang ke samping dan tak berhenti hanya sampai di sana. Aku maju menerjang dua goblin yang juga tak siap, menendang salah satunya pada tulang rusuk, merasakan beberapa tulang tersebut patah yang cukup membuat mataku melebar, lalu lanjut memberikan sebuah tendangan menggunakan punggung kaki, mengenai wajah goblin ketiga.

  Beberapa giginya lepas keluar diikuti oleh cairan merah kental yang kemudian jatuh menodai tanah.

  Aku berbalik menghadap goblin besar yang kini berusaha bangkit berdiri menggunakan tombak sebagai penyeimbang, mengarahkan tangan kanan ke depan dan menggoyangkan jari telunjuk bersama jari tengah, menantangnya untuk datang mendekat.