webnovel

Tersesat

Aku tersentak dari ilusi.

"Kau baik baik saja?"

Aku menoleh. Dan mendapati Pemburu asing itu menatapku. Segera aku bangkit dari bunga tidur melelahkan. Kuambil jaket hitam tebal yang menutupi tubuhku yang entah milik siapa. Kulirik pria itu tak mengenakan jaketnya. Apa aku tertidur lama sekali? Kenapa ia tak membangunkanku?

"Apa kau benar benar merasa buruk?" tanyanya tanpa menoleh sembari membuat api unggun dari daun dan ranting ranting kecil.

Aku diam menatapnya dengan tanda tanya.

"Kau berkeringat. Tempat ini sangat dingin, tapi kau malah berkeringat. Apa kau baru saja mendapatkan sesuatu?"

"Kenapa bertanya begitu?"

"Karena kelihatannya begitu," entengnya. "Kukira kau mau mati."

Aku tak berniat menanggapinya.

Aku menatapnya, ia balik menatapku dengan tajam. Kami berpandangan lama tanpa mengucapkan satu patah katapun.

"Benarkah kau ingin mati? Atau kau jadi pembunuh saja?

Aku memang baru saja mendapatkan sesuatu. Kenyataan mengenai ibu. Ia tak menyayangiku. Ibu hanya mencintai ayah seorang. Ia bahkan rela terluka untuknya. Tapi tidak untukku. Jadi itulah alasannya ia tak pernah bertanya apa yang kurasakan. Apa yang kuinginkan. Atau apa yang aku impikan. Apa makanan kesukaanku. Apa aku sehat. Apa aku sakit. Tak pernah sedikitpun.

"Kau bilang, kau tidak akan pernah berkata 'Lelah'. Lalu kenapa kau mengatakan kata yang sangat kau tolak itu? Apa sebentar lagi cerita ini akan benar benar berakhir aneh?" pemburu itu rupanya mempunyai banyak pertanyaan.

Aku tersenyum miris mendengarnya. Ia begitu teliti ternyata.

"Tidak ada yang membutuhkanku lagi di dunia ini. Bahkan diriku sendiri. Begitu memuakkan. Ternyata aku sangat menyedihkan."

"Kau tahu kenapa seseorang bisa sangat menyedihkan? Karena pola pikir mereka tak pernah berubah. Skakmat dalam suatu keadaan tanpa pikir panjang. Dan akhirnya ia mengambil kesimpulan bahwa ia menyedihkan," paparnya.

"Ya kau memang benar. Bukan aku tak mau berubah. Tetapi keadaan tak bisa bergerak seolah mengunci pikiran. Dan terkurung selamanya dalam jeruji besi ilusi. Ibuku seorang penderita Stockholm Syndrome, adalah alasan mengapa ia sangat mencintai tua bangka itu apapun yang telah dilakukan padanya. Karena itulah aku tak boleh berkata lelah. Karena akibatnya bisa fatal bagi hidupku sendiri. Sebenarnya aku sedang dalam mode bertahan sekarang."

Pria itu mengangguk.

"Terserah padamulah. Kau menyedihkan atau tidak, itu bukan urusanku" ia beranjak dari duduk santainya dan mengemasi barang barang perlengkapan miliknya.

"Kau mau pergi? Kemana?" aku berdiri, bingung melihatnya tengah berkemas.

"Aku sudah gagal mendapatkan Berang berang di sini. Lagipula melelahkan menunggunya harus keluar dari rumahnya lagi" ia memicingkan mata ke arahku. Membuatku merasa bersalah. "Aku akan melanjutkan ke Daerah Anchorage. Tempatnya tak jauh dari sini."

"Daerah Ancho...apa? Tempat apa itu?"

Ia terdiam mengedikkan bahunya. Langkah tegapnya terus berjalan lurus. Sepatu boot-nya berserak serak menabraki rumput liar di sepanjang jalan sempit. Tak ada petunjuk arah ataupun kompas. Aku mengekor menatap punggung lebarnya. Aku tidak memikirkan apapun. Lagipula di sini tidak ada orang lain selain pemburu aneh itu. Dan aku tidak tahu jalan pulang. Buta arah. Dulu, ayah pernah berkata.

Jika tersesat di tengah lautan. Tanpa kompas dan penunjuk arah. Maka satu satunya yang bisa menuntun pulang adalah langit. Sebuah galaksi gugusan tujuh bintang. Akan menunjukkan arah dimana daratan. Aku percaya padanya, tapi sekarang keberadaanku sedang tak berada di tengah lautan. Dan satu satunya petunjuk hanyalah orang asing di hadapanku. Aku terdiam memikirkan sesuatu.

Gemericik air. Mengalir turun dari tebing tebing batu tinggi. Melaju ke tempat lebih rendah. Dari hulu ke hilir. Aku berjalan selangkah, melewati batu besar di pinggiran. Membiarkan kaki letihku basah oleh air deras. Sejernih bayangan rembulan oranye yang terpantul di permukaannya. Aku menatapnya, mendadak ada dua rembulan. Di atas langit dan di bawah air. Jika kutatap aliran sungai itu, bayanganku juga akan terpantul di sana. Bisakah bayanganku saja yang pulang ke rumah?

"Daerahnya masih ada di sebelah utara sana," pria itu menunjuk bukit yang terletak di seberang sungai. "Sebentar lagi fajar subuh. Sesampainya di sana matahari mungkin baru menyingsing"

"Aku tidak mau berjalan lagi," sahutku cepat.

Ia tertegun mendengarku, wajahnya datar. Biasa saja.

"Kenapa? Kau takut karena sebentar lagi kau akan pulang ke rumah?" gertaknya.

Aku mendengus. "Aku tidak akan mati, hanya karena kau meninggalkanku di bantaran sungai kecil ini," kulempar jaket hitamnya yang sedari melekat di tubuhku, dengan kasar.

"Justru sebaliknya. Jika aku tidak bersamamu sejak tadi, aku ragu. Apakah kau bisa bertahan sampai sekarang?" ia tertawa geli.

Aku menghela napas berat. Apa barusan ia tertawa? Rupanya ia mengajakku bertengkar. Aku mengikutinya sejak tengah malam tadi. Dan sekarang aku tak punya bekal apapun. Di tengah tempat asing dan orang asing, atau pukul berapa sekarang. Emosiku membuncah, pria itu terus mendesakku dengan kata kata yang paling kubenci. Apa ia kira aku sedang berpetualang dengannya?

"Apa maksudmu!" teriakku. "Kau pikir aku tidak bisa melindungi diriku sendiri?"

"Kau tahu. Apapun yang kau pilih nanti, itu bukanlah hal yang baik"

"Ada apa dengan ucapanmu? Kau berbicara seolah olah tahu masa depanku. Apa kau cenayang? Sejak kapan seorang pemburu berang berang aneh sepertimu meramal hidupku!" entah kenapa aku jadi sangat ingin marah padanya.

"Meraunglah sepuasmu, jika itu membuatmu membaik."

Aku mendecakkan lidah. Alisku berkerut dan berkeringat dingin. Telapak tangan memanas, membakar. Suara berisik aliran sungai bahkan tak sampai di gendang telinga. Ingin mengumpatinya, memarahinya, menyalahkan segalanya padanya. Emosi yang tak bisa kukendalikan dengan mudah. Merasuki pori pori kulit. Menerobos otakku dengan paksa. Apakah aku sedang butuh seseorang untuk pelampiasan?

Fajar makin mendekat. Mega merah di langit utara begitu indah, warna jingga dan nila. Suara burung hantu dan gagak hitam telah menghilang, lenyap dimakan lelap. Hanya ada burung pocksay, melewati lembah. Menukik di sisi bukit, bersuara indah. Aku ingin menghindar dari tempat ini. Malas melihat pria aneh itu. Aku berbalik, melangkah melawan arah. Menjauh dari tempatnya berdiri, tak ingin mengikuti jejaknya lagi.

"Kalau begitu selamat tinggal. Dan aku minta maaf telah menghilangkan berang berangmu," kataku.

"Jangan khawatir," sahutnya. "Beberapa jam yang lalu, aku baru saja menemukan berang berang terlantar. Ukurannya lebih besar dari dugaanku. Ia terlihat kesepian, jadi aku memungutnya. Tapi sayang, berang berang bodoh dan keras kepala itu mau kabur sekarang. Jadi bukan salahku lagi jika dirinya kesepian. Ah, aku jadi banyak bicara. Kalau begitu baiklah. Aku akan meneruskan perjalananku. Selamat tinggal, Gadis Asing."

Aku tercengang, terdiam mendengarnya. Maksudnya aku berang berangnya?

Ia melangkah. Melewati sungai kecil di hadapanku sendirian. Aku memandangi punggung lebarnya yang semakin mengecil. Bayangan tegapnya mulai menjauh dari pandanganku. Menapaki bukit kehijauan yang landai di seberang. Jejak mentari mulai terlihat jelas bersama hilangnya keberadaan pria itu. Aku terpaku, dan terus menerawang di balik pohon pohon tinggi nan besar. Ia tak ada di sana, ia benar benar telah pergi. Meninggalkanku seorang diri. Kenapa aku peduli? Apa aku kesepian sekarang?

Aku menunduk lemah. Menatap sepatu kets putihku yang kotor karena lumpur. Perlahan kubersihkan dengan air mengalir di sungai. Hari masih pagi, udara sangat dingin. Menerbangkan helai rambutku yang berantakan tak karuan. Aku berjalan berbalik arah, tanpa lagi tujuan yang jelas. Tidak ada gugusan tujuh bintang atau seseorang penunjuk jalan. Hanya aku, diriku sendiri. Melangkah dan terus melangkah. Berjalan dengan menyedihkan. Aku terus berjalan. Terus berjalan.