webnovel

Fake Love

"Ian Gabriel?"

Pak guru melihat anak-anak dan tidak ada Ian di sana. Kara menoleh ke sebelah bangkunya dan menghela napas. Lalu menggeleng pelan. Ia sangat miris dengan siswa bernama Ian itu yang seperti menyia-nyiakan sekolahnya.

"Dai bolos lagi?"

"Iya, Pak."

Pak guru menggeleng lalu hendak menulis bolos di buku absen, namun tiba-tiba pintu kelas terbuka dan muncul Ian di sana. Semua siswa di ruangan itu menatapnya, tapi Ian tidak pernah peduli itu.

Kara menyipitkan mata dan memperhatikannya. Ia berusaha mengingat lagi, sampai lupa wajahnya karena sering bolos. Ia terkejut, ternyata siswa di UKS yang tidur kemarin adalah dia.

"Ha? Itu kan cowok kemarin? Jadi dia yang namanya Ian?" batin Kara.

Sementara itu Pak guru marah karena dia hampir terlambat, namun mengizinkannya duduk karena dia datang tepat saat di absen. Siswa yang dicap suka bolos itu masuk dengan wajah tenang. Tas ransel di sisi bahunya, rambut merah maroon yang mencolok, seragam yang tidak dikancing dengan benar dan tidak dimasukkan ke celana serta jalan santai melewati pak guru dengan tangan kanan masuk ke celana, sangat tidak sopan. Ian duduk di samping Kara.

Kara berusaha tidak melihatnya apalagi sampai menoleh. Ia pura-pura tidak peduli meskipun sangat penasaran. Sedang Ian hanya meliriknya sekilas lalu duduk dengan tenang. Tangan kanannya ia selonjorkan lalu kepalanya rebahan di atasnya. Ia menghadap ke arah yang berlawanan dari Kara.

"Aku tidak percaya ternyata Ian si teman sebangkuku adalah siswa yang kemarin," batin Kara.

Saat jam istirahat siang, Kara melangkah diam-diam saat tidak ada siswa lain memperhatikannya. Ia keluar kelas dan menuju UKS, tanpa dia sadari, Ian yang ia kira tidur membuka matanya dan melihat Kara yang berjalan di lorong.

"Jadi bagaimana?" tanya Nathan. Mereka di ruang yang sama.

"Aku…" Kara ragu namun tetap memutuskannya. "Aku sangat berterima kasih jika kau mau menolongku tentang beasiswaku."

"Apa?"

"Aku harus mempertahankannya."

"Bukan ini maksudku?" Nathan agak kesal. "Tentang confess ku kemarin, apa kau menerimaku? Aku sangat menyukaimu, Kar."

"Kau sungguh-sungguh menyukaiku?" tanya Kara lagi. "Maksudku, dari awal kita tidak pernah akur, tapi tiba-tiba kau berkata menyukaiku. Aku menghargainya, namun jika kita pacaran…beasiswaku jadi sia-sia, aku pasti dituduh merayumu yang adalah anaknya kepala sekolah. Aku akan dihujat semua orang."

Tiba-tiba tanpa Kara duga, Nathan yang tadinya lembut, kini menunjukkan ekspresi yang berubah 180 derajat dari tadi. Ia berkacak pinggang dan matanya memicing seperti merendahkan.

"Wah memang ya kau ini gadis pintar," ia tertawa kecil.

Kara bingung melihat perubahan ekspresinya. Ia berharap hal yang dipikirkannya tidak terjadi, yaitu Nathan yang hanya memanfaatkannya.

"Kau…kenapa tiba-tiba seperti ini?"

"Kenapa katamu?" Nathan tertawa. "Kau pikir aku benar-benar menyukaimu?"

"Apa?"

Tiba-tiba Nathan menutup tirainya, lalu meraih lengan Kara lalu menggenggamnya erat hingga membuta gadis itu merintih sakit.

"Buka bajumu," perintah Nathan dengan kasar.

"Apa?!" Kara tidak percaya Nathan melakukan hal sejauh ini. "Kau gila? Lepaskan aku!"

"Dengar, aku tidak akan melepasmu sampai kau buka bajumu. Aku harus mengambil fotomu dan memenangkan pertaruhan ini. Kau tahu berapa yang kupertaruhkan? Aku akan kehilangan mobilku, sialan!" Nathan mendekat ke telinga Kara dan mengumpat jahat, ia semakin mencengkeram kuat tangannya hingga ada bekas merah di tangan Kara.

"Lepaskan! Teganya kau melakukan ini!" teriak Kara. "Aku akan teriak!"

"Coba saja," Nathan tertawa. "Ada teman-temanku yang berjaga di luar."

"Apa?" mata Kara berkaca-kaca, ia sangat ketakutan.

Nathan memepet tubuhnya ke dinding, meraih dasinya dan memaksa membukanya. Tenaga pria sangat besar, Kara berusaha mendorongnya namun Nathan dengan kasar memegang bahunya dan mencengkeramnya dengan erat.

"Sakit. Lepaskan aku!" Kara hendak menangis.

"Kau harusnya sadar diri kalau miskin, tidak usah sok pintar dengan mengemis beasiswa dari ayahku. Akan kuberitahu cara cepat kaya dengan tubuhmu," Nathan cekikikan. Sementara Kara hampir menangis.

"Aku tahu kau nakal, tapi aku tidak pernah kau serendah ini."

"Apa? Dasar gadis gila. Cepat buka bajumu! Cepat!" teriak Nathan yang sudah tidak sabar lagi.

Dasi Kara berhasil dibuka paksa hingga jatuh ke lantai. Nathan kini memaksa membuka kancingnya satu persatu. Kara meronta.

"Lepaskan!"

"Cepat buka gadis sialan!"

"Tidak! Lepas!"

"Dasar jalang!" Nathan marah lalu mengangkat tangan kanannya hendak menampar Kara. "Kau tahu akibatnya kalau melawanku huh?!"

Nathan bersiap menamparnya, namun tiba-tiba…

Sret!

Sebuah kamera flash terarah ke wajah Nathan hingga ia berhenti dari niatnya untuk menampar Kara. Mata Nathan silau karena cahaya ponsel itu hingga ia menutupi wajahnya dengan tangan.

"Siapa kau!" teriaknya marah.

"Hey yo! Pemirsa!" siswa itu nampaknya sedang mengambil video. "Jadi inilah kebusukan anak kepala sekolah kita yang ternyata menggunakan gadis sebagai taruhan dan terlebih lagi sedang melakukan hal tidak senonoh padanya. Kau akan membantuku mendepaknya dari sekolah kan? Haha."

"Sialan! Siapa sih kau?! jangan ikut campur!"

"Kau teriak begitu padahal sedang kurekam? Dasar bodoh," siswa yang suaranya tidak asing itu lalu mematikan kameranya. Lalu menyimpan ponselnya di saku celana.

Tubuh Kara gemetaran. Saat Nathan lengah dan melepaskannya, ia mengancingkan kembali dua kancing kemeja atasnya yang sempat dipaksa dibuka. Ia ingin tahu siapa siswa yang menyelamatkannya itu. Tiba-tiba saja ia muncul dari ruangan samping dan membuka tirai seolah menunggu waktu yang tepat. Dengan tangan gemetar, Kara merapikan bajunya dan mundur.

"Siapa sih kau?!" teriak Nathan. "Bagaimana bisa kau masuk ke sini?"

Siswa itu lalu mendekat. Barulah Nathan dan Kara terkejut melihatnya. Dia adalah Ian.

"Kau…" Natha tertegun. "Bukankah siswa nakal pembolos itu?"

"Nakal?" Ian menjulurkan lidahnya keluar sedikit. "Bagian mana yang nakal? Memanfaatkan gadis beasiswa atau kriminal pemerkosa sepertimu?" cibirnya.

"Apa? Aishhh beraninya…" Nathan menggertakkan giginya, ia maju dan meraih kerah Ian. Namun Ian tidak bergeming, sebaliknya ia malah menatap Nathan degan mata yang tajam dan buas. Lebih buas darinya.

"Apa kau preman huh?"

"Kau sendiri?" Ian lalu melempar tangannya dari kerah bajunya. "Jika kau tau siapa aku, kau akan berlutut di kakiku."

"Kurang ajar! Jangan bicara omong kosong kau!"