webnovel

Tujuh Belas

Cinta itu paduan dari rasa sayang, senang, indah, aman, nyaman, jujur, saling percaya, rindu, malu, dekat, hangat, dan hanya hati yang mengerti kepada siapa ia berikan semua rasa itu untuk "cinta".

Kemana pun ia pergi, ia akan terikat selalu.

Karena ia akan menjadi satu. Tak ada yang dapat memisahkan keduanya. Ia akan menerima, melindungi, meluruskan, dan memimpin kita sampai ajal menjemput. Dan lagi-lagi tak ada yang mampu menggantikan posisinya. Ia akan datang di saat kamu sudah siap akan masa depan, sudah matang lahir batin, dan di kala kamu telah berusaha menemui titik akhir dari pencarian akan ia. Maka ia akan muncul sebagai malaikat atau bidadari yang tidak disangka-sangka begitu menakjubkan ruang hati setiap manusia.

Itu Cinta

Tak ada yang salah dihadapan cinta.

Sekalipun ia terpandang hina di mata mereka.

Hanya logika yang mencaci dan menuntut semua aturan.

Norma, adat, hukum rimba, hingga hukum agama.

Keadilan hanya dirasakan melalui cinta.

Ketulusan hanya melekat pada cinta.

Kesakitan hanya menyelimuti perihnya cinta.

Hingga kebahagiaan hanya dimiliki oleh sucinya cinta.

Yang Maha Agung telah menitipkan cinta.

Tak 'kan bisa dihindarkan meski kebencian mengenalkan dirinya terlebih dahulu.

Meski ketidaksukaan dinjunjung tinggi hingga puncak Himalaya.

Tapi, cinta akan tumbuh bersemi dan bersemayam selama-lamanya.

Karena takdirNya tak pernah berdusta. Karena takdirNya,

Telah kutitipkan cinta di hati manusia...

***

Rasa. Tak akan ada cinta tanpa ada rasa. Tak akan ada benci tanpa ada rasa. Cinta dan benci adalah rasa hati yang mengalun secara spontan. Tak dibuat-buat atau dimanipulasi. Hati yang tulus akan mudah memberikan rasa terhadap seseorang di sana, yang menjadi kawan atau pun lawan. Mereka bilang, cinta dan benci hanya dibatasi oleh selaput tipis, bahkan transparan. Dimana hati akan mudah keluar masuk kepada kedua ruang itu. Memang tak akan ada satu di antara dua, maupun dua di antara satu yang utuh menjadi milik sang hati. Tapi, keduanya akan mampu menguasai hati pada saat yang tepat, di kala level suka atau duka menyeimuti hati. Hati yang tulus dan pemaaf tak akan lama membenci lawan. Bahkan baginya mencintai dan memahami lawan itu lebih penting. Demi kedamaian hati setiap insan. Cinta akan tetap tulus menjaga rasa untuk kebahagiaan hatinya dan sesamanya.

***

Ketika cinta t'lah menyelimutimu, maka kau akan tau. Betapa hangatnya dunia ini, sehingga kau terlelap dalam belaian lembut kasihnya, begitu kuat dekapannya, dan begitu sempurnanya engkau dalam balutan asmara yang menggairahkan hari-harimu untuk lebih mengenal indahnya pulau cinta itu. Di hatinya. Hanya kau dan dia. Maka kau akan tau...

***

Ketika aku melupakan semua beban di pundak ini, rasa aman, nyaman, dan hangat itu menjamahku. Sehingga aku merasa duniaku begitu sempurna.

Namun, saat rasa itu sirna karena sang penjamah telah kembali kepada-Nya,

akhirnya aku merasa duniaku telah hancur untuk selamanya.

Tapi, ketika langkah ini telah kutetapkan pada kelembutan yang mengajarkanku betapa penting dan berartinya duniaku itu. Akhirnya aku pun merasakan kembali duniaku telah terbentuk indah bersama langkah lembutnya. Yang menuntunku menemukan keajaiban akhirat yang mengharukan kelak.

***

KAMU

Angin terhempas diriak wajahku.

Merona malu sekejab disenyum pipiku.

Berapa skala richterkah degup jantungku?

Mataku menetap pada satu titik itu... Kamu.

Benar kata pepatah,

DARI MATA TURUN KE HATI.

Dari hati timbul hormon pengikat.

SI PENGIKAT MELAHIRKAN KETERGANTUNGAN.

KAMU..

Nyaman ini karena dekat kamu.

Rindu ini karena selalu ingat kamu.

Cinta ini.

Tak ada kata lain, selain kamu.

***

Sosok bang Ilham yang berbadan tinggi dan berisi, dengan kulit agak putih, dan senyum yang menawan itu membuatku amat bergantung padanya. Ia bukan hanya sosok pacar yang setia, ia juga selalu menasihatiku banyak hal. Mulai dari nasihat dalam memilih teman, nasihat tentang asal-usul Minang, serta nasihat dalam bersikap yang baik tentunya.

Aku seperti menemukan sosok papa pada dirinya. Suka bercerita dan aku suka sekali mendengarkan. Mungkin karena itu kami cocok. Ia yang pencemburu membuatku seperti berada di sangkar emas sebenarnya. Aku memiliki banyak teman lelaki. Sehingga, ia amat protektif terhadapku. Padahal aku tak melakukan sesuatu yang fatal. Selayaknya berbincang dan tertawa bersama-sama dengan rekan kampus saja. Namun, itu teramat menyakitkan perasaannya katanya.

Banyak hal yang membuatku menjadi amat ketergantungan. Karena di Minang, hanya ia yang mampu memahamiku. Hanya ia yang selalu ada ketika aku membutuhkannya. Sebenarnya, terlalu banyak hal indah yang kami lewati hingga keadaan tak lagi memihak pada kami.

Ketidaksetujuan dari pihak keluarga papa khususnya. Baik dari penilaian papa, juga dari penilaian tanteku. Ia belum memiliki sikap yang gantle, yang menurut papa tak pantas, jika kelak bersanding denganku. Karena saat papa pulang kampung untuk urusan keluarga, bang Ilham sempat aku perkenalkan dengan beliau. Namun, bang Ilham bukannya malah menemui dan memperkenalkan diri, ia hanya melayangkan senyuman sambil melihat kami dari kejauhan. Ia beralasan saat itu sedang mengenakan celana pendek. Tak sopan menurutnya. Namun, tidak memperkenalkan diri adalah hal yang tak sopan menurut papa. Entahlah.

Hingga, aku yang tanpa berpikir panjang, memutuskan hubungan cinta kami secara sepihak. Jelas ia tak menerima. Bahkan, ia pun sempat menangis. Ya, menangis. Baru pertama kali aku mendengar ia menangis terisak dengan teramat pilu.

"Kok Nad tiba-tiba mutusin abang? Ada masalah apa Nad? Tolong jangan seperti ini Nad. Kalo ada apa-apa cerita sama Abang!" dengan tatapan harap-harap cemas ia protes dengan keputusanku.

"Bang, Nad gak ada masalah apa-apa sama Abang. Abang sudah baik banget sama Nanad. Nanad minta maaf ya, bang. Kita putus aja." ucapku baik-baik saat aku sedang bermain di kos Rahma, teman sekelasku, yang tak jauh dari kampus.

"Abang mau tau apa alasan Nad mutusin Abang?!" permohonannya yang membuatku semakin iba.

"Bang, Papa gak mengizinkan Nanad punya pacar. Nad bisa kena marah kalo Papa tau Nad pacaran." penjelasanku berusaha meyakinkannya.

"Abang gak mau kita putus, Nad!" tukasnya.

"Bang, putus bukan berarti kita gak bisa bertemu lagi, kan?" bujukku.

"Ya sudahlah. Ayo, kita pulang!" dengan wajahnya yang melemah.

Aku pun mengambil tas dan berpamitan dengan Rahma. Karena jika sedang tidak sibuk, bang Ilham selalu menjemputku ke kampus untuk memastikan aku pulang dengan selamat. Aku yang menyesal setelahnya pun menjadi iba terhadapnya.

Maka, sampai akhir waktunya aku akan pindah kembali ke Tangerang pun, ia masih sering mengunjungiku untuk sekedar mengajakku berjalan-jalan sore. Ia bukan tak memiliki teman. Kami hanya selalu merindu dan selalu senang jika bersama. Aku pun merasakan sekali cintanya yang amat dalam saat setelah aku memutuskannya. Namun, yang aku pikirkan adalah ridho orang tualah yang lebih penting saat itu.

***