webnovel

TGDT 6

"Kamu di mana Dea, Sayang. Aku minta maaf, kembalilah," Rama meratapi kepergian istri pertamanya, saat ini Rama sudah ada di kamar rumah sang mama yang dulu dia tempati sebelum menikah dengan Dea. Tidak lama terdengar dering ponsel milik Rama.

"Ya, halo," jawabnya singkat begitu telepon tersambung dan saat mengetahui yang menghubungi adalah istri keduanya.

"Kamu ngga pulang kerumah, Sayang?" tanya Raya dari seberang, Rama menghela nafas, dalam hati dan fikirannya, apa wanita itu tidak mengerti dirinya sedang bersedih karena wanita yang dia cintai pergi, dan itu ulahnya.

"Ini aku pulang," sahut Rama malas, "kamu perjalanan pulang kesini?" tanya Raya terdengar bahagia.

"Ngga, aku pulang kerumah Mama. Aku pulang kesana kalau Dea udah ketemu. Ada apa menelponku?" tanya Rama to the point, terdengar wanita itu berdecak.

*Kenapa harus nunggu dia sih," ketus Raya tidak terima, "kenapa aku selalu di nomer dua kan?" tanya Raya seperti tidak terima.

"Karena kau memang yang kedua, dan selamanya akan menjadi yang kedua," ketus Rama, "sudah aku mau istirahat, lelah tubuhku," timpal Rama.

"Kalau lelah kesini aja, Sayang. Tar aku pijit," ucap Raya dengan suara mendayu-dayu. Klik sambungan telepon itupun Rama matikan tanpa menjawab dan ponselnya dia mode pesawat agar Raya tidak lagi menganggunya, dibukanya galeri ponsel miliknya.

Di sana banyak foto Dea dan dirinya yang terlihat begitu bahagia, sampai petaka itu datang, Ingatan tentang kejadian yang membuat wanita yang dia cintai berubah.

Flashback on

"Halo, Sayang," sapa Dea saat dia menelpon.

"Apa kabarmu? Maaf aku belum bisa pulang, masih ada kerjaan di luar kota," bohong Rama waktu itu, dan Rama membayangkan wanita itu pasti sedang cemberut tapi terlihat menggemaskan dan seksi. Memang Rama sering bepergian ke luar kota, namun hanya dua hari.

Dan semenjak menikah dengan Raya, istrinya itu ikut ke luar kota, tanpa sepengetahuan Dea tentunya.

"Aku baik....." ucapan Dea terputus karena ada yang memanggil dirinya.

"Sayang. Mas Rama, kamu telepon siapa? telepon istrimu, kan ini jadwalmu denganku, cukup ya aku mengalah pada wanita miskin dan mandul itu," wanita yang mengaku istrinya merajuk.

"Tapi mas merindukan dia, Raya," Rama sangat geram pada istri keduanya ini, Rama belum sadar jika sambungan itu masih menyala.

"Cih, apa bagusnya wanita mandul itu," cibir Raya yang membuat Rama ingin memaki wanita dihadapaannya, sejenak Rama menghirup udara sekitar dan merayu Raya agar pergi. Dengan kesal wanita itu akhirnya pergi dengan menghentak-hentakkan kakinya, saat Rama ingin meletakkan ponselnya matanya terbelalak.

"Ya Tuhan, Dea!" pekik Rama kemudian, berkali-kali Rama mencoba menghubungi istri pertamanya, Dea. Namun tidak juga diangkat, terakhir kali mencoba nomer ponsel Dea sudah tidak aktif, "maafkan aku, Sayang. Maaf aku sudah berbohong padamu," sesal Rama lalu mengusap wajah tampannya dengan kasar lalu menjambak rambutnya.

Seminggu sudah ponsel Dea tidak aktif dan dia akhirnya pulang kerumah Dea karena ini jadwalnya bersama Dea, wajah Dea tidak terlihat sedih, namun Dea irit bicara dan dingin, saat Rama akan menyentuhnya, dengan kasar Dea menepis dan meninggalkan dirinya.

Saat di kamar pun Rama sudah menjelaskan ini adalah keinginannya sang mama, Dea juga tahu kalau mama Rama sudah lama menginginkan cucu. Berkali-kali Rama menolak perjodohan tersebut, dengan alasan sangat mencintai Dea dan tidak akan menyakiti wanita-nya.

Namun sang mama dan istri keduanya sepertinya menjebak dirinya hingga pernikahan itu terjadi dan tanpa restu Dea, Dea dan Rama dulu berfikir masih banyak di luar sana yang sudah menikah bertahun-tahun namun masih belum dikaruniai momongan dan akhirnya mereka berhasil.

Pagi harinya, Dea terlihat biasa. Ada rasa bahagia di hati Rama, namun Dea masih belum tersentuh. "Dua minggu mas tinggal di sini," ucap Rama kala itu, "hmm," sahut Dea singkat.

"Mas akan turuti apapun permintaan kamu sebagai penebus kesalahan yang mas buat," sambungnya, namun Dea yang sedang mencuci piring tidak menoleh.

"Kamu dengar ngga aku bicara!" sentak Rama sambil menarik lengan Dea, membuat wanita-nya hampir jatuh, "maaf, mas ngga sengaja," Rama berniat menolong namun Dea mengelak dan berdiri dihadapannya.

"Bebaskan aku," kata Dea dengan tenang, Rama tahu sifat Dea keras kepala, tidak mudah di pengaruhi, berpendirian teguh. Jika Dea ingin ini maka harus terjadi, beruntung Dea tidak banyak permintaan.

"Tidak, aku tidak akan menceraikanmu. Aku mencintai dirimu, Sayang," Rama mencoba meraih tangan Dea namun gegas ditarik dan Dea menjauh.

"Ck, egois," cibir Dea tanpa airmata, "oke, aku ngga akan meminta cerai. Tapi aku ada syarat," Dea meletakkan jarinya di dagunya yang lancip.

"Katakan," pinta Rama, perasaannya mulai tidak enak, "pertama jangan pernah kau bawa WANITA-MU itu kemari, jika tidak kau tidak akan pernah melihatku lagi," Rama mengangguk menyetujui permintaan pertama Dea.

"Kedua, aku tidak ingin kamu menyentuhku. Kecuali aku yang mau," Rama mengeram marah, tangannya mengepal tapi ini adalah konsekuensi yang harus dia terima.

"Ketiga, mulai hari ini setiap aku kemana pun kapan pun, kamu ngga perlu kirim pengawal, tenang saja aku tidak akan kabur, aku akan kabur jika permintaan pertama dan ketigaku kamu langgar," ucap Dea santai.

Braakk, tangan kekar Rama menghantam kran yang ada di sebelah kirinya, dan akhirnya air kemana-mana. Tanpa sarapan Rama gegas pergi ke kantor dengan perasaan dongkol.

Di kantor pun masalah semakin rumit, ada beberapa klien yang protes dan berniat membatalkan kerjasama mereka, namun dengan keyakinannya akan meyakinkan klien tersebut mereka tidak jadi menarik saham mereka.

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan berganti minggu, minggu berganti bulan sampai kejadian yang membuat Dea pergi tanpa dia duga.

"Sayang, aku ingin tinggal bersama Dea. Kan menurut cerita mama, dia tidak punya teman," rayu Raya kala itu, sebenarnya Dea memiliki banyak teman dan sahabat, namun semenjak Dea menikah Rama membatasi pergaulan istrinya dengan teman-temannya, apalagi teman Dea kebanyakan pria.

Rama tahu, diantara mereka ada yang memiliki perasaan lebih karena sikap Dea yang humoris, supel, periang dan baik hati. Dan alasan itulah yang membuat dirinya jatuh hati pada Dea, gadis polos yang keras kepala.

"Sayang, kenalkan ini Raya. Istri kedua mas," ucap Rama kala itu, tapi Dea hanya diam dan menatap sinis pada kedua orang yang berdiri di depannya. Dan semenjak itu Dea sering pulang malam, walau bersama wanita namun Rama tidak suka.

"Sayang, aku tidak suka kamu pergi-pergi dengan sahabatmu itu," ucap Rama, saat ini mereka berada di kamar Dea.

"Urus saja istri keduamu, kamu sudah ingkar akan janjimu, jadi kamu beruntung aku tidak pergi atau meminta cerai darimu," ketus Dea dengan matanya yang tajam. Ceklek, pintu kamar Dea terbuka, nampak Raya masuk dan menelisik kamar tersebut.

"Kamarmu desainnya bagus juga, seleramu ternyata tinggi juga," ucap Raya masih memandang kagum kamar Dea, seketika Dea berdiri dan berhadapan dengan Raya.

"Lu suka?" Raya mengangguk dan masih menatap kagum kamar tersebut, "desain kamar lu sendiri, biar suamimu betah di kamar," ketus Dea lalu melenggang masuk kamar mandi.

"Mas, aku mau kamar ini dong. Bagus dan nyaman, kamarnya lebih luas dari kamar kita di rumah satunya," Raya menghampiri Rama dan duduk di tepi ranjang milik Dea.

Prangg, suara kaca pecah. Rama dan Raya terkejut refleks menoleh, ternyata Dea melempar botol parfum dan mengenai meja kaca tempatnya berhias.

"Kata suamimu, kamu kaya. Kenapa tidak mencari rumah dan interior yang lebih bagus dari ini?" tanya Dea santai, namun berbeda dengan Raya dan Rama, wajahnya memerah menahan marah.

"Aku juga suamimu, Dea!" sentak Rama tidak terima, "sudahlah keluar kalian, aku mau tidur," Dea membuka pintu dan mempersilahkan mereka keluar, dengan hati kesal dan marah akhirnya mereka keluar dan menuju kamar khusus mereka.