webnovel

Lyan's Confess

"Jadilah pacarku."

Lyan memegang erat tangan pria itu, sembari berharap dengan mata berbinar. Namun pria yang duduk di hadapannya hanya menggeleng pelan. Perlahan ia melepaskan tautan tangannya dengan Lyan. Gadis itu berasal dari keluarga kaya raya karena diadopsi keluarga terpandang.

Siang ini restoran lumayan sepi. Hanya beberapa pengunjung yang mampir membawa pasangan mereka. Ditemani melodi yang mengalun. Sejenak menenangkan hati. Romantisme. Diantara dari mereka ada yang menyiapkan bunga untuk sang kekasih. Atau sekadar saling menggenggam tangan satu sama lain.

Lyan mendesah melihat orang-orang di sekelilingnya. Dirinya merasa gagal menjadi wanita. Lagipula apa yang salah darinya? Ia merasa sempurna dalam segala hal. Dengan tergugup, disesapnya secangkir kopi hangat. Berusaha menenangkan hatinya yang tak karuan. Menerima penolakan dari seorang pria, sangat merendahkan harga dirinya. Ia terus memohon, tetapi pria itu hanya tersenyum setengah hati.

"Apa kau merasa baik-baik saja setelah mengatakan itu padaku?" tanya pria itu. Lyan terkejut.

"Aku paham. Usia kita terpaut lumayan jauh. Tapi aku sangat-sangat menyukaimu. Bukan sebagai pengagum, tapi sebagai pria." Lyan masih berusaha meyakinkannya. "Apa yang kurang dariku? Aku cantik, kaya, cerdas, dan seksi."

Pria itu mengamati penampilan Lyan dari pangkal hingga ujung. Cukup fantastis dan berani. Gaun merah melekat ramping di tubuh, hanya menutupi sebagian pahanya, serta make up yang tebal. Sebenarnya ia merasa bersalah. Tapi apa boleh buat. Lyan seperti seorang adik baginya.

"Aku akan sangat bangga jika melihatmu memakai seragam sekolah dan belajar dengan sungguh-sungguh. Jujur saja, kau sangat cantik. Tapi, akan lebih baik jika kau tak memakai gaun terbuka seperti itu di hadapan sembarang pria."

"Tapi aku kan sudah lulus. Aku sudah dewasa sekarang. Dan kau bukan sembarang pria untukku."

"Lulus dari SMP maksudmu?"

"Dokter! Aku sudah menyukaimu sejak pertama kali bertemu. Karena itu aku kembali berobat setelah membaik, aku pura-pura sakit agar orang tua baruku mengira aku sakit," Lyan menunduk. "Aku juga ingin diperhatikan oleh mereka."

"Bagaimana kau bisa menggunakan orang tuamu sebagai alasan? Apapun alasannya kau tidak boleh mencintai doktermu sendiri, kau tahu aturannya di dunia psikologi? Kau mungkin tidak tahu jadi aku akan memberitahumu, rasa sukamu itu, tidak valid."

"Ha? Tidak valid?" Lyan tercengang.

Lyan adalah sahabat Viola yang satu tahun lalu masih di panti sosial namun sekarang ada pasangan kaya raya yang merasa kasihan dan menyukai Lyan karena ia gadis remaja yang manis dan penurut. Memang sedikit nakal jadi mereka ingin mengadopsinya, sejak dua bulan yang lalu ia berobat pada psikiater secara pribadi, karena di panti ia masih harus konseling, jadi ibu pihak panti sosial membimbing orang tua Lyan untuk terus memeriksa keadaan mental Lyan. Dan dokter itu adalah Dr. Casano.

"Ini semua gara-gara kau, Dok!" teriaknya "Kenapa kau tiba-tiba pindah? Jika perlu, aku akan mengenakan lingerie di depanmu. Aku benar-benar mencintaimu. Aku tidak bisa hidup tanpamu!"

"Lihatlah bicaramu. Kau masih anak kecil. Apa kau tahu apa arti sebenarnya, dari kata 'Cinta' itu sendiri? Apa kau bisa menyayangi kedua orang tuamu yang sekarang ini? Apa kau bisa menyayangi sahabatmu dengan tulus?" pria itu menggeleng miris. "Lebih baik kau gapai mimpimu setinggi langit sebelum menyatakan ingin mati atau hidup karena seseorang"

"Lalu kenapa kau menemuiku! Katakan kenapa!" Lyan menggebrak meja, marah. Beberapa pengunjung menatapnya.

"Aku seorang Psikiater… dan aku mempunyai banyak pasien. Kau tentu masih melihatku memakai jubah putih kan?"

"Aku juga seorang pasien."

"Kau sudah sembuh sejak lama. Dengarkan aku, Ly. Kau mempersulit orang tuamu jika seperti ini aku menemui karena kita bukan lagi dokter dan pasien, dan aku juga sudah bukan dokter di rumah sakit yang dulu lagi.

Lyan menatap pria itu yang masih setia dengan jubah putih kebesarannya. Perlahan ia mulai mengatur dirinya agar tidak melewati batas. Sebenarnya ia ingin marah dan mengamuk, namun orang-orang tengah menatapnya. Ia lalu kembali duduk dan mengatur napasnya.

"Apa dokter….punya pacar?" tanya Lyan berhati-hati.

"Lyan, sekarang fokuslah untuk belajar dan berbakti pada orang tuamu. Aku tidak punya waktu untuk berkencan, tapi aku mempunyai seseorang yang kusayangi. Aku akan memberi tahumu siapa dia." pria itu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah foto seorang gadis.

Lyan menganga, matanya membulat penuh. Tidak percaya dengan foto di ponsel itu. Seketika mulutnya ingin mencaci maki gadis itu, namun lidahnya terkunci. Tangannya mengepal memanas. Tidak terima dengan keputusan pria itu dan gadis yang ternyata bagian dari masa lalunya. Lyan tertegun.

"Dia…"

"Aku tahu kau mengenalnya."

Lyan mengingat-ingat lagi bahwa suatu hari saat masih konseling di rumah sakit, ia pernah menceritakan bahwa pernah membuli seorang teman yang dekat dengannya. Padahal keduanya adalah sahabat baik namun Lyan kemudian membencinya karena ia merasa iri karena temannya diadopsi keluarga kaya raya. Sampai dia diadopsi sekalipun, temannya itu tidak pernah mengirimi surat. Ia pun semakin benci.

"Dokter kenapa kau…."

"Maaf, Lyan. Aku ingin memberitahumu sejak lama. Tapi alasan kenapa sahabatmu tidak pernah mengirim surat padamu adalah karena…." Roy ragu sejenak.

"...karena ia dianiaya oleh ibunya sendiri," lanjutnya dalam hati. Ia tidak sanggup memberitahunya.

"Karena apa? Huh! Apa yang membuatku lebih baik darinya!" teriak Lyan meminta penjelasan.

"Dia lebih baik dari wanita manapun. Karena dia… adalah adikku." tegasnya.

Lyan terdiam. Terkejut sekaligus frustasi.

"Kak Roy!"

Teriak Viola dari arah pintu masuk restoran. Mereka menoleh bersamaan. Roy terkejut namun sedetik kemudian ia tersenyum menyambut kedatangan adiknya. Sebaliknya, Lyan merasa sangat malu, marah, perasaannya campur aduk. Sekarang ini mulutnya kehabisan kata-kata.

"Surprise!" teriak Viola seraya mengecup singkat pipi kakaknya. Lyan hanya menatapnya marah.

"Selamat siang, Tante. Apa aku mengganggu acara kalian?" olok Viola.

"T...tante kau bilang!"

Roy memegangi kepalanya. Pusing dengan kelakuan adiknya. Sebentar lagi peperangan ini tak bisa ia hentikan. Sekalipun dengan wajah tampannya. Roy geleng-geleng. Namun kedatangan Viola yang tiba-tiba cukup menyelamatkan nyawanya. Ia menutup wajah dengan telapak tangan karena semuanya terlalu memalukan untuk ukuran dokter sepertinya.

"Ya ampun! Kukira kau seorang tante. Apa kita pernah bertemu sebelumnya, Nyonya?" Viola berlagak. "Ku akui, seleramu tinggi juga ya. Sampai berani memiliki perasaan semacam itu pada kakakku. Kau mendapat nilai seratus dariku."

"Viola kau...."