webnovel

Forgive Me, Snow

Dia Little Snow yang harus tinggal bersama dengan ibu tirinya dan juga harus menerima semua banyaknya kebencian orang-orang yang ada di sekitarnya. Kehidupan Snow tak seindah dengan kehidupan Snow yang ada di film Disney. Snow harus berusaha untuk menerima semua kehidupannya yang begitu menyedihkan dan selalu dianggap tak berguna oleh semua orang yang ada di lingkungannya. Snow tak pantang menyerah, dia lebih memilih untuk menerima semuanya dengan ikhlas. Ah... Apakah Snow akan berakhir happy ending sama seperti film Snow White pada film Disney yang dia tonton? *** "Anak sialan! Kamu hanya menumpang di rumah saya, jadi kamu harus bekerja lebih banyak untuk saya!" - Andin Acheyya. "Wanita menjijikkan seperti lo itu nggak pantas untuk ditolong dan dikasihani." - Aldean Pranegara. "Dia adalah Puteri di dunia nyata. Tidak seperti kamu yang berperan sebagai iblis di dunia nyata, Kinara!" - Anggara Arcale "Snow selalu di bawah gue! Dia nggak akan pernah berada di atas gue!" - Kinara Acheyya "Aku tidak butuh harta ataupun sejenisnya, aku hanya butuh kasih sayang dan juga sedikit kebahagiaan. Itu sudah cukup dan sudah banyak bagiku." - Little Snow. *** Ikuti kisah Little Snow di dalam buku ini. Selamat membaca ^^

Fitriani_nstr · Adolescente
Sin suficientes valoraciones
134 Chs

Kedatangan Anak Andin

"Nyonya Snow!" pekik Lastri, salah satu pembantu di rumah Andin.

"Bangun Nyonya Snow!" pinta Lastri lagi dengan begitu khawatir sambil terus mengguncang tubuh Snow dengan pelan dan berharap agar Snow bangun.

Tak ada pergerakan dari Snow sehingga membuat Lastri semakin merasa panik dan juga khawatir apabila terjadi sesuatu yang buruk terhadap Snow.

Lastri terlonjak kaget saat dia berusaha untuk mengecek suhu badan Snow dan saat dia memegang kening Snow, ternyata badan Snow sangat panas.

"Nyonya Snow bangun atuh..." lirih Lastri sambil menatap Snow dengan begitu sedih.

Lastri mengepalkan kedua tangannya dengan begitu kuat dan penuh emosi, tetapi beberapa detik berikutnya dia langsung menghela nafas dengan berat.

"Hah ... Saya cuma pembantu di rumah ini, mana mungkin saya bisa melawan si Andin penyihir itu!" kata Lastri kesal.

Ah ... Lastri sangat benci dengan Andin dan Lastri sagat tidak suka dengan perlakuan Andin kepada Snow karena Lastri selalu melihat perlakuan buruk Andin.

"Ngghhh..."

Lastri terlonjak kaget saat dia tidak sengaja mendengarkan suara erangan dari seseorang.

Kedua bola mata pembantu itu membulat dengan lebar dan tidak lupa dia langsung tersenyum dengan begitu lebar saat melihat Snow akhirnya sadar dari tidurnya.

"Nyonya Snow! Akhirnya Nyonya Snow sudah sadar!" pekik Lastri dengan begitu bahagia karena Snow yang sedari tadi berusahalah dia bangunkan akhirnya bangun juga.

Snow kaget saat melihat keberadaan Lastri di sampingnya, tetapi beberapa detik berikutnya dia langsung memegang kepalanya yang terasa begitu berat.

"Ah ... Kenapa kepalaku rasanya sakit sekali?" tanya Snow dengan nada suaranya yang begitu serak, seakan ingin menghilang saja saat itu juga.

"Nyonya Snow demam," kata Lastri.

"Ayo bibi bantu Nyonya Snow buat masuk ke dalam rumah, takutnya kalau nanti Nyonya Snow jalan sendiri dan jatuh," kata Lastri dengan lembutnya kepada Snow.

Snow menganggukkan kepalanya secara perlahan sebagai jawaban, lalu kemudian dia berusaha untuk bangun dari posisi berbaringnya dengan dibantu oleh Lastri pastinya.

Lastri membantu Snow untuk berjalan masuk ke dalam rumah, sedangkan Snow hanya meringis sambil berusaha untuk tetap sadar.

"Mari saya antar Nyonya Snow ke kamar," kata Lastri menawarkan saat dia dan Snow sudah berada di dalam apartemen.

Snow menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dan Lastri langsung menjalankan tugasnya sebagai pembantu.

Baru saja Lastri ingin membuka pintu kamar Snow, tetapi Snow dengan cepat menahannya agar Lastri tidak terus masuk ke dalam kamarnya.

"Kenapa, Nya?" tanya Lastri heran.

Kepala Snow menggeleng cepat.

"Biar Snow aja yang masuk, Bi. Bibi nggak usah masuk ke dalam kamar Snow. Snow udah baik-baik aja kok," kata Snow lembut.

"Tapi wajah nyonya masih kelihatan pucat banget. Saya takut kalau Nyonya jalan sendiri dan malah jatuh," kata Lastri penuh khawatir.

Snow menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Bisa gawat kalau Bi Lastri masuk ke dalam kamarku!" batin Snow di dalam hatinya dengan begitu panik.

"Tapi-"

"Ah ... Bubur!" pekik Snow.

"Ha?! Bubur, Nya?" tanya Lastri bingung.

Snow menganggukkan kepalanya dengan cepat.

"Iya, Bi. Saya mau bubur!" kata Snow dengan cepat sambil tersenyum lebar.

"Ah ... Nyonya Snow mau bubur tohhh?" tanya Lastri dan Snow mengangguk cepat.

"Ya udah kalau gitu atuh, Nya. Biar Lastri anter masuk sampai dalam dulu, habis itu Lastri ke dapur buatin Nyonya Snow bubur wuuenakkk!" kata Lastri antusias dan Snow kembali menolak.

"Mau bubur sekarang, Bi. Buatin sekarang, yah? Saya mau masuk kamar," kata Snow lalu masuk ke dalam kamarnya dengan cepat tanpa menunggu jawaban dari Lastri.

Lastri menatap Snow dengan heran, lalu kemudian dia mengangkat kedua pundaknya dengan acuh tak acuh.

Lastri langsung berjalan menuju dapur, sedangkan di dalam kamar sana, Snow tak berhenti untuk menghela nafas lega sambil mengelus dadanya.

***

"Hah ... Masih baik kalau Bi Lastri nggak masuk ke dalam kamar Snow," gumam Snow pelan, lalu mengarahkan pandangan matanya untuk menatap pada sebuah lemari kaca transparan.

Kedua bola mata Snow terlihat begitu pedih dan juga sendu saat menatap lemari kaca transparan itu.

"Mama..." lirih Snow, lalu perlahan berjalan mendekati lemari kaca itu dan mengelusnya dengan begitu lembut.

"Maaf..." lirihnya sambil menundukkan kepalanya dengan begitu sedih.

Snow melangkahkan kakinya untuk berjalan mundur dan jauh dari lemari kaca itu.

"Nanti ada saatnya Snow akan benar-benar capek, ada saatnya Snow benar-benar lelah dan ingin berhenti berjuang. Tunggu saja waktunya, Mama..." lirihnya sambil menghapus air matanya yang baru saja menetes berkali-kali.

Snow mengangkat pandangannya, lalu kemudian menatap langit-langit kamarnya dengan lembut.

"Maafkan Snow, Mama ... Maafkan Snow, Papa."

***

Andin berdiri di depan mobilnya usai Pak Supriyanto supir pribadinya membukakan pintu mobil untuk dirinya.

Andin berjalan dengan gayanya yang dibuat elegan dan juga anggun, tetapi malah terkesan sombong di depan kedua bola mata pak Supriyanto.

"Ck ... Sok banget, sih?! Padahal harta yang dia gunakan itu hartanya tuan Pamungkas," batin Supriyanto di dalam hatinya sambil terus memperhatikan Andin dari belakang.

"Saya yakin banget kalau tuan Pamungkas nggak akan pernah mau sama wanita seperti Andi kalau tuan Pamungkas tahu sifat aslinya," batin Supriyanto lagi di dalam hatinya.

"Ck ... Kamu kenapa diam aja kayak gitu sambil perhatiin saya?!" Andin bertanya dengan nada kesalnya kepada Supriyanto, sehingga membuat Supriyanto langsung dengan cepat menatapnya.

"Jangan bilang kalau kamu nggak mau bawain tas saya?!" tanya Andin lagi dengan sedikit membentak.

Supriyanto menggelengkan kepalanya dengan cepat, lalu kemudian berlari kecil menghampiri Andin.

"Maaf, Nya," kata Supriyanto sambil membungkuk kepada Andin.

Andin memutar kedua bola matanya dengan malas, lalu tanpa mengucapkan sepatah kata apapun, dia langsung melempar tasnya pada wajah Supriyanto dan untung saja Supriyanto bisa menangkap tas Andin.

Ingin sekali Supriyanto marah saat itu juga dan berteriak di depan wajah Andin sambil mengeluarkan semua kata-kata kasarnya, tetapi itu hanya ekspektasi belaka karena dia tak mampu untuk melawan Andin.

"Mommy!"

Andin yang tadinya sedang mencaci maki Supriyanto, langsung membalikkan badannya dengan cepat untuk melirik ke arah sumber suara.

Kedua bola mata Andin langsung terlihat begitu berbinar-binar saat melihat seorang gadis remaja tengah berlari menghampiri dirinya.

"Uwahhhh! Aku kangen banget sama Mommy!" katanya dengan begitu senang.

"Mommy juga kangen banget sama kamu, Sayang!" kata Andin juga dengan antusias.

Gadis perempuan itu langsung memeluk Andin dengan erat, sedangkan Pak Supriyanto menelan ludahnya dengan susah.

"Aduh Gusti ... Ini mamanya yang penyihir udah buat saya puyeng. Gimana kalau anaknya udah datang atuh?" tanya Supriyanto sambil menatap gadis yang berada di pelukan Andin.

"Bisa mati berdiri saya," lanjutnya di dalam hati.