webnovel

Part 15. Sangkeran

Sambutan seru!

Nggak kira-kira, nih! Mas Sena langsung menyerangnya. Tanpa aba-aba. Olivia sempat goyah ketika membela diri dan serta-merta membangun pertahanan diri.

Begitu Olivia mulai berhasil menguasai keadaan, Mas Sena mengambil galah lumayan panjang entah dapat dari mana. Olivia menghindar dengan memanfaatkan celah-celah tembok dan tiang rumah. Ia ragu kalo menahan dengan tangan. Kekuatan pria kan lebih besar. Mbak Galuh, adiknya Mas Sena yang menjemputnya dari terminal hanya mengawasi saja tanpa ingin melerai.

"Ayo serang balik, Liv!"

Mbak Galuh bersorak kegirangan "Jangan cuman bertahan, dong!"

jadi gemas juga.

"Enggak, ah Mbak!"

Olivia fokus pada serangan Mas Sena yang makin bertubi-tubi. Sekilas menyadari ada yang berbeda dari rumah Budhe-nya. Kok, malah jadi inget rumah kakeknya Andi, sih?

"Kan bukan musuh... Awww!"

diikuti ringisan Olivia.

"Dasar Bocah! Apa yang sedang kau pikirkan, Ha...?"

Mas Sena melempar galah yang digunakannya. Berkacak pinggang

"Gimana kalo bukan aku yang nyerang? Sembrono!"

"Dia bukan bocah lagi, inget! Dia lari dari lanangan bucin..."

Mbak Galuh ngeledek sok tahu. Syukurlah tadi ia sempat menahan tongkat masnya dengan caping koklok kesayangan Simbah. Duh! Bisa kuwalat kalo Simbah tau nanti capingnya ambyar. Padahal sudah rusak, sih! Tapi saking sayangnya masih juga dipakai. Persis papanya Olivia.

Eh?

Para sesepuh biasanya gitu kan?

Olivia mengusap lengannya. Mbak Galuh yang panik lari ke dalam entah mau apa.

"Mbok kapakke' anakku wedok?"

Weleh!

Budhe dari dalam langsung ngampleng ethok-ethok tapi gemes sama anak Lanang sing bagus dhewe. Iya lah! Tiga bersaudara, yang dua cantik. Jelas yang satu bagus.

Padahal putra kandung Budhe-nya itu dua. Sepasang! Ya, Mas Sena dan Mbak Galuh itu. Lhah? Kok tiga?

Korban?

Olivia tidak ingin bilang gitu, sih!

Lha, cerita dari Simbah sewaktu Olivia lahir tuh 'dibuang'. Karena Olivia dan papanya punya Weton lahir yang sama. Ahad Wage. Olivia bayi diletakkan begitu saja di halaman. Terus diambil sama budhe. Diakui sebagai anaknya. Pakdhe yang masih hidup saat itu malah menginginkan Olivia dibawa pulang. Sama mamanya kalo perlu. Papanya yang mencak-mencak. Toh semua hanya tradisi.

Kenyataannya, papanya tidak bisa membersamai keluarga karena tuntutan pekerjaan dan tidak bisa pulang-pergi dari kampung ke ibukota. Akhirnya keluarga kecilnya terpaksa dititipkan pada keluarga besarnya.

Mamanya sempat sakit hingga tidak bisa menyusui Olivia. Dan Budhe-nya meminta agar Olivia jadi anak susunya.

Cerita dari Budhe-nya waktu itu penuh drama. Jadi jangan salahin Olivia kalo punya bakat akting.

Kok, nggak jadi artis? Karena Olivia memilih berkarier. Tidak nyaman bila privasi terusik. Olivia merasa perlu belajar penghayatan lagi dari seorang Najwa Shihab yang bermonolog dengan bangku kosong. Sebagai ungkapan rasa kecewa pada narasumber yang tidak pernah datang memenuhi undangan. Banyak pertanyaan dan hal yang perlu jawaban dari narasumber dalam menghadapi pandemi ini. Yang harusnya bisa dihadapi bersama.

Jangan bilang kalau sekarang Olivia jadi model dan selebgram dengan bayaran lumayan fantastis! Biar mereka tahu sendiri. Setidaknya kenyamanannya tidak terganggu selama disini. Pure!

"Tidak diapa-apain, Mbok!"

Lucu nggak, sih? Orang ganteng berwajah bule manggil wanita yang telah melahirkannya dengan sebutan 'Mbok'?

"Lha, katanya disuruh ngetes?!"

Mas Sena menoleh ke arah Olivia yang masih mengusap-usap lengannya.

Mbak Galuh tergopoh-gopoh mbawain minyak kelapa dicampur brambang bakar. Langsung diborehkan ke lengannya. Budhe memeluknya erat. Mana tidak menghiraukan protokol kesehatan di masa pandemi ini. Harusnya Olivia dikarantina. Tapi karena Mas Sena dan mbak Galuh relawan. Olivia harus melewati berbagai rangkaian tes dari ibukota sampai ke kampung sini. Mulai dari rapid test, CT Scan thorax, begitu sampai langsung SWAB.

Mas Sena dan Mbak Galuh ngasih info kalo rapid test itu tingkat keakuratannya kurang dari 50%. Mangkanya Pemerintah menetapkan kasus konfirmasi positif Covid menggunakan hasil data PCR-real time. Kadang dengan tes SWAB belum terdeteksi padahal gejala klinis yang terlihat Covid maka ada tingkat akurasi yang lebih tinggi dengan CT scan thorax. Sampai tahap itu biaya pemeriksaan sangat mahal untuk rakyat. Berprasangka baik aja mengapa Pemerintah mensyaratkan rapid test sebagai screening awal kesehatan mendapatkan akses fasilitas umum. Jika reaktif hasil rapid maka mendapat fasilitas SWAB cuma-cuma. Karena hasil rapid dari antibodi maka sakit flu biasa aja bisa reaktif.

Wah! Olivia perlu mencermati info tentang Covid inih.

Bahkan alat tes yang biasanya untuk TBC dialihfungsikan yakni Tes Molekuler Cepat dengan catridge.

Belum ketahuan hasil SWAB Olivia terus disodorin jamu. Untuk Olivia dipilihin yang manis jadi tidak akan nolak. Termasuk air putih hangat diberi potongan lemon. Karena sudah terbiasa. Dibiasain sama...

"Cobain dulu! Kayak air soda!"

Olivia mencoba sedikit waktu itu. Andi mengarahkan cermin tepat ke arah wajahnya.

"Ada manis-manisnya, kan?"

Ya Allah! Di sini pun, Olivia malah makin terbayang-bayang sama si dia.

"Aduuh!"

"Gusti Allah, anakku wadon ketula-tula wae kat mau!"

Budhe sambat memelas. Sambil mengelus-elus kaki Olivia.

Ada tlundak di pintu kamar yang Olivia tempati. Padahal selama ia tinggal sebagai keluarga besar budhenya sampai ia ke ibukota disusul papa belum ada tuh? Persis seperti yang di rumah kakeknya Andi?

"Cah nggong! Bengong melulu! Kamu mikirin apa sih? Kangen sama seseorang, ya? Aku telponin gimana?"

Duh! Pastinya mereka juga tau tentang dia dari Papa.

Mbak Galuh sambil menjaga berdirinya Olivia. Sengaja tidak menariknya agar bisa bangun sendiri. Menurut nasihat orang tua kalau ada orang yang jatuh itu ditakutkan ada salah urat ataupun syaraf. Yang bisa merasakan sakit itu dirinya sendiri. Jadi secara mandiri bisa mencari cara agar pergerakannya tidak semakin membuat otot dan syarafnya mengalami trauma lebih parah.

Yang ditanya tidak menjawab. Mukanya cemberut. Perlahan bangun. Tapi meringis saat melangkahkan kakinya.

"Sik! Sik! Nduk Cah Ayu!"

Budhe menahan kaki Olivia dan mengurutnya sedang Mbak Galuh pasang badan untuk sandaran Olivia. Bukan! Berjaga-jaga kalo Olivia berontak.

"Ampun, Budhe..! Sampuun..!"

Olivia sampai menangis. Sebenarnya bukan sakit di tubuhnya, sih tapi rasa hatinya yang bikin dia nelangsa. Nginget dia bikin dia ketiban pulung, tau nggak?

Sssstt! Padahal makna dari ketiban pulung itu mendapat berkah! Aamiin.. doa yang baik harus di-Aamiin-kan...

"Udah, Mbok! Biar dia istirahat saja, ya!"

Mas Sena yang tadinya tidak ikut mengantarnya ke dalam akhirnya masuk dan membopong Olivia ke kamarnya.

"Mbok cuma mblonyohi yang sakit biar ndak abuh! .. Piye, Nduk? Masih sakit digerakin?"

Budhe ngikutin ke kamar. Olivia cuma menggeleng tapi gerakannya hati-hati banget.

"Ni Luh! Ambilin slendang yang ituh!"

Mas Sena menunjuk ke rak bufet yang terbuka. Berisi kain batik termasuk slendang yang biasanya untuk sampiran. Olivia suka sekali mengoleksi selendang dengan motif batik dan warnanya bermacam-macam. Mereka tetap menyimpannya bahkan tidak memperbolehkan orang lain menempati kamarnya.

Mbak Galuh manut mengambilkan dan diberikan pada masnya.

"Lebih baik jangan dibawa gerak dulu kakimu yang ini! Biar lebih mendingan!"

Mas Sena membebat kaki Olivia agar bisa sedikit menghambat gerakannya.

Olivia hanya pasrah. Apa yang mereka lakukan demi kebaikannya. Bahkan ketika harus makan malam di kamar. Meski ia dengan sadar meminta makan di kursi. Mas Sena lah yang menyediakan satu set kursi makan di kamarnya. Dan semua akhirnya menemaninya.

Belum lagi camilan manis-manis kesukaannya. Aneka jajanan pasar yang ia namai dengan bentuk dan warnanya. Misalnya geplak yang ia sebut ' kelapa parut manis'. Mbak Galuh sering menggodanya kalau doorslagh warna-warni pembungkus geplak dan dibentuk segitiga itu biasanya dipakai untuk penanda adanya kematian di jalan-jalan kampung.

"Kertasnya, kan Mbakyu bukan geplak yang dikibarkan.."

tetap kekeuh lahap Olivia makan geplaknya. Ngambil krasik'an juga yang ia namai 'pasir manis'. Katanya sih karena ada butiran ketan yang ngletis-ngletis gitu. Mirip makan pasir rasanya. Tau rasa pasir berarti pernah makan pasir dia?

Keperluan mandi maupun ke kamar kecil sudah jadi satu sama kamarnya. Privat! Kata Mbak Galuh setiap kamar tidur anggota keluarga dan kamar tamu sudah dilengkapi toilet juga.

Budhe menyarankannya ngginyer yang sakit dengan sabun mandi batangan. Mbak Galuh menyediakan sabun herbal hijau. Tapi Olivia pernah mencoba dan alergi. Syukurlah, ia sendiri membawa sabun kecantikan kesukaannya. Lebih empuk.

Pagi harinya, kaki Olivia terlihat memar akibat benturan semalam. Tapi nyerinya sudah reda setelah mengikuti saran budhe. Mas Sena telaten membebat kakinya lagi begitu Olivia selesai mandi.

Tapi bukan Olivia kalo betah di kamarnya. Meski semua perhatian memenuhi segala keperluannya. Tetep aja langkahnya diseret, Olivia membantu mbak Galuh menjemur pakaian dan memanen jamur.