webnovel

Light Syndrome

"Apa semua murid di sekolah ini punya pasangan semua? kenapa mereka antusias sekali?" kata Kara pada teman-temannya yang lain saat bergerombol di kelas.

"Ah Kara masak kau tidak tahu. Festival ini sendiri sudah jadi acara untuk menyatakan cinta. Di akhir setiap lomba nanti pasti akan ada banyak yang menyatakan cintanya. Bahkan ada stan bunga di dekat lapangan."

"Ha? Benarkah?"

"Ah siapa yang akan menembakku nanti ya?"

"Kau? Kau yakin ada yang menyukaimu, haha."

Kelas sangat ramai. Obrolan mengenai kisah romansa menyeruak dimana-mana. Kara sendiri senang melihat teman-teman sekelasnya antusias. Ia merasa baru bernapas sekarang, merasa seperti murid normal. Kara tersenyum senang.

Ian dan Onyx tidak ada di sana seperti biasa. Namun tiba-tiba, Onyx dan Ian masuk, teman-teman Kara yang menggerombol di mejanya segera bubar, karena kursi samping Kara adalah tempat duduk Ian, belakangnya tempat duduk Onyx.

"Eh kalian mau kemana, disini saja," kata Kara mencegah mereka.

"Itu yang punya kursi datang tuh. Mereka menyeramkan sekali."

"Mereka sama sekali tidak menyeramkan kok."

"EH!" teman-temannya menoleh terkejut lalu saling pandang.

"Ka...kau serius bilang begitu, Kar?"

"Kenapa?"

"Kalian membicarakanku?" Ian berdiri di sana tiba-tiba.

Semua siswi-siswi bubar dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Ian dan Onyx lalu duduk di tempat mereka.

"Cih," gumam Kara.

"Kenapa ekspresimu begitu?" Ian bertanya dengan nada tinggi. Semua orang menatapnya takut dan khawatir Kara akan kena marah.

"Oi Ian, yang lainnya melihatmu. Duduk saja sana," bisik Onyx.

"Memang kenapa ekspresiku? Pergi sana kau!"

"Wah Kara tidak takut sama sekali ya," bisik yang lain.

"Bagaimana jika mereka bertengkar. Ya ampun di hari-hari persiapan festival seperti ini?" semua orang khawatir nasib Kara.

Karena sebelumnya dia juga bermasalah dengan Nathan, jadi tidak kaget lagi kalau Kara memang berani menghadapi anak nakal.

"Kau mengusirku?" Ian hendak marah.

"Aku sedang ngobrol dengan teman-temanku tadi di sini. Kau kan biasanya jarang di kelas. Kenapa tidak keluar saja," Kara menatapnya.

Ian balas menatapnya.

Semua orang menelan saliva dengan susah payah. Apa yang akan dikatakan Ian pada si Kara.

"Baiklah. Ayo keluar Onyx. Gadis-gadis sepertinya perlu ruang untuk mengobrol."

"HA!"

"Apa?!"

"Tidak mungkin!"

"Bagaimana bisa si Ian menurut?"

Setelah mengatakan itu Ian berjalan keluar dengan rambut merah dan seragam acak-acakannya itu. Onyx hanya menghela napas.

"Kara...Ian...dasar kalian berdua..." Onyx lalu ikut keluar sembari memegang kepalanya yang pening melihat situasi keduanya.

"Apa itu tadui, Ian?" tanya Onyx.

"Ayo ke kantin saja. Aku lapar."

"Kau baru saja memberikan pengumumans ecara tidak langsung bahwa kau menjadi penurut."

"Benarkah?"

Onyx merasa frustasi.

Jam kelas kosong dan guru-guru pun rapat membahas festival dan juga agenda voting.

Di kelas, teman-teman Kara kembali bergerombol dan mengelilingi Kara.

"Kar, kau berani sekali. Apa kau tidak takut?"

"Apa rahasianya sih biar jadi keren sepertimu?"

"APa harus rangking 1 dulu ya?"

Yang lainnya ikut tertawa.

"Kalau kau jadi ketua kelas rasanya aku merasa aman. Kau bahkan bisa mengatasi murid nakal seperti mereka."

"Ah tidak tidak. Aku tidak keren. Mereka kan satu kelas dengan kita, nanti saat festival mereka juga akan setim dengan kita semua. Mereka tidak jahat kok."

"Kudengar mereka preman."

"Apa kalian pernah dipukul?"

Temannya mengatakan tidak dan menggeleng.

"Berarti mereka bukan preman."

"Positive vibes sekali kau." teman-temannya tertawa.

Dari sudut bangku depan, seorang berkacamata, ia melirik Kara dan merasa tertarik pada gadis itu. Ia menyunggingkan senyum di sudut bibirnya.

"Kara, sore ini katanya ada mapel olahraga tambahan."

"Ha? Masa sih? Aduh aku capek banget."

Pak Guru olahraga masuk dan memberikan pengumuman ada tambahan mapel. Semua siswa mengeluh dan menolak karena hari sudah sore. Sudah pada malas dan lelah. Pak guru mengatakan akan mentraktir mereka jus. Baru siswa siswi bersemangat.

"Pak sekalian burger!" celetuk yang lain.

"Ah kau ini makan mulu."

Kelas menjadi riuh.

"Pasangan pemanasan teman sebangku ya. Sampai ketemu nanti sore."

Ian dan Kara kaget lalu menoleh satu sama lain. Onyx menahan tawa melihat keduanya.

***

Pukul 4 dini hari, Oska bersembunyi di kamar mandinya. Tubuhnya terus-terusan mengeluarkan cahaya terang benderang. Light Syndrome-nya semakin tidak terkontrol. Tidak mungkin ia keluar dengan keadaan seperti ini/ Namun saat diingat lagi, sebenarnya sejak malam itu, cahayanya sudah bergumul dan ingin keluar saat ia dan Maya berlari di gang, namun entah mengapa dia mampu mengendalikannya/

Oska mengguyur tubuhnya dengan air shower. Ia menatap kedua telapak tangannya, perlahan sinar itu menghilang. Oska menyisir rambutnya ke belakang sembari memejamkan mata. Ada sebuah tato berbentuk Elang kecil di punggung bagian kiri atasnya. Sama seperti milik Rey yang ada di pergelangan kaki, serta milik Christ di belakang telinga. Itu adalah tato emblem. Oska adalah mantan anggota Black Bird.

Maya terbangun dengan tubuh yang nyeri, badannya sakit-sakit semua. Ia menatap langit-langit yang bukan rumahnya. Namun tenaganya tak cukup kuat untuk bangun. Ada selimut hangat yang menyelimuti dirinya.

"Sudah lama sekali sejak seseorang menyelimutiku seperti ini," batin Maya sedih. "Aku rindu Kakak."

Ia melihat telapak kaki kanannya diperban. Bajunya masih sama seperti kemarin. Ia asing di tempat itu, tapi nampak seperti apartemennya yang dulu. Ada bubur juga di meja samping dan ada dua ponsel di sana. Maya berusaha duduk, ia mengambil salah satunya.

"Ini punyaku, satunya lagi...punya siapa ini?"

Kancing baju bagian bawahnya ternyata hilang dan sobekan roknya sangat parah, ia ingat ia membuang sepatunya dan juga ingat... Oska.

"Ah benar. Ini pasti kamarnya kaka Oska."

Oska keluar dari kamar mandi, ia mengenakan kimono mandi. Maya kaget dan menutupi wajahnya dengan selimut.

"M...Maafkan aku."

"Aku pakai handuk."

"Kak Oska aku..." Maya berusaha bangun dan berdiri.

Oska melihat roknya yang sepertinya sobekannya tambah lebar.

"Duduklah Maya." Oska mendekat dan memegang tubuhnya yang geloyoran. Ia mendudukkan Maya di tepian ranjang, lalu menyelimuti kakinya. Ia jongkok di depan Maya.

"Tetaplah di sini, aku harus ganti baju dulu."

"Tunggu!" Maya memegang tangannya.

Oska berhenti. Mereka berdua saling bertatapan lama dalam diam. Entah apa yang di pikiran pria itu, Maya ingin tahu.

"Kenapa?" tanya Oska.

Maya terdiam. Ia tahu Oska akan marah padanya.

"Kau mau kemana?"

"Aku mau ganti baju dulu. Kau tidak lihat rambutku basah?"

Maya menatap Oska. Ia masih berwajah datar seperti biasa. Maya melirik bahu kiri Oska, ia melihat ada tanda aneh seperti tato di sana, meskipun tertutup handuk, masih terlihat sebagian. Oska merasa tidak nyaman, ia lalu berdiri.

"Kau...baik-baik saja?" tanya Maya.

"Khawatirkan dirimu sendiri." ia meraih bubur di meja, lalu memberikannya pada Maya.

"Makanlah dulu."

"Kak Oska, aku..."

Oska menyentuh kepalanya, lalu mengusapnya pelan.

"Tidak apa-apa, May. Nanti saja."

Maya terhenyak. Ia melihat Oska tersenyum hangat. Mengingatkannya pada Kakaknya.

Beberapa saat kemudian, Oska keluar dengan kaus biasa, lalu mengusap rambutnya dengan handuk kecil. Ia tidak mendapati Maya dimanapun dan buburnya juga masih utuh. Tiba-tiba...

kreekk...