webnovel

23 - SUCI : Merebut Perhatian

Perlahan-lahan aku mulai memahami Ardi. Dia suka kejutan. Meski reaksinya selalu lebih mengejutkan dari yang kuharapkan. Ah, malunya. Kukatupkan kedua telapak tangan ke wajah setiap ingat apa yang sudah ia perbuat padaku.

Ardi adalah makhluk yang spontan. Tak suka basa basi. Apalagi bersandiwara. Jika suka ia tunjukan, tak suka pun ia luapkan.

Ketika melihat oleh-oleh yang ia bawa untukku dari Cianjur, tak urung membuatku tersanjung. Untuk pria se-jaim dia, pasti butuh perjuangan membeli semua itu. Tiga macam pula, ah ... lagi-lagi malu jika harus mengingatnya.

Aku selalu senyum-senyum sendiri jika ingat satu permintaan khusus darinya. "Bisakah kau kenakan ini saja setiap malam. Tanpa gamis, tanpa jilbab? Aku ingin melihatmu seperti ini setiap hari," bisiknya di telinga.

Ia kemudian menatap mataku dalam-dalam. Mencari tahu, apakah aku mau. Dan ya, aku mengangguk. Tak berdaya menolaknya.

Uh, lagi-lagi semburat malu mewarnai wajahku. Begini terus, Ardi semakin lihai membuatku salah tingkah sepulang dari Cianjur. Kuakui rasanya berbunga-bunga. Sebab itu artinya, Ardi sudah menerimaku seutuhnya dan tak lagi mempermasalahkan masa laluku.

Mengingat hubungan kami telah membaik, bahkan hangat membara, aku mulai berani untuk memikirkan rencana-rencana indah berikutnya.

***

Rencana pertama adalah mendekorasi rumah ini. Supaya lebih lapang dan leluasa untuk kami tinggali. Aku juga butuh pembantu untuk itu. Rasanya berat jika harus menangani semuanya sendiri.

Rumput di halaman belakang mulai meninggi. Juga daun-daun yang berguguran di halaman depan cepat berserakan. Harus ada asisten rumah tangga yang membantu mengurusnya.

Namun masalahnya, hanya dua kamar tidur di rumah ini. Satu kamar yang lebih luas telah menjadi ruang peraduan kami. Dan kamar kami bahkan tak punya kamar mandi. Hanya ada satu kamar mandi di rumah ini, yang berada di antara kamar tidur pertama dan kamar tidur kedua.

Kamar satunya telah diubah Ardi jadi ruang kerja. Ada satu meja, satu kursi, dan satu sofa panjang di ruangan itu. Plus dua rak buku milik Ardi semua.

Satu ruang tamu berisi satu set sofa. Ada dua guci mahal yang kubeli dari salah seorang kolektor kenalanku. Dua guci itu yang satu kujadikan tempat menaruh payung, satu guci lagi sebagai tempat bunga plastik agar suasana rumah lebih hidup.

Satu vas bunga segar bertengger di meja. Biasanya kuisi bunga mawar. Entah kenapa aku suka bunga berduri itu, mungkin karena ia sesuai pribadiku.

Kelopaknya cantik saat mekar, namun mudah gugur saat disentuh tangan. Ia terlihat menusuk dengan duri-duri tajamnya, namun sejatinya ia hanya takut dilukai orang yang menyentuhnya sembarangan. Mawar merah selalu jadi pilihanku. Ia lambang romantisme, sekaligus lambang semangat, gairah, ambisi, dan keberanian.

Saking sukanya dengan bunga mawar, aku bahkan menanam beberapa di halaman belakang. Namun bunga-bunga itu tidak tumbuh bermekaran seindah yang kuharapkan. Mungkin karena aku tidak telaten merawatnya.

Rumah ini memiliki satu ruang keluarga menyambung ruang makan yang dipisahkan gorden. Ruang keluarga berisi satu televisi berukuran 28 inci, plus lengkap dengan seluruh aksesorisnya. Dan satu sofa panjang, yang biasanya kupenuhi dengan pakaian yang turun dari penjemuran. Sofa ini satu-satunya tempat bersantai-santai kami.

Ada dapur yang cukup luas di bagian belakang. Merangkap tempat aku mencuci baju, dengan mesin cuci tentunya. Dan sebuah gudang kecil seukuran kamar mandi yang menampung berbagai perkakas rumah tangga, seperti ember, alat pel, dan juga alat-alat pertukangan sederhana sebangsa palu dan paku.

Masih tersisa halaman belakang yang lumayan luas. Bisa untuk membangun dua kamar lagi. Namun Ardi ingin membuat kolam ikan di sana. Itu baru rencana, ia belum mewujudkannya. Sebagai patner hidupnya, aku berencana segera mewujudkannya, sebagai bentuk kontribusiku pada suami.

Rumah yang nyaman adalah idaman semua pasangan. Tak perlu mewah, tetapi minima terlihat indah.

Halaman belakang saat ini masih berupa pelataran kosong yang mulai tampak menakutkan karena rumput-rumput telah tumbuh memanjang. Bunga-bunga mawarku juga tumbuh memprihatinkan.

Ada sebuah garasi di samping. Tapi sudah penuh untuk menyimpan mobilku dan motor sport Ardi. Ada pula satu sepeda gunung yang biasa Ardi pakai dengan komunitas sepedanya. Sudah begitu sesak. Tak muat untuk banyak kendaraan. Rumah ini memang bukan rumah mewah dengan luas yang luar biasa.

Sebatang pohon mangga tumbuh subur di halaman depan rumah. Daunnya berguguran, membuat halaman semakin tak karuan. Sehari dua hari, mungkin tak terasa. Namun jika berminggu-minggu didiamkan, pasti rumah ini akan semakin menyeramkan.

Sejumlah gagasan untuk merenovasi rumah ini sudah terbayang. Tinggal mengkomunikasikan dengan Ardi. Aku optimis, sebagai kepala keluarga ia akan menyetujui. Toh, selama ini pria itu tak pernah perhitungan. Maka aku yakin, tak akan ada masalah jika kami merenovasi rumah ini segera dan mencari ART untuk membantuku mengurusnya.

***

"Mas bisa bicara sebentar?" kataku berusaha menarik perhatiannya saat dia tengah mengamati acara berita di ruang keluarga.

"Hem... bicaralah?" jawabnya datar.

"Mas aku mau bikin satu kamar pembantu di belakang, juga satu kamar mandi di kamar kita. Mungkin kita juga bisa sekalian membangun lantai dua agar rumah lebih lapang dan banyak ruang. Jadi saat ada kerabat kita yang datang, tak bingung hendak menginap di mana," kataku menjelaskan.

"Nanti ya, terlalu cepat untuk saat ini. Biar terkumpul dulu dananya." Ia menjawab tanpa menoleh dari layar kaca. Pandangannya fokus ke depan, tak memedulikan aku di sampingnya.

"Bisa pakai uangku dulu, Mas. Selama ini mas selalu yang mengeluarkan uang. Padahal aku juga punya penghasilan. Jujur, aku butuh ART secepatnya."

"Kenapa butuh secepatnya?" katanya tetap memandang layar kaca.

"Aku tak pandai menyapu dan mengepel lantai." Akhirnya aku mengaku. Terlalu berat jika aku diam saja sementara Ardi tak tahu, bagaimana repotnya aku mengurus rumah ini.

"Nanti, biar aku yang menyapu dan mengepel," jawabnya enteng. Tak sekali pun menghiraukan keberadaanku. Matanya tetap fokus pada televisi di hadapannya.

"Mas, bisa serius bentar. Lihat aku dong, Mas," selaku. Aku mulai kesal diabaikan. Padahal ini pertama kalinya aku mengajaknya berdiskusi untuk menata hidup kami ke depan. Bukankah sepasang suami istri memiliki banyak hal untuk didiskusikan bersama?

Apa sih yang ada di berita sehingga membuat dia terpaku seperti itu? Kulihat layar kaca. Ternyata berita Ardi yang tengah dibaca oleh penyiar berita.

"Dia memotong bagian terpenting dari beritaku. Ini yang paling enggak aku suka dengan orang-orang pusat. Selalu mengambil angle yang di-mau saja. Padahal reporter sudah membuat reportase lengkap sesuai fakta yang ada. Kalau begini, narasumber bisa salah sangka," katanya sambil menunjuk layar kaca.

Aku memegang kepalaku dengan kedua tangan, pusing.

Saat aku hendak mengajaknya berdiskusi masalah rumah tangga, dia justru mengajakku berdiskusi masalah berita. Tak nyambung. Memang dunia kami jauh berbeda.

***