webnovel

Ingin Sembuh

Kakak menghela napas. Mengutuk dirinya sendiri. Merasa gagal, dan gagal. Jika begini tak ada jalur lain lagi selain membawanya ke tempat yang lebih serius. Seharusnya ia mengikuti perkembangannya sejak awal.

Pasokan oksigen di paru-paru seolah menipis. Hembusan panjang mengepul di bibirnya. Seraya menjatuhkan kepalanya di sandaran kursi. Sembari memajamkan mata, berfikir keras mengenai banyak hal. Waktu terus berjalan. Dan tahun terus bergulir. Ia memendamnya seorang diri. Teringat akan masa lalunya dahulu. Ia diperlakukan seolah sampah. Seolah dirinya pantas mendapatkannya. Ia tahu dengan pasti, memori itu tak akan pernah bisa hilang. Bahkan sampai menua dan mati. Tapi mungkin akan lebih baik, jika ia berada di sisi Viola. Memberi cinta dan kasih sayang layaknya keluarga sesungguhnya. Sekalipun begitu, ia akan terus mengawasinya, di manapun keberadaanya.

Viola jatuh merangkak. Tubuhnya merapat di sudut sana. Ditemani cahaya gelap. Kakak menatapnya dari luar jendela. Membiarkannya dalam ruangan putih. Hanya ditemani sebuah meja, yang dipenuhi obat-obatan dan alat-alat terapi. Pakaian putih yang dikenakan Viola. Dan suara hening di dalam ruangan itu. Semakin menyakitkan kala ia melewati koridor. Hanya ini yang bisa dilakukannya. Melihatnya tersiksa di dalam sana, sendirian dan kegetiran. Membuat dirinya jengah, tangannya mengepal memanas. Menahan rasa sakit yang sama. Kini diderita oleh adiknya. Hanya ini satu-satunya kemungkinan besar. Viola akan segera sembuh. Selama ia tak menyadarinya. Prosedur ini akan berjalan sewajarnya. Dan segera selesai selama semuanya baik-baik saja. Ia yakin Viola bisa melewatinya dengan baik. Hanya menunggu waktu.

***

Viola POV

Sorot mata membakar lamunan. Awan bergemuruh riuh. Siapa yang mencipta mendung? Tersemai diantara tumpukan bunga-bunga. Musim melerai senja. Mentari menyengat sahaja. Hari dimana bercumbu. Meninggalkan fajar. Menanjak lereng curam kepastian. Amarah tak merubah apapun. Sekalipun menggilir pacunya dahan. Masih berongga. Batang dimakan rayap. Tak dapat dihapus maupun dibuang. Memori sebagai pengingat. Sebagai alasan untuk manusia itu sendiri. Aku duduk terpekur di bawah rindangnya pinus-pinus. Liana bergelayut manja meminta cinta. Dedaunan hijau jatuh melayang-layang diterbangkan buritan. Ditemani kupu-kupu. Kasih di genggaman hampir menghilang. Mengenai sebuah epos, paradigma manusia. Penuh sarat melambai-lambai.

Stratus bergerumul berbincang. Bertanya-tanya siapa yang akan menjadi kelabu hari ini. Debu, asap dan variabel kota. Termakan sejuk aku menghalau mereka. Mendadak aku menyingkap keletihan di dalam diriku sendiri. Tertawa ringan mengenai segala hal, sisa mengais kebahagiaan di masa lalu. Entahlah, mungkin masih ada beberapa.

Aku mengamati seragam yang melekat di tubuhku. Dasi pita, kemeja putih, rok abu-abu, dan kaus kaki putih pendek. Sebentar lagi akan terpajang cantik di dalam almari untuk selamanya. Usia juga turut meninggalkan masa labil. Menuju dewasa panjang. Masa dimana akan ada banyak senyuman. Tubuhku bergoyang mengikuti irama ayunan di taman, melambai bersama angin. Menikmati sinar mentari seolah di sabana. Kakak pasti akan membunuhku segera setelah mengetahui absen merah memenuhi raporku. Ini bukan suatu urgensi yang artifisial. Hanya saja buku-buku di meja kelas membuatku tak nyaman. Pengap dan bising, hingga telingaku memanas. Sesaat aku ingin terus berada di sini. Ditemani ayunan, cemara pencakar langit, tidak ada debu, tidak ada ricuh. Cukup aku dan alam saja.

Mengikuti alunan melodi sumbang, yang entah datang dari mana. Memenuhi indra pendengaran. Hingga membuatku terbuai ingin tertidur lelap. Petikan dawai gitar, jemari lentik bermain di atas tuts piano. Mengiring simfoni yang membuatku damai.meski tak tahu siapa pemilik suara itu. Ini menandakan sekalipun aku baik-baik saja. Suara-suara itu takkan mudah hilang begitu saja. Sekalipun aku sembuh total. Entah raungan atau nyanyian.

Masih terlena oleh keadaan. Aku menggenggam erat tali ayunan yang bergerak pelan mengikuti aliran. Terlalu lama kelopak mataku saling mengatup. Aku membuka mata perlahan dan terkejut mendapati wajah seseorang yang tak asing lagi mematung di hadapanku, tengah memergokiku bersantai di sana. Senyuman khas menghias di bibir merahnya. Aku memundurkan kepala menghindari tatapan matanya yang terlalu dekat. Seolah mengonfrontasi. Alisku terangkat seraya bertanya dalam batin apa yang dilakukannya di sini. Hampir saja aku menjerit kesal dan mengumpatnya.

Aram menjatuhkan tubuhnya di ayunan yang berada di sisi kiriku. Aku hanya meliriknya sarkasme.

"Dasar Tukang Bolos!" oloknya

"Kau tidak sedang mengejek dirimu sendiri kan?" sahutku membalas.

"Setidaknya aku tidak Tukang Tidur juga sepertimu. Setiap aku melihatmu, pasti kau sedang memejamkan mata di tempat umum. Apa kau menderita Hipersomnia?"

Aku mendengus mendengar leluconnya yang sama sekali tidak lucu. Malas menanggapi mulut kosongnya. Sebenarnya sendirian saja sudah cukup untukku. Tapi kehadirannya membuatku menyunggingkan senyum tipis di sudut bibir. Entah mengapa, aku merasa aku akan baik-baik saja bila di dekat pria dingin nan aneh itu.

Tak ada perbincangan serius. Aram terdiam, mengalihkan pandangannya lada langit yang berpijar cerah di tengah hari ini. Masih diselimuti musim hujan, yang entah kapan turunnya lagi. Ia tampak bersemangat menatap hamparan biru membentang luas tanpa batas. Menggapai jauh di atas sana, yang mustahil untuk dilakukan.

"Apa kau punya mimpi?" tanyanya tiba-tiba dengan masih menatap langit biru.

"Tidak," sahutku singkat.

"Keinginan?"

"Tidak."

"Cita-cita?"

"Tidak."

Barulah Aram menoleh keheranan. "Lalu apa yang kau inginkan selama hidupmu?"

"Sayangnya, aku tidak punya hal-hal semacam itu."

Aram menaikkan sebelah alisnya. Lumayan tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Namun begitulah kenyataannya. Segala sesuatu mempunyai tingkat kesulitan masing-masing untuk dicapai.

"Apa kau baru saja berfikir bahwa sendirian itu lebih baik?"

Aku terdiam, menggeleng.

"Bahkan yang terang benderang pun akan sangat kesepian jika sendirian."

"Jadi kau kasihan padaku karena tidak punya teman?"

"Yah bukan begitu. Kau itu cuma tidak bisa membedakan mana yang kasihan dan mana yang benar-benar...ah sudahlah!"

"Ya ya. Ini hanya sebagian besar dari sifatku yang perasa," aku tersenyum kecut. "Lagipula hidupku kan memang selalu seperti ini. Kenapa harus merasa kesepian."

Sesaat tak ada suara di antara kami. Aku maupun Aram. Entah apa yang ada dalam pikirannya. Aku juga tak mau melanjutkan percakapan tak berguna ini dengannya. Terkadang aku berusaha memahami situasi, dimana diriku berdiri. Namun sela waktu mengingat. Ternyata aku tak pandai melakukannya. Kutatap nanar sepatu kets putih yang kukenakan sembari berfikir melayang. Ah konyol bukan. Lagi-lagi lupa dengan apa yang sedang dikerjakan pria itu.

"Keberadaan seseorang bukanlah suatu dosa. Aku maupun kau." katanya.

Aku hanya menatapnya heran. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam saku seragamnya. Lalu memberikannya padaku.

"Kenapa kau memberiku ini?" kataku seraya menerima sebuah ranting bambu kecil seukuran pensil. "Apa kau pikir aku ini Panda?"

Aram tertawa. "Lagipula kau lebih imut dari Panda. Anggap saja ini sebuah tongkat."

"Apa ini semacam tongkat sihir Harry potter?"

"Kau tahu? Aku bukan tokoh fiksi."

"Tapi, sikapmu ini juga sangat fiksi untukku."