webnovel

Majalah Itu Lagi

"Tian! Tian!" Rimba mengejarnya yang melangkah keluar lapangan.

Wajah Tian tertekuk dan berubah garang, amarahnya membuncah namun ia menahannya agar tidak memukul Rimba. Ia memilih keluar dari sana. Dibukanya kasar kemeja yang ia pakai lalu ia tenteng keluar. Ia hanya mengenakan kaus putih.

Saat keluar ia berjalan entah kemana, namun ia mendapati seseorang tengah memperhatikannya dari jauh. Itu adalah Maya. Ia terhenti dan membatu. Begitu juga Maya yang terkejut karena Tian menyadari dirinya melihatnya. Mereka berdua saling menatap satu sama lain.

Tian melihat Jeffry tengah berlari ke arah Maya, menarik lengannya paksa dan meneriakinya entah apa. Tian khawatir hingga berlari ke arahnya. Kebetulan sekali ia sangat marah. Ia berlari menghampirinya dan langsung melemparkan bogem mentah ke wajah Jeffry yang sudah babak belur sebelumnya karena pukulan Nico tadi pagi.

Buagh!

Tangan Jeffry seketika lepas dari tangan Maya. Ia terjungkal ke belakang hampir terjatuh, tapi ia berhasil menopang tubuhnya.

"Aishhh apa-apan kau! Siapa lagi dia ini?! Pacarmu yang lain?!" Jeffry mengusap darah dari sudut bibirnya.

"Senior!" Maya panik melihat Tian yang tiba-tiba datang dan memukul Jeffry.

"Mau apa kau, Br*ngsek! Mau apa lagi kau bertemu Maya?! Br*ngsek sialan!" Tian menarik kerahnya. Matanya berapi-api.

Maya terkejut mendengar senior mengumpat sebanyak itu. Ia curiga kalau sebelumnya ia sudah marah pada seseorang. Tadi ia sempat melihat Rimba mengejar Tian keluar dari lapangan, mereka berdua sepertinya bertengkar. Maya yang melihat Tian semakin emosi dan berniat memukulnya lagi, berusaha mencegah. Ia memegang lengannya agar berhenti.

"Senior, hentikan. Orang-orang melihat. Senior!"

Tian terpaksa melepaskan cengkeraman kerahnya karena Maya.

Jeffry terengah, ia merapikan kerah kemejanya.

"Sial sekali hari ini. Aku dipukul dua pria yang sama sekali tidak kukenal. Woy Maya," Jeffry melirik ke arah Maya. "Apa si br*ngsek ini juga pacarmu? Apa yang sebelumnya juga pacarmu?"

"Apa? Siapa maksudmu?"

Tian baru ingat kalau Maya tidak tahu kalau Nico tadi pagi memukuli Jeffry sampai babak belur. Bahkan wajah Jeffry di plester di beberapa bagian. Meski begitu Tian masih ingin memukulnya.

"Tadi pagi aku dipukuli si anak de…."

Buagh!

Maya dan Jeffry sama-sama terkejut karena Tian mendadak memukul lagi. Maya lagi-lagi menarik lengan Tian agar berhenti.

"Pergilah, sebelum aku membunuhmu, Br*ngsek!"

"Aiishhh sialan!!"

Jeffry pergi meninggalkan mereka berdua. Ia memegang pipinya yang nyut-nyutan.

Mereka berdua memutuskan untuk bicara di kursi dekat taman berkanopi. Maya membelikan Tian minuman kaleng. Keduanya duduk dengan canggung.

"Apa kau yang membuat wajah Jeffry babak belur tadi pagi?" tanya Maya.

"Tidak."

"Sungguh?"

"Hem."

"Kau marah padaku?"

"Apa aku terlihat begitu?"

"Sangat."

Tian duduk agak serong menghadap ke Maya.

"Aku masih tidak paham percakapan kita tadi pagi. Kau masih tidak nyaman di dekatku? Sampai bolos latihan?"

"Tadi terima kasih sudah membelaku. Aku jadi ingat saat kita ada di dekat minimarket."

"Kau sedang mengalihkan pembicaraan?

"Senior, apa kau bertengkar dengan Kak Rimba. Aku melihat dia mengejar dan memanggilmu tadi?"

"Kau melihat Rimba tadi?"

"Em. Apa kau memukul Jeffry karena bertengkar dengannya?"

"Kau kira aku melampiaskan amarahku pada si br*ngsek itu?" Tian menghela napas. "Benar-benar kau, bagaimana bisa kau berpikir begitu?"

"Kalau begitu kenapa kau memukulnya?"

"Bukankah kau harus menjawab pertanyaanku lebih dulu?"

"Aku tahu tadi pagi kata-kataku membuatmu marah, tapi aku tidak berniat menariknya kembali. Aku minta maaf karena menuduhmu yang bukan-bukan, kau bukan orang yang seperti itu, melihat sikapmu yang dingin pada orang lain." Maya tersenyum simpul.

Tian balik tersenyum padanya. Akhirnya mereka akur kembali.

"Kau mau bekerja sore ini?"

"Iya."

"Kuantar saja."

"Oh ya, selama ini aku tidak pernah melihat bagaimana kau ke kampus."

"Kadang-kadang aku pakai mobil, kadang-kadang naik bus. Aku bawa mobil hari ini, mau kuantar?"

"Anu senior," Maya ragu. "Majalah yang tadi pagi itu…"

Degh.

Tian terkejut setengah mati. Kenapa mengungkit hal itu sih, batin Tian menjerit. Ia malu sampai ke ubun-ubun. Ingin ia sumpal telinganya.

"Apa kau yang membelinya sendiri? Bagaimana kau mendapatkannya?"

"Ah itu sebenarnya bukan punyaku." Tian membuang muka, malu. "Tapi punya temanku yang ketinggalan, tapi itu bukan majalah dewasa kok. Kau lihat sampulnya kan, kata temanku itu model gadis manis yang…"

"Tidak perlu dijelaskan kok. Misalkan majalah dewasa juga aku memakluminya. Aku cuma penasaran bagaimana kau bisa punya itu." Maya menyadari gelagat senior yang gugup.

"Sungguh itu bukan majalah aneh. Tapi setelah membacanya sedikit aku jadi bertanya-tanya siapa penulisnya. Haha." Tian tertawa garing, memecahkan suasana.

Maya terdiam.

"Sebentar kuingat-ingat kalau tidak salah…Richy…ah ya Richy Forenzo." Tian menjentikkan jarinya.

Tian melihat Maya menunduk dengan wajah datar. Seolah tidak kaget dengan penjelasannya.

Sesaat ia tiba-tiba mengingat sesuatu.

"Lho? Bukankah namanya sama denganmu? Maya Forenzo?"

Pantas saja selama ini nama penulis laknat itu terasa tidak asing. Tian membelalakkan mata. Ia menganga. Bingung harus bereaksi seperti apa.

"Tidak mungkin!" batin Tian.

***

Di sebuah perusahaan majalah yang sibuk lalu lalang, ada yang menerima panggilan, meeting tim, presentasi, diskusi dengan atasan, dan tugas sibuk lainnya. Seorang pria berperawakan tinggi, dengan vibes CEO, berkemeja dan berjas rapi tengah berjalan di koridor, beberapa pegawai wanita terkagum-kagum dengan wajah tampannya.

"Jika aku menikahi pria sempurna seperti manajer, aku pasti akan berhenti bekerja dan hanya fokus merawat anak-anak kita."

"Waaah tampannya tiada taraaa"

"Aku harap bisa pacaran dengannya. Tapi itu hanya mimpi."

Dibalik pujian pegawai wanita-wanita itu, ternyata Richy kena semprot begitu nmasuk ke ruangan atasannya. Atasan itu menggebrakkan laporan ke meja.

"Kau masih menerbitkan majalah itu?!" atasannya berkacak pinggang.

Richy berdiri dengan sopan dan menunduk.

"Tidak, Pak. Saya sudah menghentikan penerbitannya tiga bulan yang lalu."

"Apa? Benarkah?" atasan itu berdehem malu. Ia kembali duduk dengan tenang dan mempersilakan Richy duduk.

"Tapi aneh sekali, penjualannya meningkat drastis minggu terakhir ini."

"Setelah menjadi manajer saya rasa majalah tersebut tidak pantas dibaca. Saya mohon maaf, mengenai itu, meningkatnya tingkat penjualan juga diluar kendali saya dan tim marketing." Richy menjelaskannya dengan rinci dan sopan. Atasan manggut-manggut.

"Baiklah, mari kita lihat persentase akhir bulan ini. Jika positif, kau boleh melanjutkannya ke season 2."

"Apa?"

Richy membelalakkan mata, tidak tahu harus memberi respon yang bagaimana.