webnovel

Delapan Belas

Semenjak kepergian mama, om Aril selalu mengunjungi bahkan mengajak aku dan adikku berjalan-jalan. Entah itu saat ada family gathering dari PT-nya atau sekedar berenang di saat ia sedang libur. Aku memang memiliki hobi berenang. Karena pada dasarnya aku suka air. Om Aril, selain sebagai pengganti sosok mama, karena ia yang merupakan adik mama satu-satunya yang tinggal di Jawa, ia juga amat menyayangi kami seperti anaknya sendiri. Walau sebenarnya ia masih bujangan.

Om Aril adalah lulusan D3 Universitas Andalas, Sumatera Barat. Perbedaan umur kami adalah 12 tahun. Kini ia bekerja sebagai supervisor di salah satu PT di Tangerang. Saat aku masih kuliah di Minang, facebook adalah penghubung paling dekat. Saling komen dan membalas komen adalah hal yang wajib. Om Aril adalah idol di PT-nya. Bagaimana tidak, setiap ada acara, seperti contohnya family gathering, ia selalu menyumbangkan suara emasnya untuk bernyanyi dangdut. Sedangkan, aku yang sebenarnya tak menyukai dangdut, harus bersedia merekamnya saat sedang bernyanyi di panggung. Mau tak mau, malu tak malu, aku merekamnya, seolah aku terhipnotis dengannya ketika kata-kata "harus eksis" amat melekat pada diri om Aril.

Suatu ketika aku mengomentari postingan om Aril yang jelas sedang bernyanyi. Banyak sekali anak buahnya yang berkomentar. Aku tak peduli. Aku hanya fokus pada komentarku mengenai aktivitasnya yang selalu eksis itu. Ternyata, secara tidak sengaja ada beberapa anak buah om yang membicarakan aku di kolom komentar tersebut. Hingga akhirnya, aku yang masih berada di Minang pun menjadi bahan gunjingan oleh anak buah om tersebut. Aku mengetahuinya ketika om Aril menelponku suatu waktu. Ia mengatakan bahwa banyak yang ingin berkenalan denganku.

Banyak dari anak buah om yang menambahkan pertemanan di facebookku. Karena om Aril bekerja di perusahan gudangnya Unilever, otomatis seluruh karyawannya adalah laki-laki. Maka, dari sanalah awal mula perkenalanku dengan beberapa anak buah om. Yang saat aku mulai bekerja di PT. Mayora pun, ada beberapa dari mereka yang berani mengajakku untuk bertemu.

***

Di antaranya adalah Agung. Dia merupakan anak buah om yang masih sangat muda. Ia adalah lelaki yang keren. Putih, ganteng, cukup tinggi, sipit seperti orang korea dan aku suka sekali dengan orang bermata sipit, serta gayanya yang cool dengan motor satrianya. Dia asli Cirebon. Usianya hanya berbeda dua tahun di atasku.

Aku tak menyangka ia berani untuk bermain ke rumah. Bertemu denganku dan memperkenalkan diri kepada papaku. Aku berpikir saat itu ia adalah sosok yang perfect. Hubungan kami awalnya hanya sebatas saling berkomentar di facebook. Hingga setelah bertemu pertama kalinya itu, kami menjadi intens berkomunikasi dengan sms.

Aku paham, ia sedang berusaha PDKT denganku. Saat di rumah pun, kami hanya menonton film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck di laptop yang sengaja ia bawa. Karena saat itu sudah malam, aku hanya meminta filmya untuk kutonton di laptopku nantinya. Akibat menonton film itu, Agung mulai memanggilku dengan sebutan Hayati dan menyebut dirinya Zainuddin.

Agung bercerita bahwa sebelumnya ia memiliki pacar. Yang ternyata kisahnya sama seperti film Tenggelamnya Kapal Van der Wijck itu. Ia ditinggal menikah oleh wanita solehah dimana sang wanita itu sudah dijodohkan orang tuanya. Aku merasa saat itu posisiku bukanlah sosok yang utama di hati Agung. Aku berpikir saat itu Agung hanya melampiaskan sakit hatinya dengan berusaha membuka diri dengan mengenal wanita lain. Yang kebetulan ada aku saat itu. Aku tak berpikir jauh untuk kelak bisa masuk ke dalam hatinya. Aku tak berharap bahwa Agung mendekatiku karena ada maksud dan tujuan tertentu. Karena saat itu Agung masih saja membayangkan posisinya sebagai Zainuddin yang ditinggal oleh kekasih hatinya, Hayati.

Aku pun menjalani PDKT itu dengan pergi ke toko buku di salah satu mall sekitar Tangerang. Ternyata dia memiliki hobi membaca. Aku suka lelaki yang suka membaca untuk menambah ilmu. Tak salah jika aku semakin terpesona dengan sosok Agung. Namun, kami tak bisa berlama-lama karena sore harinya ia harus kembali bekerja. Padahal hari itu adalah hari Minggu, aku tak menyangka kalau ternyata ia lembur saat itu. Anehnya dia tak mengatakannya kepadaku sebelum pergi hari itu. Kalau ia mengatakan pasti aku membatalkan untuk pergi. Mungkin ia sedang berjuang untukku. Pikirku. Aku tak kecewa. Karena aku sudah cukup senang hari itu.

***

Suatu saat aku curhat dengan om Aril tentang kedekatanku dengan Agung. Ternyata om malah tak menyetujui jika hubungan kami lebih dari sekedar teman nantinya. Maka, mulai saat itu aku menjadi membatasi diri untuk tak terlalu intens berkomunikasi apalagi menerima ajakannya untuk bertemu kembali. Om Aril mengatakan bahwa ia masih kecil. Dalam artian ia belum memiliki pandangan ke depan untuk serius. Daripada hanya main-main menurut om, lebih baik cukup berteman saja.

Padahal saat itu aku sudah sangat menyukai sosok Agung. Ia lembut dalam berbicara. Aku luluh dengan setiap kata-kata gombalnya yang mampu membuatku tersipu malu. Kaum muda pasti selalu merasakan hal itu.

Saat dimana aku merasa ia bisa mengisi kekosongan hatiku, lagi-lagi harus kubendung rasa itu agar tak semakin besar. Karena menurutku om Aril yang lebih tahu keseharian Agung. Maka, aku pun menurutinya untuk sekedar berteman dengan Agung.

***

Karena aku yang terlihat menjaga jarak oleh Agung tanpa tahu sebabnya. Maka, secara perlahan ia memiliki target lain selain aku. Aku tak menyangka ia mampu melakukan itu di saat kami masih bisa dikatakan memiliki hubungan dekat. Aku bersyukur sebenarnya. Karena aku tahu, bahwa ternyata Agung bukanlah lelaki yang sungguh-sungguh berjuang untuk hatiku. Buktinya, ia sampai memiliki gebetan baru dan melupakanku.

***

Aku memanggil Agung dengan sebutan Aa. Karena ia lebih sering menggunakan logat Sunda daripada logat Jawa. Suatu ketika aku melihat fotonya bersama wanita lain. Yang sudah pasti ia adalah pacarnya. Aku pun langsung konfirmasi melalui mesengger facebook untuk menanyakan kebenarannya.

"Aa udah punya pacar ya?" Tanyaku sok polos.

"Baru gebetan, Neng. Kenapa memang?" Jawabnya tanpa merasa bersalah.

"Aa hebat ya, bisa mengincar dua wanita sekaligus?" Sindirku yang tak terima sebenarnya.

"Maksud Neng? Kan Neng yang udah menjauh dari Aa. Lagipula setiap Aa ajak ketemu, Neng gak pernah bisa." Belanya. Aku merasa tertampar dengan kata-katanya yang sebenarnya bukan kesalahannya sepenuhnya.

"Aa ternyata PHP, ya?! Kemarin-kemarin aku udah coba ajak Aa untuk ketemu. Tapi, Aa selalu nolak. Eh, gak taunya sekarang kayak gini kenyataannya? Makasih A udah PHP-in aku!" Tukasku dengan ketus yang menyebabkan kami bertengkar.

"Kan ini yang Neng mau. Neng gak pernah ada saat Aa butuh Neng. Ya udah, anggap aja kita gak pernah kenal, Neng. Makasih udah anggap Aa PHP. Terserah Neng." Jawabnya seperti lepas tangan tanpa dosa.

Aku yang merasakan sakit hati karena merasa sudah dikhianati, makin tersayat dengan keadaan yang tak memihakku. Aku pikir selama aku menjaga jarak dengannya, ia mampu menunjukkan tulus perjuangannya dalam mendekati hatiku. Namun, aku salah. Ternyata benar, lelaki hanya menggunakan logika dibanding perasaan. Ternyata benar bahwa lelaki tak mampu lama menunggu sesuatu yang tak pasti.

Aku memahami kondisi Agung saat itu amat membutuhkan sosok pengganti hatinya yang telah meninggalkannya untuk menikah dengan lelaki lain. Di satu sisi aku amat sedih dengan kenyataan yang sedang terjadi. Karena aku berpikir kami akan segera resmi menyandang status berpacaran. Tapi, di sisi lain aku menyadari bahwa Agung bukanlah lelaki yang tepat untukku. Ia benar-benar tak bertanggung jawab menurutku. Mampu mendekati beberapa wanita dalam satu waktu adalah hal yang menjijikan.

Aku pun terlalu polos sudah amat berpositif thinking terhadapnya yang memiliki banyak kontak wanita di BBM-nya. Apalagi di facebooknya, yang aku ketahui berdasarkan setiap like dan komentarnya selalu hadir pada setiap postingan teman wanitanya. Cukup! Aku amat membenci Agung. Hingga aku kalut. Facebook serta semua kontak yang berhubungan dengan Agung, aku delete dan blokir.

***