webnovel

Terbongkar

Di kafe. Maya berbicara dengan Nando di ruang staff.

"Ada apa memanggillku? Apa aku melakukan kesalahan lagi?"

"Lagi? Memang kau sudah melakukan kesalahan berapa kali? Maya, jika kau butuh bantuan, kau bisa bilang padaku."

"Apa maksudnya itu? Lagipula kenapa aku harus minta tolong? Aku tidak akan melakukannya." Maya tidak berani menatap Nando.

"Maya aku hanya…"

"Kenapa Kak Nando sampai melakukan itu kemarin? Aku jadi merasa bersalah sekaligus tidak enak."

"Akhirnya kau berhenti memanggilku bos." Nando tersenyum. Ia mengelus puncak kepalanya. "Sudah kubilang, kan? Nico sudah seperti saudaraku. Adiknya adalah adikku juga."

"Kenapa jadi terdengar seperti aku dapat pekerjaan lewat orang dalam ya?" Maya garuk-garuk kepala.

Nando tertawa. "Kembalilah bekerja. Aku tidak akan mengistimewakanmu, kau sama seperti pegawai yang lain, paham?"

"Siap!" Maya berdiri tegak dan berpose hormat membuat Nando lagi-lagi tertawa.

Maya keluar dari ruang staf. Nando melihat punggng kecilnya dari belakang. Ia memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan melangkah keluar sembari tersenyum tipis.

Di luar beberapa pelanggan masuk dan memesan. Saat Maya melewati meja barista, Oska memanggilnya. Suaranya pelan dan halus.

Maya terkejut dan berhenti sejenak. Ia ingat kejadian pagi tadi saat dia bertengkar dengan senior Tian. Masih sulit percaya bahwa sekarang dia tinggal bersebelahan dengan dua pria yang ia kenal, satu di kampus, satu lagi di tempat bekerja. Sangat memalukan, bagaimana ia harus menghadapinya nanti. Maya tak berani menatap Oska.

"Kau memanggilku?" tanya Maya ragu.

"Iya," kata Oska sembari mengelap peralatan untuk meracik kopi.

"Kenapa?"

"Kau baik-baik saja?"

"Ha?" Maya tiba-tiba tertawa ringan. "Te…tntu saja aku baik-baik saja. Dasar kau ini, ha ha." Maya tertawa garing.

Oska mengangguk dengan wajah datar. Ia meneruskan mengelap peralatan lain.

"Enggg, Kak Oska. Itu… itu loh yang tadi pagi…bisakah kau…"

"Baiklah."

"Eh? Aku kan belum selesai bicara."

"Kembalilah bekerja. Anggap saja tadi pagi aku adalah patung."

"Dasar aneh, bagaimana bisa aku menganggapnya patung?!" teriak Maya dalam hati. Namun ia akhirnya hanyak mengangguk dan melangkah menjauh dari sana.

Maya kembali bekerja.

"Bisakah kau perbaiki wajahmu yang datar seperti jalan raya itu?" Nando menghampirinya, ia melihat Oska dan Maya berbincang.

"Kadang ada jalan raya yang bergelombang dan berlubang. Sepertinya kau kurang informasi."

"Haah! Seperti biasa, kau menyebalkan sekali. Ck ck." Nando menggeleng. "Aku minta laporan penjualan kopi hari ini ya."

"Iya. Baik." Oska tidak melihatnya namun menjawab sambil membereskan peralatan.

"Dasar muka datar." Nando sendiri juga kadang kesal pada satu pegawainya itu. "Bisakah kau melihat orang yang sedang mengajakmu berbicara."

"Yang penting aku menyahut. Itu sudah cukup."

Nando tidak habis pikir berbicara dengan robot barista yang sepertinya tidak pernah ganti baterai itu. Ia kembali ke ruangannya.

"Ah lupa lagi," Maya menepuk jidatnya saat mencuci gelas di belakang.

Ia ingin sekali bertanya tentang pria yang di belakang minimarket yang bersinar itu. Dia sangat mirip dengan Oska, tapi Maya tidak berani bertanya. Juga tidak sopan kalau asal bertanya.

"Kalau itu benar-benar Kak Oska, dia pasti akan sangat tidak nyaman denganku jika aku mengetahuinya. Untuk saat ini aku tidak akan menyinggungnya."

***

Plak!

Setelah wajahnya berantakan karena dipukuli Tian dan Nico, kini pipi Jeffry merah ditampar Ella.

"Kau…" Ella menahan tangis. "Apa kau pernah sekali menyukaiku?"

"Maafkan aku, El. Kita harus mengakhiri hubungan kita."

"Kenapa? Kenapa kita harus mengakhirinya? Beri aku alasan yang logis."

"Aku tidak tahu kau begitu menyukaiku, padahal kita baru bertemu. Kau sungguh-sungguh menyukaiku saat aku menembakmu di kantin?" Jeffry tersenyum mengolok.

"Apa?" Ella tidak habis pikir. Ia menghela napas berat.

"Aku melihatnya."

"Apa yang kau bicarakan sih?!"

"Saat di kafe saat itu. Kau bilang malu karena ada senior dari klub yang kau ikuti."

"Apa hubungannya?"

"Kau menyukainya, kan?"

Ella terbelalak, ia diam membisu dan membuang muka.

"Kenapa diam?"

"Aku tidak menyukainya." Ella mengatakannya tanpa menatap mata Jeffry.

"Kau menerimaku karena iri dengan Maya yang dekat dengan si anak dekan waktu itu di kantin, kan? Kau juga iri karena senior mu membela Maya waktu di kafe, kan? Iya, kan?!" sentak Jeffry. "Lihat mataku, El. Lihat mataku kalau semua yang kusebutkan tadi adalah kebohongan."

Ella menunduk, matanya berkaca-kaca.

"Kau membenci Maya tapi tidak berani mengakuinya. Karena dia baik padamu, kan? Dia terlihat kecil dan polos buatmu, kan?"

"Kenapa kau terus menyudutkanku dan malah membanding-bandingkanku dengan mantan pacarmu yang pendek itu?! Huh!"

"Sifatmu akhirnya keluar juga. Kalau begitu kita sudahi saja."

"Bukankah kau mendekatiku karena kau merasa aku cocok jadi peran yang kau cari itu?! Aku cantik, tinggi, seksi, populer dan sempurna seperti angel. Bukankah kau juga meminjam citraku dengan memacariku? Kau ingin cari perhatian dari mantanmu yang jelek itu, kan? Kau sok membandingkanku tapi kau lebih parah dariku! Jawab aku kalau berani!"

"Apa? Jelek?" Jeffry tersenyum kecut. "Kita berakhir, El. Jangan pernah berbicara tentang Maya di depanku lagi. Selamat tinggal."

"Harusnya aku yang mengatakannya, Br*ngsek!"

Ella dan Jeffry melenggang pergi ke arah yang berlawanan.

Jeffry mengingat-ingat lagi momen-momen saat mengolok Maya. Apakah dia benar-benar mengoloknya karena membencinya? Kenapa dia seperti ini? Kenapa dia plin plan? Jeffry mengacak rambutnya frustasi.

Di koridor Ella tak sengaja berpapasan dengan Maya. Mereka berdua saling menatap satu sama lain dengan canggung dan aneh. Ella ingat ia sempat dinasihati Senior Tian (meskipun secara tidak langsung) untuk meminta maaf pada orang yang benar, namun di sisi lain saat ini ia sangat benci pada semua orang, termasuk Jeffry dan juga Maya. Mereka saling melewati begitu saja, sampai akhirnya,

"Ella," panggil Maya.

Ella berhenti. Namun tidak mau menoleh. Maya mendekatinya dan berdiri di hadapannya.

"Kau sudah makan siang?" tanya Maya dengan canggung.

Ia memberanikan diri agar tidak lagi ada jarak diantara keduanya. Namun Ella menarik diri.

"Aku sedang diet."

Ella melenggang pergi, namun Maya meraih lengannya.

"Bukankah ada hal yang harus kita bicarakan."

"Tidak ada. Tidak ada yang seperti itu."

Maya melihat mata Ella yang bengkak.

"Siapa yang membuatmu menangis?"

"Jangan sok peduli denganku!" Ella menghempas tangan kecil Maya, sambil menangis. Mahasiswa lain yang berdiri di lorong, lewat dan berbisik-bisik.

"Mereka bertengkar?"

"Memalukan sekali."

"Ah dia kan si Ella yang cantik seperti angel itu."

"Cewek pendek itu pasti berbuat jahat pada Ella."

"Dia pasti iri pada Ella yang cantik."

"Cewek itu cari mati apa gangguin malaikat kampus kita."

Maya yang melihat tatapan orang-orang padanya, akhirnya memilih diam tak meneruskan percakapan sia-sia ini lagi. Sedang ia sendiri tak paham kenapa Ella malah menangis semakin keras seolah meminta perhatian orang-orang agar ia disalahkan. Ia tidak percaya Ella berakting seperti itu di depan semua orang. Maya mendecih dan menunduk. Posisinya dirugikan saat ini.

"Siapa yang victim, siapa yang playing victim."