webnovel

PERMINTAAN

"Tolong aku Venus!"

Venus hanya bisa menganga saat itu juga dengan kedua mata yang membulat sempurna. Dia tercekat, tubuhnya pun tidak bisa di gerakan ketika dia melihat Gendik dengan rupa yang begitu berbeda. Wajahnya hancur, darah menetes di mana-mana dengan bau yang tidak sedap. Ada sedikit bau gosong, tapi Venus tidak tahu di mana luka bakar itu. Dia tidak mencoba untuk mencari tahu, tidak bisa melakukan hal itu karena yang ada di pikirannya sekarang adalah bagaimana caranya untuk bisa pergi dari tempat menyeramkan ini.

"Venus, bantu aku ya!" ucap Gendik seraya mengelus rambut panjang Venus. Dia tertawa begitu nyaring, membuat siapa pun yang mendengar suara tawanya pasti akan merinding, dan ingin segera kabur.

Kulit tangan wanita itu begitu kasar, dan kuku hitam panjang itu ikut menyentuh kulit wajah Venus yang begitu mulus. Wangi anyir tercium begitu pekat sekarang, di semua sisi tubuh Gendik memiliki darah yang tidak terlihat. Venus mencoba untuk berdoa, meminta pertolongan pada Tuhan agar dia segera bisa terbebas. Kedua matanya mulai terpejam, hanya untuk beberapa saat.

Dalam hitungan ke lima, dia membuka kedua matanya cepat. Hembusan napas lega keluar begitu Venus mengenal ruangan ini. Kamarnya. Tempat yang dia rindukan selama berada di tempat tadi.

Venus mengubah posisinya menjadi duduk, menyeka keringat yang keluar di pelipisnya sambil mencoba untuk bernapas dengan benar. Tidak menderu seperti orang yang baru saja ikut lomba lari.

"Cuman mimpi," gumamnya, meyakinkan dirinya sendiri agar tidak takut, dan tetap merasa aman. Meskipun sebanarnya sekarang dia mulai takut pergi ke belakang. Menuju dapur, dan melewati ruangan khusus itu.

Cerita dari Gendik masih belum bisa di percaya, Venus rasa dia harus mencari sesuatu agar bisa hidup dengan tenang. Namun, dia bingung harus memulai darimana, lagi pula dia juga tidak memiliki kekuatan super seperti kakeknya. Tidak akan bisa mengunci Gendik sebagaimana kakeknya lakukan dulu.

Venus menghela berat, dia menoleh ke arah jam dinding yang menunjuk pada angka tiga pagi. Sebentar lagi masuk subuh, dan adzan maghrib pun pasti akan terdengar begitu jelas. Venus memilih untuk tidak tidur, rasa kantuknya berganti dengan rasa takut. Dia tidak ingin bertemu dengan Gendik lagi, tidak mau pula kembali menyusuri hutan gelap yang begitu menyeramkan.

Tidak mau lagi, Venus sudah kapok.

****

"Pagi semuanya!" sapa Venus dengan senyum yang sangat lebar. Wajahnya nampak berseri sekarang, padahal semalam dia mendapatkan mimpi yang amat buruk. Dia duduk setelah semua anggota keluarga menjawab sapaan yang dia berikan. Seperti biasanya, duduk berhadapan dengan Naratama yang menyebalkan.

Pagi Indira menyiapkan roti bakar dengan tambahan buah stroberi, dan keju parut di dalam mangkok. Masing-masing anggota hanya boleh mengambil satu sendok, dan maksimal dua sendok makan. Katanya sudah di ukur, dan kata Indira juga takarannya sesuai dengan anggota keluarga mereka. Jadi tidak ada yang tidak mendapatkan keju parut itu.

"Widih! Ada jus stroberi juga." Venus menegak sedikit jus stroberi tanpa susu, mengangguk-anggukkan kepalanya beberapa kali, dan kembali berkata, "Enak banget! Buatan Mama emang yang terbaik sih ini namanya."

"Ahahah! Kamu bisa aja sih Ven," sahut Indira.

"Ih! Beneran tau Ma. Iya gak Kak?"

"Jus alpukat lebih enak tapi Ma," timpal Naratama dengan wajah tak berdosanya, tapi tentu ada balasan dari Venus. Dia menendang kaki kiri Naratama tanpa memikirkan rasa sakit yang di derita sang kakak.

"Rasain!" gumamnya.

"Pa, masa kakiku di tendang sama Venus!" adu Naratama bak anak kelas 1 SD.

"Venus, jangan bikin masalah ayo dong sayang yang akur sama kakaknya!" Atmaja selalu memberikan teguran dengan suara yang terdengar santai, tapi juga tegas. Sementara Indira hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya karena tingkah dua anaknya yang masih belum bisa menjadi orang dewasa.

Tentu dia tahu Venus masih remaja, bahkan baru saja menginjak dewasa, tapi dia berharap pada gadis kecil itu untuk segera menjadi gadis yang dewasa. Dewasa dalam cara bersikap yang dia inginkan, karena selama ini Venus dan Naratama yang selalu menjadi pembuat masalah di keluarga mereka.

"Papa hari ini ke kantor sama Mama gak?" tanya Venus sambil mengunya roti kejunya.

"Iya, papa sama Mama harus ke kantor hari ini. Ada berkas yang harus di tanda tangani, Mama juga harus ambil uang di bank buat gaji pekerja papa," sahut Atmaja, dia tak lagi sibuk dengan kopi dan roti. Kali ini menatap lawan bicaranya dengan senyum yang lumayan tipis. "Kenapa emangnya Ven?"

"Gapapa sih nanya aja, soalnya akhir-akhir ini kan Papa sama Mama sering keluar. Jadinya aku sendirian di rumah, Kak Edgar di kantor sampai malam, sementara Kak Naratama suka pulang sore juga karena ada ekstrakulikuler. Sementara aku pulang jam dua atau jam tiga sore. Rumah selalu kosong."

"Bukannya lo punya temen ya di belakang sana?" timpal Naratama dengan nada suara yang terdengar menyebalkan.

"Arka maksudnya?"

"Ho'oh! Si Arka cucunya kakek itu, lupa gue namanya siapa. Ada dia kan, ngapain nanya sih?"

Venus menghembuskan napas jengahnya, mencoba untuk bersabar sebelum berkata, "Arka tuh ada kesibukan lain tau ih!"

"Sibuk apa Ven? Mama sering liat loh dia di rumah aja, seringnya liat dia cuci sepeda motornya aja. Mama pikir dia gak sesibuk kaya kakak-kakakmu ini," sahut Indira.

Venus tidak begitu yakin, dia merasa Arka tidak menerimanya ketika berada di rumah. Sementara di sekolah, cowok itu terlihat sangat ramah pada semua orang. Termasuk padanya.

"Papa kenal sama kakeknya Arka, akrab malahan. Cuman ya gitu gaj tau nama aslinya siapa, tapi karena kalian temen satu sekolah, nanti papa coba ngobrol sama kakeknya Arka supaya Arka bisa nemenin kamu waktu di rumah gak ada orang."

Venus menoleh, kedua matanya membulat karena terkejut. "Ih! Papa kok malah mau ngobrol sama kakeknya Arka sih? Aku tuh gapapa sendirian di rumah, gak ada masalah apa-apa kok."

"Gak ada masalah kok tadi ngerengek kaya bayi kucing," sindir Naratama tanpa menatap lawan bicaranya.

Venus kembali menendang kaki Naratama tanpa memikirkan rasa sakit yang dia berikan untuk yang kedua kalinya.

"Daripada kamu sendirian di rumah, lebih baik ada temennya. Lagian gak lama kok Ven, palingan cuman dua sampai tiga jam aja. Nanti biar papa aja yang ngomong ke kakeknya Arka, kamu tenang aja!" ucap Atmaja lagi, dan kembali menyantap kopi hitam bersama koran yang baru saja dia buka. "Temenan sama semua orang ya Venus, yang baik jadi anak papa sama Mama ya!"

"Hm, iya."