webnovel

Not Dating

Wah…makanan ini terlihat enak sekali. Benar tidak apa-apa hanya kita yang menikmatinya? Aku merasa tidak enak pada kakak kakakmu."

Kini Nico paham maksud dari dua kakaknya, ternyata ini rencana mereka. Membuat kencan dia dan Maya.

"Tidak perlu merasa bersalah. Kita hanya perlu menghabiskan makanan ini dan pulang."

Maya mengangguk.

Sembari menikmati makanan, mereka berbincang.

"Aku sangat penasaran dengan sesuatu, May."

"Apa?"

"Kenapa kau pacaran dengan Jeffry dulu di SMA? Apa karena aku tidak satu sekolah denganmu? Jadi kau bebas memilih pria brengsek sepertinya?"

"Kenapa tiba-tiba mengungkit itu?"

"Aku sangat marah. Aku ingin memukul si brengsek itu sampai mati." Nico mengiris steak nya dengan kasar.

"Itu tidak perlu. Jika kau membunuhnya dan berakhir di penjara, aku yang akan sedih," sahut Maya tanpa melihat Nico dan sibuk mengiris steak dengan kesusahan.

Nico terhenyak mendengarnya. Ia senang sekaligus terharu. Ia lalu mengangkat piring Maya dan mengganti dengan piringnya yang steak-nya sudah ia iris rapi.

"Aku bisa mengirisnya sendiri kok."

"Kelamaan tahu."

"Cih."

Meski begitu Maya menikmati makanan itu dengan tersenyum. Ia mengunyahnya dengan bahagia.

Nico senang melihat senyuman Maya malam ini. Seolah bukan senyum palsu yang ia tunjukkan seperti biasanya. Ia lalu mengeluarkan kotak kecil saku jas bagian dalamnya. Nico memberikan kotak kecil itu padanya.

"Apa ini?"

"Buka saja."

Maya membukanya, itu adalah cincin dengan permata yang bersinar.

"Apa ini?!" Maya tertegun.

"Kau pikir aku melamarmu? Baca tuh bagian dalamnya."

Maya memeriksanya. Ada sebuah tulisan 'A BILL' di sana.

"Ha? Kurang kerjaan banget kau." Maya tertawa kecil. "Apa tidak sayang cincinnya kau ukir begini?"

"Ini untuk mengingatkan hubungan kita yang sesungguhnya. Jangan dengarkan kata-kata si Andra. Hutangmu tidak bisa dihapuskan oleh apapun, kau paham?"

Maya main tertawa lebar. Ia tidak habis pikir, meskipun ia tidak bersungguh-sungguh, sikapnya ini sangat di luar dugaan. Maya tidak menduganya. Ia sampai capek tertawa.

"Apa kau bodoh huh? Dasar! Baiklah. Aku akan menjaga cincin ini baik-baik sebagai pengingat." Maya tersenyum.

Setelah mereka selesai makan, Maya benar-benar mengajaknya langsung pulang. Jadi tidak ada pilihan lain selain mengantarnya setelah dari restoran.

Nico memarkirkan mobilnya di depan apartemen. Mereka turun dari mobil.

"Terima kasih hari ini, Nic. Tapi kuharap kau tidak melakukannya lagi."

"Ini kan hari ulang tahunmu. Kau harusnya senang bukan murung."

"Apa aku harus mengembalikan gaun ini?"

Nico menggeleng pelan lalu memegang bahu Maya.

"Dengarkan aku baik-baik, May. Kau pantas mendapat semua ini. Jangan merasa insecure atau tidak percaya diri. Paham?"

Maya terharu, ia mengangguk pelan.

"Ya sudah, masuklah. Aku akan pulang setelah melihatmu masuk."

Maya naik ke tangga kecil di depan pintu apartemen, sedang Nico di bawah. Nico melambai padanya.

Namun tiba-tiba Maya turun dan berdiri di hadapannya.

"Kenapa?" tanya Nico.

"Sebenarnya ada yang mau aku bicarakan. Aku…"

"Ssssttt," Nico menaruh jari telunjuknya di bibir Maya. "Jangan memaksa memberitahuku hal yang yang tidak ingin kau beritahu."

Maya terkejut, ia tidak menyangka Nico sangat paham dirinya.

"Aku cuma mau bilang, terima kasih sudah mau jadi sahabatku." Maya tersenyum.

Nico tidak kuat lagi menahannya. Ia mendekat lalu memeluk Maya hingga membuat gadis itu terkejut.

"Nico? Kau baik-baik saja?"

Nico berkaca-kaca, ia menitikkan air mata sembari memeluk Maya.

"Kau bicara seolah mau pergi. Kau pikir aku baik-baik saja mendengarnya?"

Maya balas memeluknya, lalu menepuk punggungnya. Ia sedih dan merasa bersalah. Setelah mendapat hadiah sebanyak ini, ia merasa jadi teman yang tidak tahu malu. Mungkin ia akan menyakitinya suatu hari nanti. Maya khawatir dan takut.

"Maafkan aku. Aku janji kau akan jadi teman pertama yang aku beritahu tentang cuti dan kepindahanku," batin Maya. Ia hampir menangis.

Beberapa hari setelah itu, Maya mengemas barang yang perlu di bawa secukupnya, karena setelah selesai nanti ia ingin tetap berada di kamar itu. Beruntung pemilik gedung apartemen mengizinkan. Ia benar benar keluar dari kampus untuk sementara dan pindah untuk bekerja.

***

"Aku sudah mengirimnya ke email," kata seseorang dari seberang telepon. Itu adalah rekan Roy.

"Baiklah. Terima kasih." Roy lalu membuka email di laptopnya dan mencetak file itu. Ia memeriksa dokumennya.

Ia masih dalam panggilan dengan temannya.

"Anak ini sakit parah rupanya," kata rekannya. Roy mendengarkan sembari membaca berkasnya. "Dia punya riwayat jantung lemah sejak kecil. Ia dirawat di Rumah Sakit Mulia dengan bantuan jaminan kesehatan dari pemerintah (BPJS), dan masih menunggu transplantasi. Dia tinggal di daerah yang sama dengan rumah adikmu yang dulu. Mereka tetanggaan. Kemungkinan besar dia tahu tentang penyiksaan dan penganiayaan yang dialami adikmu. Kemungkinan besar juga mereka berdua adalah teman dekat."

"Viola tidak boleh bertemu dengannya dulu. Dia akan semakin membuat delusinya semakin parah," kata Roy. "Di sini tertulis dia hanya punya ibu."

"Dia yatim sejak masih kecil. Aku mendapat informasi tidak resmi kalau ibunya adalah wanita malam. Anak itu tidak tahu siapa ayahnya."

Roy menghela napas, ia ikut prihatin mendengarnya. "Selalu ada riwayat keluarga yang tidak normal di dalam kehidupan anak-anak yang memiliki bermasalah."

"Kau benar."

"Jika dia menunggu transplantasi, ada kemungkinan pihak rumah sakit tidak akan membiarkannya karena notabene nya mereka hanya pemegang BPJS. Rumah sakit tentu akan memberikan donor kepada para VIP lebih dulu."

"Jadi apa rencanamu?"

"Jadikan anak itu pasien VIP dan buat dia di daftar pertama ketika ada transplantasi yang cocok."

"Apa kau harus sampai melakukan itu?"

"Tentu saja. Aku tidak membantu orang setengah setengah," kata Roy dengan penuh keyakinan.

***

"Loh anak saya mau dipindah ke mana, Suster?" tanya Bu Olif pada suster laki-laki dan perempuan.

"Anak anda akan dipindah ke ruang VIP, Bu."

"Apa? Apa yang terjadi?"

"Seorang dermawan membiayai semua perawatan anak ibu. Anda sangat beruntung."

"Astaga, benarkah itu, Sus?"

"Iya, Bu."

Mereka lalu mendorong ranjang putra Bu Olif ke ruang VIP. Sesampainya di sana, putranya yang tengah tidur diangkat ke ranjang yang baru. Ia bersyukur anaknya sekarang mendapatkan perawatan yang lebih baik.