webnovel

Pemecatan Sepihak

"OI!" Maya mengageti Nico dari belakang.

Namun wajah Nico tertekuk dan nampak tidak baik baik saja. Maya heran melihat wajahnya yang tidak biasanya suntuk. Ia menyadari ada yang sedang tidak beres dengan seniornya itu. Maya mendekatinya dan menatapnya serius.

"Kenapa? Kau sakit?"

Nico menghela napas lalu menggeleng.

"Mau makan sesuatu?"

Nico menggeleng.

"Mau es krim? Aku dengar ada menu baru di kedai depan."

"Tidak. Aku sedang tidak nafsu."

"Ke kafenya Kak Nando, yuk."

Nico berhenti melangkah lalu menatapnya heran.

"Kau…mungkinkah sedang mencoba menghiburku?"

"Siapa? Aku? Kenapa aku melakukannya?" elak Maya.

"Dengar ya, aku bilang tidak nafsu makan."

"Baiklah. Kita akan ke sana. Lets go!" Maya merangkul bahu Nico hingga membuatnya harus menunduk menyamakan tinggi Maya.

Gadis itu tersenyum lebar dan menariknya ke kafenya Nando. Maya mengoceh di sepanjang jalan di halaman keluar dari gedung kampus.

"Kau tahu serial drama populer baru-baru ini? Sepertinya banyak orang terobsesi dengan cerita perselingkuhan akhir-akhir ini. Sepertinya banyak juga yang menontonnya, katanya bagus sekali sampai bikin naik darah alias emosi, haha. Sepertinya kita harus menontonnya."

Nico menggeleng lemah. Ia pasrah dan membiarkan Maya menghiburnya. Ia tersenyum diam-diam saat melihatnya tersenyum, namun Nico dengan cepat memalingkan wajahnya jika Maya menoleh.

Mereka tidak pergi ke kafe punch melainkan ke kedai es krim depan kampus. Nico melihat Maya yang bersemangat melihat kepulan asap dari krim yang dingin. Mereka memesan ke depan sebelum duduk.

"Kau mau pesan apa? Biar aku traktir hari ini," kata Maya. "Wajahmu yang kusut itu membuatku malas melihatnya."

Nico mendecih. "Kau punya uang?"

"Apa? Kau pikir aku ini gelandangan ya? Aku juga bekerja tahu!"

Nico tertawa kecil.

"Ketika meledekku kau baru tertawa, cih."

"Mau pesan apa? Silahkan pilih menunya," kata pelayan sembari menunjuk poster dinding di belakangnya yang bertuliskan daftar menu dan harga.

"Chocolate parfait nya dua," kata Nico sembari mengeluarkan dompetnya.

"Oi," Maya menoleh. Ia memegang lengan Nico memberi tanda untuk berhenti membuka dompetnya. "Aku yang traktir."

"Siapa yang mau mentraktirmu."

"Apa?"

"Aku akan makan dua-duanya."

Maya membatu. Nico mengeluarkan credit card lalu membayar pesanannya, lalu duduk di meja yang kosong. Meninggalkan Maya yang masih berdiri di depan sana.

"Kalau mbak mau pesan apa?" tanya pegawai itu lagi.

"Oh saya? Tidak jadi deh, hehe." Maya lalu menyusul Nico.

"Kau pesan apa?" tanya Nico sembari menyembunyikan senyumnya.

"Kenapa kau senyum-senyum begitu? Sialan."

Nico tertawa kecil sembari menyilangkan lengan depan dada. Ia suka menggoda Maya, apalagi melihat wajahnya yang malu dan cemberut.

"Kau tahu, May?"

"Apa!" Maya kesal.

"Tidak semua orang sepertimu."

Maya memiringkan kepalanya, ia tidak paham maksud Nico. Lagipula ia sudah terlanjur kesal dengan sikap main-mainnya si Nico. Ia berniat menghibur malah dijadikan lelucon. Meskipun ia tahu Nico hanya bercanda.

"Tidak. Lupakan saja."

Pesanan mereka datang. Maya menatap dua es krim yang disajikan pegawai perempuan itu, sedang Nico memperhatikan Maya.

"Silahkan dinikmati." Setelah melayani pengunjung, pegawai itu kembali.

Nico mengambil kedua es krim itu ke depannya. Sedang Maya hanya melihatnya dengan wajah menginginkannya. Lidahnya yang menjilat bibirnya bahkan tidak bisa berbohong.

"Nih, buatmu. Aku terpaksa memberikannya karena kau terlihat menginginkannya."

"Memang sedari awal itu buatku kan?" Maya tersenyum lebar lalu mengambil satu es krimnya.

"Wah kau percaya diri sekali. Apa kau tidak punya harga diri?" candanya. "Ini akan kumasukkan dalam daftar hutangmu, paham?"

"Sebagai sahabat yang baik aku membantu sahabat untuk menghabiskan es krim yang tidak mungkin ia habiskan sendiri."

Nico tertawa lebar. "Dasar kau ini ada-ada saja."

"Apa mood mu sudah kembali?"

"Berkat sahabat yang tidak tahu diri ini aku jadi goodmood, puas?"

Keduanya tertawa. Mereka menikmati es krim parfait itu dengan mood yang bagus. Tanpa Maya sadari, Nico menatapnya. Ia melihat pipinya yang sedikit belepotan. Diambilnya tisu lalu diusapkan ke pipi Maya.

"Apa kau bayi?"

"Hehe."

Keduanya tersenyum satu sama lain. Nico dan Maya memang sahabat sedari kecil. Maya bahkan mengenal kakak laki-laki dan kakak perempuan Nico, begitu juga Nico, ia mengenal ayah dan ibu Maya. Jadi keduanya bersikap biasa saja meskipun orang-orang di sekitar mereka mengira mereka sedang dalam hubungan romansa.

"Kau tidak tanya aku kenapa hari ini?" tanya Nico, wajahnya kembali serius.

"Nanti juga kau cerita sendiri. Kenapa aku harus memaksa?" kata Maya tanpa menatap Nico. Ia sibuk menikmati es krimnya.

"Tidak semua orang sama sepertimu yang kembali good mood ketika makan sesuatu yang enak. Bagiku melihatmu menikmati makananmu adalah mood booster. Bukan makanannya tapi siapa yang sedang makan bersamaku," kata Nico dalam hatinya sembari menatap Maya. Ia lega memiliki Maya di sisinya.

***

"Cepat bersihkan darah busuk itu! Aku bukan anak kotor! Tapi wanita itu yang kotor! Cepat hilangkan dia dari pandanganku!"

Brak!

Dr. Casano masuk dan melihat dua suster memegang lengan Viola yang dengan brutal menjambak rambutnya hingga rambutnya rontok dan berjatuhan di lantai. Ia berkali-kali menampik tangan para suster, namun dua suster itu memegangi dengan sekuat tenaga. Dokter masuk dengan napas yang tak beraturan, ia menatap gadis remaja yang menggila dengan wajah pucat dan menyedihkan. Kedua tangannya gemetaran menatap ke arah dokter yang melangkah mendekatinya.

"Pegangi dengan kuat," perintah dokter pada dua suster itu. Mereka mengangguk dan memegangi lengan Viola lebih kuat.

"Lepaskan! Lepaskan aku!" teriaknya.

Dr. Casano mengambil suntik penenang di atas meja obat dorong yang dibawa suster. Lalu menyuntikkannya ke leher Viola. Dengan wajah tertekuk, Dr. Casano menatap wajah pucat dan nanar gadis remaja itu.

"Viola, aku mohon tenanglah," katanya dengan lembut namun pedih. Dua suster itu ikut menunduk merasa bersalah.

Viola adalah adik dari Dr. Casano yang baru dirawat di sana beberapa hari ini.

Beberapa tahun yang lalu di Rumah Sakit Jiwa.

Di dalam suatu ruangan, terpampang sebuah dokumen penting yang diletakkan di atas meja. Berisi mengenai perihal penting yang sudah bisa ditebak isinya oleh sang penerima.

Dengan adanya surat ini. Kami beritahukan kepada yang bersangkutan:

Roy Casano.

Sebagai wujud dari pelanggaran yang telah dilakukan. Yaitu menangani pasien di luar tugas yang telah diberikan. Secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Dengan ini dinyatakan :

Diberhentikan dari segala aktivitasnya sebagai psikiater di Rumah sakit jiwa Camelia.

Surat itu adalah surat pemecatan.