webnovel

Sahabat Kecil

"Kau tadi menyentuhku. Kau juga harus membayar untuk itu. Itu adalah hutang. Paham?"

"Kau sedang berkhayal? Mana mungkin aku tertarik pada gadis aneh sepertimu!"

Viola menggertakkan giginya.

Sebenarnya ia cukup berterima kasih. Namun juga terlanjur kesal. Hari ini terasa melelahkan. Bahkan belum sampai di penghujung hari. Kepalanya sudah dipenuhi memo-memo tak penting yang tercatat rapi di setiap ruang kosong otaknya. Viola kembali terpaku pada Aram, pria yang baru ditemuinya pagi ini. Ia bukan siswi baru, namun ingatan mengenai teman dan perihal lainnya, kabur begitu saja.

Tak betah berlama-lama. Viola menarik diri dari ruangan yang senyap memakan lidah. Diiringi Aram yang masih memegangi lengannya untuk membantunya berjalan. Dikarenakan kakinya melangkah terbata. Viola termenung memikirkannya. Begitu juga Aram yang melirik singkat kearah sisi wajah Viola. Terdiam menghemat kata. Entah apa isi pikirannya.

***

Kerumunan kegelapan. Merambati sunyi, seakan lampu tak akan menyala. Mengembalikan kekalutan. Sekian para penghuni luka dipenuhi lumpur darah. Di tengah senja merayapi, di tengah terangnya bulan dibalik jendela. Yang sebelumnya didera hujan fajar tadi. Membias, bayangan melemah. Angin yang menerbangkan gorden tipis berwarna silver. Malam yang ditakuti pepohonan, tanpa rindang. Viola menerka dari aroma pekat kejauhan. Bersuara semilir mendayu-dayu. Mendendangkan namanya. Telinga memerah menahan amarah. Membuncah, melesat bak panah. Jiwa yang mirip raungan. Tubuhnya tersentak. Mengganal-ganal kepayahan. Ditelan mati rasa. Sorot matanya kehilangan melodi. Suara-suara parau, serak meneriakinya. Menyuruhnya mati. Mati tanpa disaksikan siapapun. Tak dikenang siapapun.

Viola bergetar hebat. Degup jantung meraung-raung. Viola menarik rambutnya kuat-kuat. Mencakari kulit kepalanya yang berdengung. Hatinya berteriak. Namun mulutnya terkunci rapat. Ia menggila. Delusi menghantui sekujur tubuhnya. Ketakutan, kecemasan pula. Suara suram kesendirian. Samar-samar muncul dari cakrawala. Bayangan wanita. Yang semakin jelas. Meraihnya diantara jari-jemari berlumuran tinta. Membawa sebongkah batu, hampir memukulinya, menyiksanya, menyakitinya tanpa ampun. Wanita gila itu benar-benar mengganggunya.

Viola menjerit. Ditubruknya meja di sisi ranjang. Mencari-cari obat penenang kegilaannya. Hambar sudah. Ia membuka tutup botol pil kecil. Dengan bergetar, dimasukkannya beberapa obat anestesi peredam rasa. Ia terjatuh. Melemah bersama udara yang hampa. Tenggelam ke lembah terdalam. Ia menutup mata. Mengatur sesak paru-parunya, sembari meremas pil yang menggantung hidupnya.

"Wanita jalang itu...berani-beraninya dia...muncul.." Napas berpacu mengikuti kalimat yang ia lontarkan. Tatapan matanya kosong, dipenuhi kebencian.

Obat anti-sedatif itu meredam racauan Viola. Meskipun sesekali ia merutuki Psikiater yang selalu menekannya, seolah dirinya benar-benar gila. Acap kali dokter itu memberinya saran. Yang ada hanyalah menyuruhnya hidup normal, makan normal, sosialisasi normal. Seandainya Viola terlalu tangguh. Ia tak membutuhkan siapapun, sekalipun dokter jiwa klinis lulusan Harvard. Bahkan wanita jalang yang melahirkannya sekalipun.

Viola makin yakin dengan apa yang diyakininya. Semua ini karena kebodohan wanita itu. Wanita yang bahkan tidak tahu siapa yang telah membuatnya melahirkan dirinya. Ditelan kebingungan sendiri. Kegemarannya bermabuk-mabukkan, tidur dengan para sampah yang tidak bertanggung jawab. Sesaat setelah ia mati. Segalanya bertambah runyam. Lupa tanpa kesadaran. Viola mengingat, siksaan yang diterimanya. Pukulan di punggung hingga membiru ke ungu-unguan. Kepala yang dibenturkan ke dinding hingga meninggalkan bekas merah, noda yang tak bisa dengan mudah luntur hanya karena tersiram air. Di tenggelamkan di bak mandi berjam-jam. Viola ingin mati, namun tak bisa mati. Begitulah, seolah semua penderitaan wanita itu adalah kesalahannya. Karena keberadaannya. Ia kehabisan penghapus karet untuk menghilangkan tinta di kertas. Terlalu dalam dan kental.

Malam bertajuk lengang. Viola mengeratkan tubuhnya yang dibaluti jaket hitam. Rambutnya yang acak-acakan ia ikat jadi satu. Sengaja ia melempar kasar botol kecil berisi pil tanpa warna di atas ranjang. Detak jantungnya berjalan lumayan normal. Obat itu tidak diperlukan lagi. Ia mengambil beberapa lembar rupiah yang tersisa di seragam sekolahnya yang tergantung di balik pintu kamar. Sesaat kemudian ia melesat meninggalkan kamar apartemennya. Sebelum dokter menyebalkan itu merusuh, menyeretnya untuk tidur tenang sembari menelan Chlorpromazine.

Pintu berdecit pelan. Waktu belum menunjukkan tengah malam. Jalanan tak bernyawa. Hanya sesekali terdengar gemuruh busway yang berhenti di halte dekat apartemen. Hawa dingin malam menyantap gelisah. Membuai rembulan tengah murka. Viola melangkah tanpa rencana. Tanpa keinginan yang jelas. Wajahnya kusut kehilangan gairah. Setidaknya alter egonya tidak menghalau sepenuhnya. Dan mengenai psikiater itu, ia bisa melarikan diri darinya. Viola menahan tawanya, sembari memasukkan telapak tangannya ke dalam saku jaket, dan mendesis kedinginan.

Ia memeriksa kakinya, plester bercorak kura-kura menghiasi luka. Ia menarik senyum simpul mengingat Aram. Terdengar umpatan ringan dari mulutnya. Meskipun bukan benar-benar umpatan.

Tiba-tiba terdengar langkah derap kaki. Telinga Viola menangkap seseorang tengah mendekatinya. Ia berhenti lalu memutar badan. Seseorang itu memang akan menghampirinya. Penglihatan Viola kacau. Semakin gelap semakin buruk saja. Baru setelah sekitar radius satu meter, ia mendapati orang itu adalah seorang wanita sebaya yang dikenalnya. Alisnya terangkat heran. Air mukanya masih tenang. Menahan tenaga. Sebenarnya malas. Ia tidak mau membuang ludah terlalu banyak. Ia yakin akan terjadi percakapan sangat tidak menyenangkan jika ia bertemu dengannya. Viola menghela napas panjang.

"Lama tidak bertemu," sapa perempuan itu.

"Ya. Lama sekali. Aku hampir lupa," Viola membalas sapanya.

Sinar matanya nampak terbesit sebuah kepuasan kecil. Sejenis tatapan mencemooh. Ia berjalan mendekat ke arah Viola.

"Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu di sini. Di malam hari yang mencengangkan. Lumayan menakutkan bukan? Jadi, kau masih merindukanku Ola?"

Viola menatapnya datar. Panggilan itu, tidak asing baginya.

"Ya, aku sangat sangat merindukanmu, Lyan," tukas Viola sarkasme pada gadis yang bernama Lyan itu. Mereka berdiri berhadapan layaknya rival.

"Jangan terlalu sinis begitu. Kita kan sudah tidak satu sekolah lagi. Kau membuatku tidak nyaman karena bicara dengan pecundang sepertimu. Pecundang yang menyedihkan," Lyan menyilangkan kedua tangannya dengan angkuh.

"Sayangnya, sekarang aku yang telah memergokimu berbicara layaknya pecundang."

"Kau tidak berubah. Masih sama. Apa kau tidak bisa lebih baik dari keadaanmu yang sekarang? Menyedihkan," ujarnya seolah mendendangkan genderang peperangan.

"Jangan terlalu percaya diri dalam segala hal. Karena sekali kau jatuh, rasanya akan seperti terjerembab di dalam selokan bertahun-tahun," ujar Viola tanpa mimik apapun. Namun sorot matanya menghitam tajam.

"Apa katamu!" amarah Lyan membuncah. Giginya menggertak. "Dasar Jalang! Kau dan ibumu sama saja," ia maju selangkah. Menatap benci. Tangannya mengepal ingin mencakar muka Viola. Namun ia menahannya.

"Hal yang paling kubenci adalah, seseorang yang bodoh tapi tak menyadari kebodohannya. Persis seperti dirimu." Viola menekan setiap kata yang terucap dari mulutnya.

"Kau menyulut apimu sendiri Viola. Kau akan menyesal jika suatu saat nanti aku datang untuk menghabisimu."