Bayangan putih itu semakin terang, rasa sesak, sedih bercampur menjadi satu, ketika wajah itu menatap Angga dengan raut wajah kecewa.
Angga terbangun dari tidurnya, keringat dingin membasahi punggungnya. Air mata itu mengalir tanpa diminta, jemari Angga bergerak meremas rambutnya kuat-kuat.
Bagian-bagian Angga bersama Katy berputar dalam mimpi hingga akhirnya Katy terbaring di atas rerumputan kering dengan berlumuran darah. Di sana Valen berdiri, tidak jauh dari Katy terbaring, istrinya itu menggenggam pisau di tangannya. Mimpi yang buruk.
Pintu berdecit, Valen muncul dengan menenteng beberapa pakaian di tangannya. Seketika keduanya saling bertatapan cukup lama hingga akhirnya Angga memalingkan wajahnya.
Valen melangkah mendekat. "Sudah bangun?" tanyanya lembut.
Sebelah alis Angga terangkat. "Apa kau tidak bisa melihat?!" Bentakan Angga membuat Valen terkejut hingga menjatuhkan pakaian di tangannya.
Valen mencoba tersenyum. "Mau aku buatkan air hangat?"
Senyuman sinis tercetak di wajah Angga, setelah sekian lama Valen tidak pernah melihat Angga melihatnya dengan tatapan benci, dan kali ini Angga kembali melakukannya untuk pertama kalinya.
Valen mendadak mundur, lalu menggeleng kepalanya. Tidak mungkin Angga kembali menjadi Angga yang kasar dan tidak berperasaan.
"Aku salah apa?" tanya Valen gugup.
"Salahmu? Salahmu telah hidup ke dunia ini!" Ucap Angga dengan tidak berperasaan.
Valen kembali menggelengkan kepalanya. "Apa yang terjadi? Bukan hubungan kita mulai membaik, atau aku membuat kesalahan?"
Valen mencoba mengingat-ingat, namun hasilnya nihil. Dirinya tidak merasa melakukan kesalahan, bahkan sebelum tertidur, Angga masih bersikap sangat baik terhadap dirinya, lalu sekarang apa yang salah dengan suaminya.
Wajah Angga menegang. "Sudah aku katakan kesalahanmu adalah hidup ke dunia ini!" bentak Angga dengan suara melengking.
Valen histeris, berjongkok sambil menutup telinganya rapat-rapat. "Apa salahku?" teriak Valen berulang kali hingga napasnya menjadi sesak.
Tentu saja hal itu tidak lepas dari perhatian Angga, Valen terlihat sangat menyedihkan.
"Aku tidak ingin sekamar denganmu, pindahkan semua barangmu ke gudang!" titah Angga sebelum beranjak dari atas kasur dan meninggalkan Valen yang masih terisak.
Angga berdiri di bawah shower, air mengalir hingga ke sela-sela kaki. Dendam tetap harus terbalaskan, Angga tidak tahan melihat wajah kesakitan Katy di dalam mimpinya, Angga tidak bisa mengabaikan rasa benci yang kembali menyeruak.
Setelah sekian lama Angga mengurung diri di dalam kamar mandi, hingga akhirnya ia memutuskan untuk keluar dan kosong. Tidak ada Valen di sana, Angga bergerak menuju lemari, dan mendadak perasaan Angga menjadi kosong saat melihat pakaian Valen tidak ada.
Angga mencoba mengabaikan namun sulit, Angga melirik ke arah meja rias, tidak ada pelembab atau bedak milik istrinya itu. Hingga akhirnya tatapan Angga meredup saat melihat foto pernikahan mereka pun lenyap.
Setelah selesai berpakaian, Angga kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Seketika mata Angga yang terpejam terbuka lebar. Seprei kasurnya sudah berganti, kepala Angga menjadi berat. Apakah sikapnya sudah sangat keterlaluan?
***
Tengah malam Angga melangkah pelan menuju gudang, membuka pintu lalu mengintip ke dalam. Sangat gelap dan menyeramkan, tumpukan barang-barang tidak terpakai bergeletakan di mana-mana.
Rasa penasaran membuat Angga melangkah kakinya. Langkah Angga terhenti saat melihat tubuh kecil Valen meringkuk di atas sehelai selimut tipis dengan tas kecil sebagai penyangga kepala istrinya itu. Tidak ada lampu penerangan, namun dari jarak sedekat ini Angga dapat melihat betapa buruknya posisi Valen saat ini.
Angga dengan cepat berbalik, tidak seharusnya dirinya berada di sini. Valen pantas mendapatkannya, namun sebelum menyentuh gagang pintu, Angga berbalik menatap lekat-lekat gudang yang begitu menyeramkan tanpa penerangan dan Valen berada di ruangan ini.
Angga mencoba mengeraskan hatinya lalu meninggalkan gudang, namun baru beberapa langkah Angga tidak sanggup, ia kembali berbalik dan membuka pintu gudang lebar-lebar.
Menunduk pas di sisi Valen yang terlihat sangat nyaman dengan posisi yang terlihat menyedihkan di mata Angga saat ini. Tanpa berniat membangun Valen, Angga berusaha mengangkat tubuh Valen.
Merasakan pergerakan pada tubuhnya Valen menggeliat kecil. Hingga akhirnya Valen membuka matanya perlahan, hal pertama kali yang terlihat oleh Valen adalah dagu Angga dari bawah wajah pria itu.
Seketika tubuh Valen kaku, Angga menyadari hal itu dan menghentikan langkahnya. Kedua matanya yang tajam menunduk lalu menatap tajam ke arah Valen yang terlihat ketakutan.
"Kakak mau bawa aku ke mana?" Pertanyaan panik Valen membuat Angga menghela napas.
"Mau di bawa ke kamar, dan aku gak berniat buruk sama sekali!" tekan Angga dan setelah itu ia kembali melangkahkan kakinya.
Setibanya di kamar, Angga merebahkan perlahan tubuh Valen ke atas ranjang.
"Besok bawa kembali barang-barangmu kemari, dan tetap tidur di kamar!" titah Angga tanpa berniat dibantah. Setelah itu Angga ikut membaringkan tubuhnya di sisi Valen.
Dengan gerakan berani Valen mendekatkan dirinya lalu dengan cepat menaruh kepalanya di atas dada Angga dengan tangan melingkar di pinggang milik suaminya itu.
Kedua mata Angga terbuka, Angga memilih tidak bersuara. "Kalau aku ada buat kesalahan, aku minta maaf kak," ucap Valen lirih.
Jemari Angga tidak bisa diam, hingga akhirnya jemarinya itu membelai rambut panjang istrinya itu dengan sayang.
"Kamu gak salah, aku terlalu terbawa emosi. Kamu tidurlah, aku akan memelukmu hingga pagi." Setelah itu Angga menggerakkan sebelah tangannya untuk memeluk Valen dengan sebelah tangan masih setia membelai rambut Valen yang terasa lembut di genggamannya.
Pelukan Valen pada pinggang Angga semakin mengeratkan. Wajah Angga bersender tepat di atas puncak kepala Valen.
"Maaf kata-kataku tadi terlalu kasar," sesal Angga sambil menatap lurus ke depan. Valen menggelengkan kepalanya. "Gak apa-apa," sahutnya pelan.
"Tidurlah," perintah Angga sebelum mengecup puncak kepala Valen dan memeluk erat tubuh Valen yang terasa sangat pas di dalam pelukannya.
Hingga menjelang pagi Angga tidak dapat memejamkan matanya, sesekali Angga melirik wajah Valen yang terlelap nyenyak dalam tidurnya.
Apa yang harus ia lakukan? Angga tidak bisa bersikap sekasar dulu, rasanya sangat tidak pantas. Seorang pria berlaku kasar terhadap seorang wanita.
Namun lagi-lagi Angga tidak bisa melepaskan bayang-bayangan Katy yang seakan menyuruhnya untuk membalaskan dendam akan Kematian wanita yang ia cintai itu.
Angga merasa berada di tepi jurang, memilih untuk bergerak ke depan atau malah sebaliknya, jatuh hingga hancur tak berbentuk ke dasar jurang.
Katy atau Valen, dua wanita yang berada di dalam hidupnya. Memilih antara wanita yang ia cintai namun sudah tiada atau wanita yang menjadi istrinya, namun Angga tidak mencintai Valen. Ah, benarkah Angga tidak mencintai Valen?
Semua pilihan berada di tangan Angga, bukankah ia tinggal memilih. Melepaskan dendam dan mencoba hidup bahagia atau tetap bertahan dengan dendam yang tertanam di hatinya.
Namun semua pilihan itu membuat Angga menjadi serba salah. Masa lalu yang terikat membuat Angga menjadi begitu menakutkan dan gelap.
Angga membutuhkan cahaya untuk menerangi jalannya menuju jalan yang tepat, namun logikanya tidak bisa dia ajak bekerja sama. Angga malah semakin terpuruk akan ketidakpastian hidup.
Bersambung...