webnovel

Part 16. Sangkeran (2)

"Olivia! Pakailah ini!" Mas Sena menginterupsi kesenangannya membantu Budhe masak.

"Mas Sena kalo mau pakai itu, Silahkan! Nggak usah maksa orang!" Jawab Olivia ketus. Sudah yang ketiga kalinya Olivia menolak. Bukan apa-apa! Olivia hanya curiga dengan aroma yang menguar dari kursi roda.

"Duduk disini atau aku menguncimu di kamar?" Wah! Mas Sena tak bisa dibantah kalo sudah mengeluarkan ancaman.

"Kali lain bukan kakiku aja yang sakit, Mas! Tapi sakit karena bosen.." Olivia melewati gitu aja kursi roda yang didorong Mas Sena untuknya. "Mas Sena ngunci pintu kamar, aku kabur lewat jendela atau naik atap sekalian!"

Kompak mbak Galuh dan Mas Sena menahan dan mendudukkan Olivia di kursi roda.

"Aku tuh mau ngajak kamu jalan-jalan! Jangan mbantah mulu kenapa sih? Ngeyel banget!"

"Mumpung disini.. dolan liat pemandangan, Nduk! Nyenengke ati! Kan kamu ndak bakalan lama disini?! Cuman nyelesein skripsi kan? Kelar kuliah kamu harus pulang ke ibukota!"

"Budhe nggak suka aku disini?" sebenarnya Olivia mau mengadu atas perlakuan kedua kakaknya malah Budhe mengingatkan keberadaannya disini.

"Ragilku sing ayu kie sudah jadi wanodya! Udah pantes diwengku Priya!"

"Mbakyu aja belum, kok!"

"Aku sih mau aja kalo udah ketemu jodoh, Cah Kemplu!" Gemes Mbak Galuh njitak yang sudah dianggap adek itu. Kesayangan malah. Secara usia, Olivia memang enam bulan lebih tua. Tapi dalam hubungan kekerabatan Olivia lebih muda.

"Ketemu jodoh bukan perlombaan karena jodoh itu karunia, Cah Ayu! Doain aja jodoh Mbakyumu disegerakan! Wong tuamu sama Budhe ndak ngajarin lari dari masalah! Disini kamu bisa ngenam pemikiran biar bisa medar reruwet!"

Budhe mengusap sayang kepala Olivia dan mengisyaratkan kedua kakaknya guna membawa Olivia pergi. Olivia hanya diam tidak tau mau berkata apa. Budhe-nya mbawain sewadah besar berisi arem-arem isi sambel goreng ati sesuai keinginannya dan camilan pangsit goreng, martabak, dan ongol-ongol.

Melewati gerbang, Mas Seno bersuit. Hanya sekali sudah terdengar anjing menyalak dan mendekat ke arah mereka.

Olivia terlihat antusias. Tangannya terangkat seolah ingin mengelus kepala anjing jenis Samoyed. Si putih besar tapi cantik ini ramah sekali. Cantik! Tapi Mas Sena bilang Samoyed yang diberi nama 'unyu' ini ternyata pejantan, Loh! Olivia begitu dekat dengan unyu. Waktu masih unyu-unyu. Sekarang unyu udah besar banget. Hampir sebesar kambing yang udah poel. Kenapa diberi nama unyu? Biar pada tau kalo unyu itu anjing dalam bahasa Sansekerta, katanya Mas Sena waktu itu. Ternyata Mas Sena percaya banget sama salah satu artikel di Twitter tentang arti kata 'unyu' tersebut.

Melihat unyu yang hanya memandanginya dengan penuh makna. Olivia jadi ragu apalagi teringat kalo dia sekarang seorang mualaf. Soal tersebut pasti kerabat disini juga sudah tau.

"Yang najis itu air liurnya, Nimas! Tapi tabiat aslinya memang suka membersihkan dirinya dengan menjilat!"

Kenapa, sih semua orang?

Kok, seperti ada jarak yang mereka bangun?

Memang Budhe mengajari kedua kakaknya dengan panggilan Nimas. Di depan Budhe saja mereka manggil gituh. Kalo tidak ada Budhe mereka kompakan memanggilnya 'Merta' kadang jadi 'Merto Kartono'. Biar punya asma' sepuh kata mereka. Kebiasaan bagi piyayi Jawa yang punya nama sepuh. Nama laki-laki? Mengingatkan Olivia yang tomboi sewaktu masih bocah.

Olivia sendiri tidak mempermasalahkan hal itu. Tapi sekarang?

Asal tau aja, nama lengkap Olivia :

'Amerta Olivia Laksana'

Am'rita menurut papanya dimaknai air kehidupan dalam bahasa Sansekerta. Biar mudah pengucapannya jadi 'Amerta'. Bisa juga Amerta seperti yang diucap kedua kakak sepupunya. Negeri Pandawa. Negeri yang dibangun dari hutan belantara ketika Pandawa diusir karena kalah taruhan. Filosofi negeri ini yang dimaknai papanya untuk putrinya sebagai harapan agar terbangun jiwanya hingga menjadi tempat pulang yang nyaman.

Terus, nama Olivia adalah pilihan mamanya yang jatuh hati pada nama Eropa dari pohon zaitun yang disebut dalam Al-Qur'an. Tumbuhnya tidak di timur tidak pula dari barat. Dia ada karena karunia Yang Maha Kuasa. Yang mampu memberi cahaya ke sekelilingnya. Sebenarnya lah Olivia sudah kenal dekat dengan Al Qur'an sedari lahir.

Sedangkan Laksana adalah nama keluarga dari papanya.

"Unyu! Anak baik?" Olivia akhirnya mengusap sayang kepala Unyu. Tidak seperti dulu, si unyu hanya menggoyang-goyangkan kepalanya dengan gembira. Tidak melonjak dan tidak menjilati.

"Kita akan antar dia pada teman-temanmu yang lain, Unyu! Kita kesana sekarang, Ok's?!" Mas Sena mengalihkan perhatian unyu dengan menunjuk ke suatu tempat yang dikenal baik oleh si unyu itu.

Mbak Galuh membersihkan tangan Olivia tujuh kali dengan sabun dan air ditambah tanah sekali. Dengan cekatan.

"Mbak! Kan aku lagi nggak sholat?"

"Biar aku bersihin lagi kalo mo pegang lagi! Kan masa pandemi juga biar sering-sering cuci tangan pakai sabun!" Mbak Galuh nglulu. Loss doll!

Mas Sena mendorong kursi rodanya mengikuti langkah unyu. Sesekali unyu menoleh ke belakang sambil menyalak riang. Kadang berlari kembali ke belakang menjajari gerak kursi roda yang membawa Olivia. Mereka bertiga gantian bertepuk-tepuk menyahuti tingkah si unyu.

Agak jauh lokasinya kalo jalan ginih. Dekat dengan alun-alun kidul sana. Olivia sudah mengenal tempatnya dengan baik. Meski ada perubahan disana-sini. Persawahan yang luas dulunya, kini sudah berganti jajaran perumahan. Tapi sepanjang perjalanan masih banyak yang menyapanya. Kadang sampai pakewuh tiap ada yang menanyakan keadaannya. Mas Sena dan Mbak Galuh mewakilinya menjawab dengan sabar. Bikin Olivia menunduk. Hal yang dirindukannya saat tinggal di ibukota. Akankah tetap sedemikian? Sapaan dengan senyum hangat...

Perhatian bukan sekedar kepo?

Tiba di satu pekarangan. Di sisi selatan area pemakaman umum. Unyu berhenti. Berdiri dengan dua kaki belakangnya. Dua kaki depannya merangkak naik. Menggapai pegangan pintu gerbang. Tak lama, unyu membuka gerbang itu. Dia masuk lalu menoleh ke belakang sambil menyalak-nyalak. Kalo dia bisa ngomong mungkin ingin menyambut ketiganya dan mempersilahkan masuk. Pinter!

Ada tiga bangunan rumah yang dipisahkan oleh kebun yang memanjang ke belakang. Wow! Asri banget pemandangan di sini.

"Wuah! Sejuknya disini..?!"

Olivia tidak tau Mas Sena dan Mbak Galuh saling mencep menunjuknya.

"Kamu suka tempat ini? Inget nggak dulu tuh ada apa disini?" Mas Sena memasang rem belakang kursi roda dengan standar. Jalannya menurun dan sedikit curam.

"Eh..? Ini bangunan baru kan? Kayak pernah lihat... tapi.. ?" Olivia berusaha mengingat tak percaya.

"Ini bukannya sungai dengan air terjun yang cekungannya mirip batok kelapa..?" Mulai tolah-toleh mencari sesuatu.

Terdengar gemericik air di belakang sana. Terasa jauh tapi dekat. Seperti yang ia rasakan pada seseorang. Duh!

Suasana disini?

Saat argumen itu terjadi. Masing-masing ngotot kalo suasana asri itu dekat pegunungan. Dekat sungai. Terpisah dari rumah lain tetapi merupakan bagian mereka. Meskipun ada pembatas namun menyatu dengan alam. Bersebrangan pendapat mereka berdua justru bersinggungan dalam memutuskan sesuatu. Dan kenyataan itu terwujud pada bangunan di hadapannya.

Rumah hewan untuk anjing, kucing, dan peliharaan lain. Yang dibuang sayang!

Yang disini adalah para ahli. Dari dokter hewan sampai penyayang binatang. Konservator sejati!

Olivia ingin sekali menyapa semua hewan yang ada. Tapi Mas Sena dan Mbak Galuh tidak memberinya kesempatan malah menyanderanya di bangunan utama. Temu wicara dengan para sukarelawan di sini. Berbagi sekaligus menuntut ilmu. Dimana lagi mendapat tempat praktek gratis dengan fasilitas plus plus.

Konsep yang pernah digagas... Sultan Muda itu?

Apa iya?

Sayangnya, Olivia tidak ingin memastikan kebenarannya.

Yang ia temui tidak membicarakannya, kok!

Mungkin bukan dia?

Embuh lah...?

Perawatan anjing disini mengingatkan pada Andi. Kata-katanya tentang kasih sayang terhadap anjing. Ujian bagi umat Islam.

Jelas! Air liur anjing najis. Bahkan untuk menyucikannya harus membasuhnya dengan air sebanyak tujuh kali. Satu diantaranya dengan tanah.

Pasti ada hikmah dari semua aturan itu. Tinggal manusianya sendiri bagaimana menyikapi aturan itu. Nilai sepenuhnya kuasa Allah, Sang Pembuat Aturan.

Malam harinya, Olivia mulai membuka-buka file berisi bahasan skripsinya. Tinggal menyusun. Olivia menutup lepinya. Bertopang dagu.

Budhe minta ijin menemuinya.

"Sumangga, Budhe..! Kayak sama siapa, sih? Budhe dan yang lain jadi berubah sama aku..." Olivia curhat. Uneg-uneg yang pingin segera dikeluarkan.

"Kamu juga berubah! Sebentar lagi Budhe punya mantu dari anak Ragil ini!" Budhe memeluk sayang Olivia "Budhe tidak bisa menggantikan posisi mamamu! Tapi akan melakukan apa yang ingin mamamu lakukan bila ada di dekatmu sekarang! Bahwa papamu telah nampa rembug!" Olivia mendongak menatap budhe-nya. Sedikit kaget dan banyak was-was.

"Ada pinangan dari tiga lelaki yang ditujukan kepadamu!"

Olivia duduk tegak mendengarkan sembari tertunduk. Budhe-nya menyebut nama Malik dan nama Rafa, pemuda kampung tetangga sebelah. Dan tercekat penuh harap

"Lamaran ketiga ini sepertinya sudah tertolak, ya? Karena dia kan kamu menghindarinya lalu memilih kesini?"

Olivia tak mampu membendung air matanya yang menganak sungai. Sebenarnya ia tabu mengeluarkannya di hadapan orang lain.

Sebenarnya bukan seperti itu yang ia maksud.

"Yang namanya cinta itu perlu pengorbanan, Nduk!" Budhe menggenggam tangan Olivia serasa ingin menguatkan pertahanannya yang rapuh.

"Yang namanya sayang itu mau memaafkan!"

Olivia menyeka air matanya. Budhe-nya benar! Seolah ada penguatan di hati untuk mempertahankan.

"Ikuti kata hatimu! Mohon pada Allah Sing Kuasa! Biar kecenderungan hatimu dikuatkan...!"

Senyum telah terukir kembali di wajah Olivia.

******