"Apa? Dijodohkan?"
Deru napas gadis yang baru saja mengeluarkan ultimatum kagetnya itu mencuat kencang. Merasa seolah tidak ada lagi pasokan udara di ruangan yang lebarnya 6x6 meter tersebut. Dirinya langsung saja memegang dadanya yang sesak, kaget, sangat kaget sekali bahkan. Pun setelah itu langsung menampar pipinya guna menyadarkan bahwa situasi seperti ini adalah situasi mimpi saja, tidak mungkin menjadi sebuah realita. Namun nyatanya nihil, semua yang ia harapkan sia-sia. Ini semua adalah hal yang nyata.
"Dira, ibu sama ayah sudah yakin sekali kalau Nak Aldi itu anak yang baik. Dia juga sukses, Nak. Dia baru saja disahkan menjadi PNS minggu lalu. Kalau kamu sama dia, kamu pasti bakalan sangat beruntung. Ibu yakin itu," balas sosok wanita tua renta yang hanya bisa duduk manis di kursi roda. Usianya memang baru memasuki kepala lima, tetapi akibat kecelakaan mobil beberapa tahun silam, tubuhnya tak bisa bergerak sedikit pun. Hanya bisa duduk di kursi roda dan meminta bantuan orang lain jika ingin pergi ke mana-mana.
Huh. Gadis dengan nama lengkap Nadira Almaira itu mendengus kesal mendengar alasan kedua orang tuanya melakukan perjodohan ini, alasan yang konyol. Entah mengapa seorang PNS di keluarganya selalu menjadi tolak ukur jika seseorang bisa sukses, padahal menurutnya seorang PNS sama seperti manusia pada umumnya. Gajinya pun tak seberapa, hanya bisa cukup untuk sehari-hari saja. Ya iya, Dira memang tahu bahwa yang paling menjanjikan dari sosok PNS adalah pensiunannya. Tetapi pensiun itu dinikmati di akhir, bukan?
"Nak Aldi itu sosok menantu yang sempurna, Nak. Kamu mau dijodohkan sama dia, ya? Dia sopan banget kok orangnya. Ayah yakin kalau kamu pasti suka sama dia. Dia anak yang luar biasa. Berbakti sama kedua orang tua juga." Kini sang ayah yang menimpali, memberikan sisi baik dari sosok 'Aldi' yang menjadi calon suaminya dari perjodohan kali ini.
"Dira enggak mau, Bu, Yah. Dira enggak suka dijodoh-jodohkan seperti ini. Dira mau menikah kalau Dira sudah sukses nanti. Dira mau selesaikan kuliah Dira dulu, Bu, Yah. Dira mau kerja setelah lulus kuliah, setelah itu Dira mau jadi wanita karir yang sukses. Pikiran Dira belum sampai kalau harus menikah."
Gadis yang mengenakan blouse putih itu menolak mentah-mentah permintaan ayah dan ibunya dengan sopan. Ia benar-benar tak membayangkan jika situasinya harus seperti ini, ia tak siap. Menikah itu bukan perkara satu hari, dua hari saja bukan? Menikah itu perjalanan seumur hidup. Menyiapkan mental adalah kunci utama dari sebuah komitmen. Dan untuk saat ini, Dira belum siap berkomitmen.
"Nak, kamu ingat waktu kamu meminta kuliah ke ayah dan ibu? Kamu bilang apa coba waktu itu? Katanya semua yang ayah dan ibu katakan, kamu akan melakukannya. Kamu akan mengabulkan apa yang kita berdua inginkan. Selama ini ayah dan ibu tidak pernah meminta hal macam-macam, bukan? Ini kali pertama ayah dan ibu meminta sesuatu kepadamu. Masa kamu enggak bisa kasih apa yang kita minta? Ayah sama ibu juga kasihan sama Mba Diva, Nak. Dia harus kerja jadi TKW buat biayain kuliah kamu. Dia juga harus putus sama pacarnya dan gagal menikah supaya bisa menghidupi kita semua. Apa kamu enggak mau meringankan beban Mba Diva? Kamu enggak kasian sama Mba Diva?"
Dira, gadis cantik dengan rambut hitam legam yang panjang seketika saja menarik napas dalam-dalam. Jika seperti ini keadaannya, ia pasti selalu kalah. Ia pasti selalu saja iba. Memang ayah dan ibunya selalu pandai membuat perasaan bersalah menyelinap masuk ke hatinya.
Memang dulu di kala ia lulus SMA, ia meminta ayah dan ibunya untuk memberikannya izin kuliah. Lantas setelah itu, ia juga melayangkan janji untuk menuruti semua keinginan ayah dan ibunya. Dan benar juga apa yang ayah dan ibunya katakan bahwa mereka memang tidak pernah meminta apa pun selama dua tahun Dira menjalankan kuliah. Akan tetapi, meminta perjodohan seperti ini, apakah tidak membuatnya kaget? Jelas kaget, bukan? Dira belum siap sama sekali.
"Dira, kamu mau kan menerima perjodohan ini? Ayah sudah terlanjur janji sama orang tuanya Nak Aldi kalau akan menjodohkan kamu dengan anak mereka. Gak enak kalau dibatalkan begitu saja, kan? Ayo lah, Nak. Apalagi yang menjadi pertimbangan coba? Nak Aldi ini sudah sangat sempurna. Dia memiliki segalanya. Kamu pasti bahagia kalau bersama dengan dia."
Kepala Dira benar-benar ingin pecah saja rasanya. Tubuhnya kini benar-benar lemas sekali, merasa tidak tahu harus bagaimana. Ia tidak bisa dan tidak mau membuka hati untuk Aldi yang akan dijodohkan dengan dirinya. Di dalam lubuk hatinya sana sudah ada satu nama yang tertera yang jelasnya tidak mungkin digantikan oleh siapa pun, terlebih Aldi. Lalu sekarang Dira harus bagaimana? Dira benar-benar tidak bisa menjawab. Ia tidak mau menjadi anak durhaka, tetapi ia juga tidak mau menerima begitu saja. Ia tidak cinta.
"Dira, pikirkan masa depanmu, Nak. Kak Diva gak selamanya bisa bantuin kita, gaji TKW kan enggak seberapa. Dia juga perlu biaya untuk kebutuhannya. Dia juga punya impian dan punya target. Dia pengen beli rumah, pengen beli tanah, pengen punya tabungan. Kalau saja dia terus-terusan membiayai kuliah kamu, dia bisa mencapai semua impian itu dari mana? Pasti semuanya akan tercapai dengan lama."
Kini sang ibunda juga turut menasehati Dira, mengubah semua pikiran gadis berusia dua puluh tahun itu dengan kilat. Gadis bermanik hitam legam itu langsung merasa iba dengan sang kakak yang selama ini sudah sangat baik sekali. Kakak satu-satunya yang ia miliki, yang rela memberikan apa pun demi mengabulkan keinginan Dira. Kakak yang berani maju di hadapan ayah dan ibunya saat Dira ingin kuliah namun ditentang mati-matian hanya karena kendala biaya.
Pun yang semakin membuat Dira merasa bersalah adalah Kak Diva langsung mengambil langkah untuk putus dan batal nikah dengan kekasihnya hanya karena Kak Diva menjanjikan untuk menjadi TKW demi mendapatkan biaya untuk Dira kuliah. Sungguh, kakaknya ini sangat berjasa sekali dalam hidupnya. Kakaknya sudah mendapatkan banyak penderitaan hanya karenanya. Apakah untuk saat ini Dira harus mulai membalas semua kebaikan Kak Diva?
"Ya sudahlah, Yah. Kalau memang Dira tidak mau, tidak apa-apa. Tidak usah dipaksa. Mungkin memang dia jauh lebih nyaman saat menuntut ilmu, buang-buang uang dan waktu dengan teman-temannya." Sang ibunda kembali berujar membuat Dira menggeleng dengan cepat. Tidak, bukan seperti itu yang ia maksudkan. Bukan kekecewaan dari orang tuanya yang ingin ia lihat. Ia merasa sangat bersalah sekali jika seperti ini jadinya.
"Enggak, Bu. Bukan kayak gitu maksud Nadira. Nadira siap kok dijodohkan dengan Mas Aldi."