webnovel

Malik Kurang Jelas

"Nikahi dan cintai Suci dengan sangat baik!"

DEG!

Syarat yang Malik berikan sudah lebih dari cukup untuk membuat sekujur tubuh milik Firman mendadak sangat beku. Dan karena syarat yang diberikan oleh Malik, dia bisa dengan jelas merasakan panas dingin di sekujur tubuhnya.

Bukan karena dia tak mampu, tapi bagaimana dengan Siska? Sanggupkah dia menerima selir dalam istana mereka? Dan akan seperti apa jadinya kalau Suci tahu saat ini dia bukan lagi salah satunya, tapi hanya salah satunya?

"Aku mana bisa—"

"Kamu bisa dan kamu harus, jangan sampai dunia tahu kalau kamu adalah orang yang berulah, tapi tidak bisa untuk bertanggung jawab," tutur Malik dengan penuh penekanan dan itu semakin membuat kalau dunia Firman tidak sedang baik-baik saja setelah ini.

"Aku kasih kamu dua pilihan, terima atau setuju." Firman semakin kesulitan untuk memahami di mana leak kewarasan dari Malik saat ini.

"Aku setuju." Jawaban yang Firman berikan sungguh adalah jawaban yang sangat diharapkan oleh Malik.

"Sungguh itu adalah pilihan yang sangat tepat untuk kamu ambil, Man. Dan aku pastikan kalau kamu tidak akan menyesal karena telah memilih itu sebagai pilihan." Saat mendengar apa yang dikatakan oleh Malik, Firman hanya bisa memasang ekspresinya yang sangat datar itu.

Tiba-tiba suara pintu dari ruangan keduanya berpijak saat ini terdengar suara decitan yang sudah pasti dalangnya adalah Ghea. Wanita yang tadinya juga sempat kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.

Tapi apa yang dilakukan oleh Ghea adalah bentuk reaksi dari apa yang dilakukan oleh Malik sebelumnya.

Sejatinya tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Mungkin itu adalah gambaran yang paling nyata untuk menggambarkan Malik dan juga Ghea saat ini.

"Boleh saya masuk?" tanya Ghea yang masih berdiri mematung di depan pintu sambil menatap Malik dan juga Firman secara bergantian.

Hanya anggukan yang Firman berikan atas apa yang menjadi pertanyaan Ghea dan itu sudah lebih dari cukup untuk mewakili apa yang saat ini sedang terjadi di antara mereka.

"Udah selesai debatnya?" tanya Ghea sekali dengan membawa kedua kaki jenjangnya memangkas jarak di antara mereka bertiga saat ini.

"Udah menemukan mufakatnya," jawab Malik dengan sangat entengnya seolah-olah apa yang saat ini terjadi di antara dia dan Firman adalah hal yang tidak bisa untuk dikatakan serius.

Bagi Malik selama masalah yang dia hadapi bukan kehilangan Ghea maka itu bukanlah hal yang pantas untuk dikatakan masalah yang besar.

Pertemuan yang awalnya hanya memiliki estimasi waktu 60 menit kini harus molor sampai 90 menit tentu saja itu karena perdebatan yang melibatkan Malik juga Firman.

"Kita balik ke kantor, Mas?" tanya Ghea saat mereka saat ini telah berada di dalam mobil dengan Malik yang duduk di kursi kemudi dan Ghea di kursi penumpang tepat di sebelah Malik.

"Sudah hampir jam makan siang sih. Nggak ada janji temu dengan klien atau jadwal sidang 'kan?" Atas apa yang dikatakan Malik, Ghea lantas menjawabnya dengan gelengan kepala yang sangat mantap ada keraguan yang mengikutinya.

"Nggak ada kok, Mas." Malik tidak merespons apa yang dikatakan oleh Ghea. Sepertinya lelaki itu butuh jeda untuk berpikir tentang apa yang harus dia lakukan lagi ke depannya.

"Kalau begitu kita makan siang saja?!" Ghea seperti orang yang serba salah saat Malik menawarkan itu padanya.

Melihat tidak ada respons yang diberikan oleh Ghea, Malik sekali lagi harus mengulang pertanyaan pada wanita yang saat ini berada dalam jarak yang sangat dekat dengan dirinya.

"Ghe, kamu mau 'kan?" tanya Malik sekali lagi karena dia merasa ada yang aneh dengan Ghea saat ini.

"Hem, ini 'kan hari Kamis, Mas." Sebelah alis milik Malik lantas terangkat sebelah saat mendengar apa yang dikatakan Ghea barusan. Dia sungguh tidak bisa untuk menelaah dengan baik apa yang dikatakan Ghea.

"Lah, kenapa memangnya kalau ini adalah hari Kamis? Pasal berapa yang menegaskan kita tidak bisa makan saat hari Kamis?" tanya Malik tanpa rasa bersalah sama sekali, bukan tidak bersalah mungkin saat ini dia hanya tidak bisa memahaminya dengan sangat baik.

"Saya sedang puasa, Mas!" Apa yang dikatakan barusan oleh Ghea benar-benar membuat Malik terkesiap.

"Maaf, aku nggak tahu," ucap Malik dengan rasa bersalah yang cukup besar, padahal yang dia lakukan barusan bukanlah hal yang merugikan negara.

"Bukan salah kamu kok, Mas!" kata Ghea dengan senyum renjana di kedua bibir ranumnya.

"Ya udah, kita ke kantor saja?!" Dan apa yang dikatakan oleh Malik itu lantas dijawab dengan anggukan kepala oleh Ghea.

***

"Kamu ke ruanganmu saja, saya ingin ke ruangan Akbar dulu!" titah Malik tanpa menunggu jawaban dari Ghea lantas membawa kedua kaki jenjangnya menuju ruangan orang nomor dua di Firma ini.

KREK!

Tanpa permisi apalagi ketukan pintu ruangan milik Akbar Maulana Bagaskara itu lantas terbuka dengan sangat brutal. Tak ada sedikit niat Akbar untuk mengalihkan fokusnya saat ini.

"Suci mana, Bar?" tanya Malik dengan ritme napas yang terlihat memburu itu.

"Pertemuan awal dua pengacara juga," jawab Akbar yang masih saja memusatkan atensi pada layar laptop yang ada di hadapannya saat ini.

"Masih lama 'kan?" tanya Malik sekali lagi tapi yang diia dapatkan hanya jawaban tak pasti dari Akbar. Iya, lelaki hanya mengedikkan kedua pangkal bahunya sebagai jawaban tak tahu menahu tentang Suci saat ini.

"BANGSAT!" Umpatan yang terlontar dari kedua bibir ranum milik Malik lantas sukses membuat Akbar mengubah titik atensinya.

Ini bukan kali pertama Malik berkata seperti itu, tapi yang sedang dipermasalahkan oleh Akbar sekarang adalah pada siapa umpatan itu layangkan padahal saat ini hanya ada mereka berdua dalam ruangan ini.

"Siapa yang bangsat?" tanya Akbar yang tidak bisa lagi untuk mengontrol rasa ingin tahunya itu.

"Masih perlu untuk aku jawab?" tanya Malik sambil berkacak pinggang.

"Kamu duduk dulu kak!" titah Akbar sambil menunjuk kursi yang ada di hadapan meja kerjanya pada sang kakak.

"Kamu itu ada masalah apa sih, hah?" tanya Akbar dengan nada yang tidak ada santainya sama sekali.

"Firman," jawab Malik dengan sangat singkat. Seharusnya Akbar punya prinsip untuk hal tersebut.

"Seharusnya aku berterima kasih sih ama dia," ucap Malik yang seakan-akan sedang mengoreksi apa yang dia katakan sebelumnya.

"Kamu ini kenapa sih, Kak? Tadi kamu umpat dia dengan kata bangsat, sekarang kamu berterima kasih ama dia. Nggak jelas!"

"Iya, Bar. Seharusnya aku berterima kasih ama dia. Berkat dia aku jadi bisa melihat setan tanpa harus memiliki yang namanya indra keenam." Akbar hanya bisa memijat pelan pangkal hidungnya saat mendengar omelan dari sang kakak.