webnovel

SUCI : Menyembuhkan Luka

Dilecehkan. Merasa direndahkan. Itulah perasaanku saat melihat tiga buah testpack ia berikan padaku. Ardi ingin aku tes kehamilan. Padahal ia belum pernah sekalipun meneteskan air kehidupannya ke dalam rahimku. Segitu bobrokkah aku di matanya?

Apa ia tak dapat melihat ketulusan di dalam beningnya hatiku? Hatiku ini telah retak, dan kini pecah berkeping-keping karena berkali-kali dibantingnya.

Padahal aku sudah berusaha memahaminya. Berusaha tidak bertanya, ke mana ia pergi di malam itu. Berusaha tenang meski aku tahu, ada parfum wanita lain menempel di bajunya. Aku yang mencuci baju itu. Membersihkan sisa-sisa kenangannya dengan entah siapa.

Andai ada alat tes kesucian pria. Ingin kuborong juga untuk kusodorkan padanya. Apa ia tak tahu, bahwa aku juga terluka saat menyadari ia telah menghabiskan malamnya bersama perempuan lain. Namun aku tidak bertanya, apalagi menyudutkannya. Aku hanya diam.

Demi merebut hatinya, aku sudah menelepon mamanya dan menanyakan resep-resep masakan kesukaan pria berhati besi itu. Demi dia, aku seorang wanita yang tak suka berkutat di dapur kini melebur. Demi dia, aku rela makan sambal terasi yang pedas dan membuat luka di bibirku terasa perih. Hanya demi bisa melihat dia makan dengan lahap!

Dan pria yang tampan fisiknya, tetapi tidak tampan hatinya itu justru merusak suasana dengan memberikan testpack! Ya Rabbi, apa ia punya hati nurani? Belum hilang lelahku karena memasak baginya, bukan dipuji, tapi malah dicurigai.

Aku tak bodoh seperti katanya. Aku tahu siang tadi ia sengaja video call karena ingin mematai-matai aktivitasku di rumah. Apa Ardi lupa bahkan aku juga manusia sepertinya? Aku juga bisa marah, bisa kesal, bisa curiga.

Sekuat apa pun aku tahan, toh akhirnya pertahananku jebol. Emosiku meluap bersama segala tekanan yang kudapatkan.

Maaf jika aku kasar. Engkau yang memulai, aku hanya merespon sebagaimana wanita normal merespon. Maaf, aku bukan Malaikat. Maaf, aku tak bisa sesabar istri Fir'aun dalam menghadapi semua cobaan ini.

Sebelum emosi membuatku menyiram air ke wajahnya, lebih baik aku lari ke kamar. Tempat peraduanku melepas semua tangis. Ranjang kami ini selalu basah oleh air mataku. Selalu, hanya aku yang menderita! Kenapa?

***

Kudengar langkah Ardi berjalan ke tempatku. Apa? Kau mau mengajak aku berdebat lagi? Ah, tambah kencang saja tangisku ini. Benar-benar aku sedang meratapi nasib. Haruskah aku menjadi landak untuk melindungi diri?

Ardi berdiri mematung. Lalu, buggg! Keras sekali tinjunya menghajar daun pintu. Tuhan, apa yang ia lakukan. Itu 'kan kayu jati!

Meski masih ingin menangis meluapkan isi hati, tetapi kecemasan lebih menguasai. Bagaimana jika tangan suamiku itu terluka? Masih dari ranjang, kuperhatikan kondisi Ardi. Ya Allah, tangannya berdarah.

Aku tambah kalut dan carut marut. Tergogop-gogop mendekatinya. Mengangkat jemarinya. Namun, ditepisnya. Darahnya mulai menetes ke lantai.

"Ya Tuhan .... Mas, apa yang kau lakukan?"

Aku memaksa melihat tangan kanannya. Tangan yang baru saja ia gunakan makan dengan lahap, kini berubah merah dan berdarah.

"Kau bilang aku bodoh, apa begini cara orang pintar bertindak? Melukai diri sendiri? Senangkah kau jika mamamu curiga padaku karena putranya terluka? Jangan lakukan itu lagi, atau ... aku pulang ke keluargaku," kataku membalikan semua yang dikatakan Ardi, Subuh tadi.

Aku hanya menggertak dengan mengatakan hal itu. Aku tak sungguh-sungguh ingin kembali ke ibu. Bisa syok beliau jika tahu putrinya kembali dicampakkan pria. Lebih parah lagi, ayah bisa kena serangan jantung atau stroke jika sampai aku bercerai sehari setelah menyandang status istri.

Hanya saja daya ingatku bagus. Dengan mudah aku bisa menghafal semua kata-kata Ardi. Apalagi, jika itu kata-kata yang membekas di hati.

Tak cukup begitu, aku juga berkata meniru nada suaranya, "Aku tak sanggup hidup dengan pria yang tak bisa mengontrol emosinya!" tegasku sambil berusaha menyeka air mata yang membuat mata ini buram.

Segera kuambil kotak P3K dan menuntunnya duduk di ranjang. Syukurlah Ardi tidak menolak atau membantah. Ia menurut saja saat kuminta duduk dengan tenang sementara aku mengobati luka-lukanya.

***

Luka Ardi cukup dalam. Kulitnya terkelupas. Ada robek di buku-buku jari itu. "Mas, kita ke rumah sakit saja setelah ini. Aku takut terjadi infeksi. Lagi pula, sepertinya lukamu harus dijahit," vonisku saat melihat separah apa lukanya.

"Kenapa kamu pukul pintu itu begitu kuat? Kau lupa itu kayu jati? Mungkinkah kau bisa mematahkannya dengan tinjumu itu?" tanyaku sambil tetap mengoles revanol untuk membersihkan lukanya.

"Kalau mau memukul, pukul saja aku. Setidaknya tanganmu tak akan luka. Dan jika itu bisa membuatmu lega, aku rela." Setelah membersihkan dengan revanol, aku mulai meneteskan obat merah pada luka. Sesaat tangannya bergeming.

"Sakit, Mas? Perih ya?" tanyaku cemas sambil melihat ekspresinya.

Lho, mata Ardi berkaca-kaca? Sesakit itukah?

"Masih sakit, Mas?" Aku bertambah cemas demi merasakan tangannya bergetar.

"Masih. Masih sangat sakit. Suci, kenapa kau buat aku sesakit ini?" katanya dengan suara parau yang belum pernah kudengar sebelumnya.

Air mataku kembali menyeruak demi mendengar kata-katanya. Marah berganti cemas, lalu berganti rasa bersalah. Iya, akulah yang bersalah di sini. Akulah yang memulai prahara ini. Akulah yang memimpikan surga, justru menjadikan rumah tangga ini neraka bagi kita berdua.

Aku menunduk, memohon maaf padanya. "Maafkan aku, Mas. Pukul saja aku seperti Nabi Ayub memukul istrinya untuk memberi pelajaran. Namun, jangan tinggalkan aku, seperti Nabi Nuh yang meninggalkan istrinya. Aku akan berubah, aku janji tak akan mengecewakanmu lagi."

Ardi membalasnya dengan menarik tubuhku dan memelukku erat. Aku pun kembali menangis di dadanya yang bidang. Dada yang memberiku kekuatan.

Ijinkan waktu berhenti Tuhan, agar kami dapat terus menyatukan dua jiwa yang sama-sama terluka.

Ada maaf yang tidak terucap dari bibirnya. Namun, aku bisa merasa. Ardi membawa luka trauma dengan masa lalunya. Ia mendendam. Sebelum sepenuhnya trauma itu sembuh, aku telah menyayatnya kembali di malam pertama. Tak sepenuhnya salah jika dia curiga. Hanya aku tak kuasa sabar menghadapi sikapnya.

"Mas, aku akan menggunakan testpack itu. Dan nanti jika hasilnya negatif, maukah kau berfikir positif padaku lagi. Seperti dulu, sebelum prasangka menjajahmu? Kisah kita dimulai sejak akad. Tidak ada hubungannya masa laluku dengan masa depan kita," bisikku di telinganya setelah air mataku mengering.

"Begitu pun masa lalumu. Tak ada hubungannya dengan pribadiku saat ini. Aku telah hijrah dari khilafku di masa lalu. Akan tetapi, jika kau tak mau memberiku kesempatan membuktikan, maka tak ada gunanya kita terus bersama."

Mendengar kata-kataku, Ardi mendekapku semakin erat sembari berkata, "Buktikan! Buktikan padaku bahwa kamu mencintaiku seperti aku mencintaimu. Jangan pernah khianati aku lagi, Suci Batrisyia. Jangan pernah lukai hati ini lagi. Bantu aku menyembuhkan luka ini. Sebab aku mau mengetuk pintu surga bersamamu."

***