webnovel

Pemberontakan

"Aku akan membunuh pria bernama Jeffry itu. Aku pasti akan menemukannya," batin Richy.

Maya menangis.

"Aku takut! Aku benci Mama yang membuatku seperti ini..." Maya menangis.

Bagi Richy, Maya tetaplah bayi kecil yang tidak bisa ia lepas kendali begitu saja.

"Aku minta maaf. Maafkan aku." Richy mengelus kepalanya dan menenangkannya.

"Aku mau ikut Kakak saja. Aku mau ikut Kakak...." Maya memeluk kakaknya dan menangis sesenggukan.

Minggu berikutnya, Maya dan Richy menghadiri persidangan Mama. Paman Maya, adik dari ibu kandung mereka yang sudah meninggal, menjadi saksi. Bahwa Maya ditelantarkan sejak SMP. Ayahnya meninggal dan menikah dengan wanita mata duitan. Memoroti putrinya sendiri. Sedangkan saat itu Richy tidak pernah pulang sejak ibu mereka meninggal. Paman dan istrinya mengurus yang Maya. Tidak ada warisan yang ditinggalkan dari ayahnya. Setelah persidangan berakhir, Richy mengajak Maya makan siang dekat kota.

"Makan yang banyak," kata Richy.

Maya mengangguk.

"Apa kau makan dengan teratur selama di apartemen?"

Maya mengangguk lagi.

Setelah bertahun-tahun, ini adalah pertama kalinya mereka berdua tinggal bersama. Rasanya aneh sekaligus nyaman dan hangat. Richy selalu memasak untuk Maya. Apartemen Maya selalu bersih. Oska menyapa keduanya dengan biasa. Richy dan Oska yang mengenal berpura-pura seolah asing satu sama lain. Sedangkan Tian, dia tidak berani menyapa Maya karena terlalu malu dan takut dengan kakaknya yang garang.

Maya sudah memberitahu kakaknya, dan juga sudah mengirim pesan pada Tian untuk tidak terlalu takut. Tapi Tian tidak bisa melupakan saat dia memegang lengan kekar Richy dan memintanya untuk melepaskan tangan Maya di depan kampus kemarin. Ia ingin terlihat keren di depan Maya, tapi malah berakhir memberikan first impression yang buruk pada kakaknya.

"Kakak kerja dimana sekarang?"

"Di perusahaan tidak terkenal, cuma staf biasa."

"Benarkah?"

Richy mengangguk.

"Kenapa kau punya mobil?"

Richy yang sedang melipat baju, menoleh ke arah Maya yang rebahan di sofa sembari menatapnya.

"Karena aku ingin punya mobil. Kau puas?"

"Apa masih mencicil?"

"Aku membelinya cash," Richy agak sebal dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

"Kenapa kau beli es krim banyak sekali di kulkas?" Maya yang tengah selonjoran santai, mengambil banyak es krim.

Richy menatap Maya yang memakai celana pendek dan kaus santai sembari memakan es krim dan membaca komik. Rambutnya digulung ke atas. Ia tersenyum.

"Dia sudah tumbuh sebesar ini." Richy merasa bersalah dan merasa tidak bertanggung jawab sebagai walinya.

"Apa Kakak sudah menikah?"

"Belum." Richy memutar bola matanya kesal. "Sampai kapan kau mau terus bertanya?"

"Tidak. Cuma penasaran saja, hehe." Maya mengengeh. "Aku mau berbelanja baju besok."

"Besok?"

"Hem." Maya mengangguk. "Apa kau cuti bekerja?"

"Iya. Sampai akhir minggu ini."

Maya berdiri dan duduk di dekatnya.

"Apa rumahmu jauh dari kampus?"

"Kenapa?"

"Kenapa lagi? Aku mau tinggal dengan kakak." Maya cemberut.

"Jika begini Dean akan dengan mudah menemukan Maya," batin Richy.

"Tidak bisa," jawab Richy dengan tegas.

"Kenapa?"

"Kau jorok."

"Cih."

Malamnya, saat Maya tertidur. Richy keluar dan merokok di dekat pagar. Tian keluar dan hendak membuang sampah, namun dia terkejut ada Richy di luar. Karena sudah di luar tidak mungkin dia lari. Tian hanya lewat dan menyapanya.

"Se..selamat malam."

Richy menatapnya. "Kau menyukai adikku?"

Straight to the point!

Tian terhenyak, ia mematung beku.

"Aku tanya padamu, apa kau suka adikku?"

"Anu...tentang yang waktu itu di kampus, aku tidak tahu anda kakaknya Maya. Maaf karena tidak sopan pada anda."

"Berapa usiamu?"

"Saya 21 tahun."

"Satu tahun lebih tua dari Maya. Kau tahu berapa usiaku?"

Tian gugup menjawabnya. "Dua puluh....lima? eh enam?"

"27."

"Ah begitu, ya." Tian tersenyum kikuk.

"Apa kau sudah menembaknya? Apa kau sudah menciumnya?" Richy menatap tajam Tian.

"Ti..tidak kok." Tian menggeleng. "Hubungan kami tidak seperti itu. Kami cuma teman biasa. Saya tidak pernah melakukan hal-hal aneh padanya. Saya belum menembaknya juga."

"Kalau sudah, kau akan menciumnya?"

Glek!

Tian bingung karena dicecar dengan pertanyaan-pertanyaan brutal itu. Richy membuang rokoknya. Ia lalu mendekat pada Tian.

"Tidak ada pria lemah di keluarga kami. Hidup Maya sudah berat sejak kecil. Jadi, jangan jadi pria lemah."

Setelah mengatakan itu dengan dingin, Richy masuk ke dalam. Tian memegang dadanya sembari membuang napas lega. Sedari tadi ia menahan napas karena saking tegangnya.

"Apa itu tadi maksudnya dia menyemangatiku?" Tian memiringkan kepalanya bingung. Ia berusaha mencerna kata-kata Richy.

***

"Argh!" Dean merintih kesakitan di malam hari sembari memegang kepalanya yang nyut-nyutan. Kilasan-kilasan entah masa lalu milik siapa, terus-terusan berputar dalam otaknya.

Suara seseorang yang memanggil kakak, anak kecil yang tersenyum di kursi roda, suster muda yang meniup balon, hingar bingar taman bermain dan seorang ayah yang memukul punggung seorang anak kecil yang nampak seperti putranya sendiri.

Dean akhirnya memeriksakan diri ke dokter diam-diam. Namun dokter memberi penjelasan yang aneh.

"Apakah anda pernah mengalami amnesia?"

"Apa? Amnesia?"

"Ada bagian otak anda yang sedikit terluka dan itu membuat anda amnesia dalam waktu yang lama. Seperti akibat benturan atau kecelakaan. Apakah anda pernah mengalami sesuatu saat masih kecil?"

"Lalu kenapa sakit kepala saya terjadi baru-baru ini?"

"Karena ada pemicu eksternal. Anda pasti pernah mengunjungi suatu tempat baru dan bertemu orang-orang baru. Kemungkinan mereka pernah mengenal anda sebelum anda amnesia, sehingga memicu ingatan yang muncul secara perlahan dan memaksa."

Dean termenung mendengarnya. Ia tidak pernah diberitahu kalau dirinya mengalami amnesia. Memang ia tidak terlalu ingat banyak hal mengenai masa kecilnya, tapi dia tidak terlalu mempermasalahkannya. Dalam perjalanan pulang ayah menghubunginya dan mengajaknya makan malam berdua. Dean mengiyakan permintaannya.

"Kau suka makanan Jepang?" tanya Gabriel.

"Iya." Dean menuangkan teh pada gelas porselen kecil pada ayah.

"Apa ada masalah di markas?"

"Tidak ada."

"Bagaimana yang lainnya. Ian, Onyx dan Zen, bagaimana sekolah mereka?"

"Tidak ada masalah."

Gabriel manggut-manggut senang.

"Elias masih di sana?"

"Iya."

"Dia akan memimpin rumah sakit beberapa bulan ke depan."

Dean berhenti menuangkan teh untuk dirinya. Namun sedetik kemudian ia kembali memasang wajah datar.

"Kau akan memimpin perusahaan dan Elias akan tetap di rumah sakit. Kau boleh menjadikan Sano pengawal pribadimu seperti biasa."

"Bolehkah saya bertanya?"

"Silakan." Gabriel menikmati tehnya.

"Kenapa bukan Elias yang memimpin perusahaan."

"Dia masih terlalu amatir."

"Amatir? Dalam hal apa? Dia melakukan pekerjaan lebih baik dari pada saya."

"Ya karena ini! Karena kau terus merendah, tapi Elias, anak itu....arghh benar-benar."

Dean masih tidak paham.

Mereka berada di restoran Jepang. Keduanya duduk dengan lesehan. Meja besar di tengah terdiri dari berbagai macam hidangan khas Jepang favorit Ketua. Tahun lalu, saat keduanya makan bersama, Dean muntah karena ia tidak bisa makan daging ikan mentah atau sushi, namun ia tetap memaksa memakannya. Meskipun berakhir pingsan dan dipapah Elias.

Pintu geser khas Jepang itu tiba-tiba terbuka. Elias berdiri di sana dengan elegan dan tanpa rasa bersalah.

"Elias!" Gabriel terlihat marah.

Namun Elias tetap duduk di samping Dean meski tak dipersilakan duduk.

"Aku suka sushi. Kenapa ayah tak mengajakku?" Elias mengambil sumpit milik Dean lalu mengambil piring sushi di hadapannya.

dean merasa terselamatkan karena tidak harus makan sushi itu tapi di waktu yang bersamaan, ia merasa Elias tidak seharusnya datang.

"Dean, ambil piringmu dan makan sushinya!" kata Gabriel.

Dean lalu terpaksa mengambilnya, namun Elias menghempas tangannya.

"Berhenti memberi perintah!" teriak Elias sembari menaruh sumpit di atas meja dengan kasar hingga bersuara keras.

Dean terkejut melihat reaksi Elias yang tak biasanya. Tapi justru inilah Elias yang sebenarnya.

"Apa kau sudah gila?" ayah marah.

"Berhenti memperalat Dean!"

"A..apa katamu?!"

"Aku satu-satunya putra kandungmu. Apa aku saja tidak cukup?!"

Dean terkejut mendengar kata-kata Elias. Ia lalu berdiri di ambang pintu.

"Ayo keluar, Dean. Jangan memaksa makan ikan mentah itu. Aku tidak mau memapahmu lagi dari toilet."

"A..apa?" Gabriel tidak menyadarinya.

Namun Dean masih tidak bergeming.

"Kau berani melawanku? Bukan Sano yang akan jadi pengawalmu, tapi kau yang akan jadi pengawalku," tegas Elias.

Dean lalu berdiri. Mereka berdua lalu meninggalkan Ketua yang sakit kepala. Beberapa ajudannya membantunya berdiri.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Dean.

"Kau tahu kalau aku satu-satunya putra kandung Gabriel di sini, kan?"

"Apa yang sebenarnya ingin kau katakan?"

"Tidak seperti Sano yang kau ajak bergabung, tidak seperti Onyx dan Ian yang aku adopsi dari jalanan, atau Zen yang berasal dari panti asuhan. Kau? Dari mana asalmu sebenarnya, Dean? Apa kau yakin namamu memang Dean? Apa kau tidak penasaran dengan dirimu sendiri? Apa kau bahkan pernah memikirkannya?"

Degh

Jujur saja Dean tidak pernah memikirkannya.

"Kenapa aku merasa aneh? Selama ini aku kemana saja?" batin Dean yang mulai bingung dengan eksistensinya sendiri.

"Kau cuma menuruti perintah Gabriel dan tidak pernah mempertanyakannya. Apa kau anjingnya?"

Dean tidak bisa menjawab semua itu. Pikirannya mulai tercemar kata-kata Elias. Ia mengingat penuturan Dokter bahwa dia mengalami amnesia. Semuanya jadi jelas. Dean paham alurnya.