webnovel

ARDI : Tugas Luar Kota

Aku tidak suka, lihat istriku tebar pesona pada pria lainnya. Di depan mataku pula. Membuat ketenanganku hilang seketika.

Apa ia tak mengerti, senyumnya manis sekali. Senyum yang membuatku mantap memperistri dia, meski belum jauh kumengenalnya. Bagi pria, cinta mudah tumbuh dari mata sampai ke hati. Berbeda dengan wanita, yang lebih mudah silau oleh harta dan tahta.

Apa ia tak mengerti, aku sengaja bolos demi dia? Ini pertama kalinya aku bolos. Bahkan saat frustasi paska Desi pergi, aku tak pernah punya alasan untuk bolos. Sebaliknya, jadi kian sibuk mengejar semua peristiwa untuk kuolah jadi berita. Namun Suci, tanpa beban ia membujukku pergi. Apakah itu tanda-tanda kebosanan dini? Padahal, aku tak bosan-bosannya memeluk tubuh itu.

Suci, aduh bagaimana aku mendefinisikan kuatnya gravitasi yang Suci akibatkan padaku? Apa karena kami pasangan baru? Kurasa bukan. Semua itu terjadi secara alami, karena aku mencintainya. Karena cinta itu, aku ingin menjaganya. Cinta pula yang membuat aku ingin memiliki dia seutuhnya.

Sayangnya, Suci adalah tipikal wanita yang mengkhawatirkan. Ia gadis, namun sudah tak perawan. Dia lemah lembut, namun tegas dan tak bisa ditindas. Saat malu, ia menggemaskan. Saat marah, ia menggairahkan. Saat tersenyum, ia menghanyutkan. Dan saat diam, ugh, menjengkelkan.

Terkadang aku luluh di hadapannya, namun tak jarang emosiku juga menggelegak melihatnya. Di mataku, ia terlalu acuh dan angkuh. Inikah namanya cinta bertepuk sebelah tangan?

Kuakui, aku tak bisa tenang meninggalkannya. Ada sesuatu yang membuatku rindu. Pelukannya, dekapannya, kepasrahannya. Semua tentangnya telah menjadi magnet bagiku.

Lalu Pimred, atasan yang otoriter itu justru punya tugas besar yang mengharuskan aku keluar kota. Tak tanggung-tanggung, selama seminggu! Aku jadi menyesal telah menangguhkan cuti. Padahal untuk cuti, harus diurus sebulan sebelumnya.

Teringat janjiku mengajak Suci ke Bali. Berdua saja. Fiuh ....

***

"Bos, kenapa orang cabang harus berangkat ke sana. Bukannya orang pusat sudah banyak reporternya?" protesku setiba di kantor.

"Bukan masalah ada enggak ada personil. Ini masalah konsep dan urgensi. Kantor pusat inginnya live dan bikin investigation report. Jadi butuh banyak reporter. Meski you divisi cetak, tapi kemampuan presenting you juga mumpuni. Sudah lama Dirut ingin merekrut you mengisi divisi televisi," katanya.

"Turuti saja jika you masih mau bertahan di sini. Berulangkali pusat sudah mengirim rekomendasi mutasi untuk oper you ke Jakarta. Kalau bukan aku mati-matian mempertahankan, mana mungkin aset sepertimu masih bercokol di cabang," imbuhnya sambil mengetuk-ngetuk meja dengan cincin akik di jari manisnya.

"Jadi bro, agar you bisa tetap damai di kota yang you cintai ini, sesekali turuti kemauan Dirut tanpa protes. Tak apa kan, sekali dua kali melancong. Jangan khawatirkan istri you. Wanita memang ditakdirkan menunggu. Jika ia tak setia, masih banyak yang lainnya. Jangan sampai wanita menghambat karir dan mengacaukan pekerjaan," nasehatnya.

Seolah setiap pria mudah jatuh cinta sepertinya, yang sudah beristri dua. Dan entah ada berapa wanita yang ia pelihara. Itu urusannya.

"Oh ya, satu lagi. Big bos mengamati YouTube-you. Kata Dirut, suka gaya you saat menyampaikan berita. Jadi untuk peristiwa yang sensitif ini, you harus terjun. Terutama untuk melakukan penelusuran ke pihak demonstran. Sebab di situ keahlian you dibutuhkan," mandat Pak Heru, Pimred Media Kejora tempatku bekerja.

Jika sudah Direktur Utama yang meminta, tak ada jalan lain selain berangkat. Inilah resiko pekerjaan yang memang harus kujalankan.

Dahulu, tugas ke luar kota begini adalah tugas paling membahagiakan bagi seorang bujang. Namun sekarang, ada istri yang baru saja kunikahi. Terasa belum tuntas kepuasan diri. Dan sore nanti aku harus segera melaju, meninggalkan kehangatan ranjang pengantin untuk tidur-tiduran di jalanan, lesehan di masjid-masjid, tidur di kantor berita, blusukan di belantara kota, bahkan jika diperlukan menginap di kantor polisi.

Memang, bukan sebuah perjalanan tugas yang nyaman. Meski tentu, ada fasilitas hotel jika dibutuhkan. Terutama untuk menyimpan barang-barang dan berganti pakaian. Aku menghayati betul pekerjaan ini. Pekerjaan yang menuntut kami selalu fleksibel, dimanapun dan kapanpun. Demi mendapatkan berita yang cepat, akurat dan berimbang, kami tidak boleh lengah.

Kuhirup nafas dalam-dalam. Berusaha tenang meskipun gelombang di dada seolah menahan langkah kakiku. Secepat ini aku rindu. Bagaimana nanti?

***

Dalam perjalanan pulang, anganku kembali melayang. Gagal sudah rencana muliaku untuk sholat Subuh dan Isya berjamaah dengannya. Janji menyimak dia mengaji juga bakal sulit dipenuhi.

Kini, tiba waktunya aku kembali ke masa-masa sulit. Masa di mana aku dengar suara adzan dan ingin segera memenuhi panggilan, namun rekaman peristiwa belum ada di tangan. Masa di mana harus fokus liputan, hingga melalaikan kewajiban.

Terkadang di Hari Raya sekalipun, harus tetap pegang kamera untuk mengabadikan kepala daerah sholat Ied berjamaah. Dan kami, para jurnalis harus berdiri di sudut. Merekam moment-moment sakral jamaah yang larut dalam sholat-sholatnya. Membidik ekspresi para pejabat, yang entah sedang berdoa apa. Mungkinkah karena itu hatiku jadi keras? Mudah marah, tak terarah, dan selalu merasa kosong meski berada di dalam keramaian.

Lagi-lagi aku mendesah. Gairah untuk mengejar berita agak memudar. Namun, aku juga tak bisa meninggalkan dunia ini. Dunia yang sangat kucintai, meski kadang membuatku tersakiti.

Surat tugas liputan ke luar kota selama satu minggu sudah kuterima. Adalah jadi tanggung jawabku untuk melaksanakannya sebaik mungkin. Masyarakat membutuhkan informasi dari kami, para pengejar berita.

***

Tingtong, Tingtong, Assalamu'alaikum. 

Kupencet bel. Berharap melihat teduhnya wajah Suci menyambutku.

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Mas, sudah pulang? Kok cepet?" sambutnya sambil melihat jam dinding.

"Katamu bahan makanan habis. Aku beli banyak." Sambil kuletakkan tiga bungkusan besar aneka sayur, buah dan ikan yang kuborong dari pasar di perjalanan pulang.

Melihat bawaanku, mata Suci membulat. Mulutnya menganga terheran-heran. Aku menunggu ia memelukku kegirangan. Tapi kemudian ekspresi Suci kembali normal, tak urung aku kecewa. Tak dapatkah ia lihat besarnya bulir-bulir keringat di dahiku akibat mengusung semua belanjaan yang merepotkan ini?

"Sudah makan?" tanyaku memastikan ia tak sedang kelaparan.

"Sudah Mas. Order online seperti pesanmu. Aku belum masak. Mas mau nunggu bentar, biar kumasukan sesuatu?"

"Ga usah, yuk ke kamar." To the point. Memang saat ini, tidak ada hal yang membuatku lebih selera dibandingkan dia.

Suci terdiam. Langkahnya tertahan menuju pintu kamar. Hey, sadarlah. Ini masih fase bulan madu, bersikaplah manis padaku. Haruskah aku merayu?

"Mas, aku baru saja datang bulan," katanya sambil menunduk malu.

Sial, lengkap sudah. Baiklah, mungkin ini kehendak Tuhan.

"Aku berangkat ke Cianjur besok. Ada tugas kantor seminggu. Meliput kerusuhan demonstran mahasiswa yang mengakibatkan empat polisi terbakar. Mudah-mudahan kamu bisa jaga diri saat aku tak ada. Dan kuharap, sudah dalam keadaan bersih saat aku pulang," kataku sambil menautkan kedua jemari. Gugup. Tak enak menyampaikan semua hasrat terpendam. Namun jika tidak disampaikan, mungkin dia tak akan paham.

Aku belum mendalami bagaimana siklus bulanan Suci. Namun dari pengalaman sebelumnya, Desi tak pernah kurang dari 7 hari, pernah sampai 9 hari. Itu artinya, seminggu kemudian aku masih harus menahan diri.

Suci diam saja mendengar apa yang kukatakan. Bisa jadi malah salah paham. Apa ia kira aku maniak? Harus diluruskan.

"Maaf, aku tahu siklus bulanan bukan sesuatu yang bisa kau kendalikan. Kau tahu, aku hanya ingin kita bisa segera punya anak," terangku. Bukan alasan sebenarnya memang. Aku lelaki, dan lelaki ini sungguh tergila-gila padanya. Wajar bukan?

"Iya, Mas, gapapa. Aku juga ingin segera mengandung putramu. Mas, kapan berangkat ke Cianjur?" responnya lagi-lagi datar, mengecewakan.

"Kenapa kau seolah senang aku berangkat? Bukannya istri orang biasanya sedih kalau ditinggal suaminya pergi ke luar kota?" selidikku heran.

"Ya Allah, aku itu bukannya seneng, Mas, aku itu terkejut. Mas kenapa su'udzon terus sama aku? Mas tak bisa percaya padaku?" 

Suci membalas tatapanku dengan sungguh-sungguh. Dari nada suaranya, sepertinya sebentar lagi ia akan meledak. Aku jadi teringat gejala-gejala saat Suci mulai emosi. Belajar dari peristiwa kemarin, aku berharap tidak ada satu barang pun yang akan ia lemparkan lagi.

Bukannya takut istri, aku hanya tak ingin pergi dalam keadaan marah. Meskipun merasa frustasi, sebab semua yang kurencanakan seolah berantakan. Bahkan sebuah pelukan pun tak kudapatkan.

Wanita ini seolah tak terkesan melihat suaminya mendadak pulang membawakan berbagai kebutuhan dapur. Berapa banyak sih pria yang mau desak-desakan di pasar beli tomat, cabai, terasi, bahkan mencet-mencet ikan segar untuk dipersembahkan ke istri?

Dan bayangkanlah, susahnya membawa tiga belanjaan besar dengan motor gede yang kukendarai. Itulah kerepotan hakiki yang kujalani sebagai bentuk totalitas mencintai. Namun, betapa kecewa ketika semua itu tidak diapresiasi. Sungguh Suci membuatku patah hati.

Ketika semua yang aku anggap penting, ternyata dianggapnya tak penting, bukankah itu artinya dia tidak mementingkanku?

***